Kamis, 31 Oktober 2013

Absolut Eksistensialisme [isolatul wujud]



Fi isholatil wujud wa i’tibariyatil mahiyah
Sebelum menjelaskan pembahasan isholatul wujud, kami akan menjelaskan beberapa pendahuluan sebagai pengantar dalam menjelaskan pembahasan isholatul wujud. Sebagaimana kita ketahui,bahwa tiga pasal sebelumnya, yakni :

o Pasal I menjelaskan konsep wujud yang badihi (pada mafhum)
o Pasal II menjelaskan wujud itu musytarok maknawi
o Pasal III kaidah annal wujud zaidun alal maahiyah aridun laha
merupakan pembahasan wujud dalam tataran konsep. Sekarang untuk pertama kali kita membahas wujud pada realitas eksternal “fi isholatil wujud wa itibariyatil mahiyah”, bukan lagi pada tataran konsep.

I. Pendahuluan; Memahami titik persoalan Isholatul Wujud
a.       Perbincangan Isholatul wujud dan Isholatul Mahiyah di Kalangan Filosof
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam pertemuan sebelumnya, bahwa Allamah Thabathaba’i merupakan penganut Sadrian, hal itu dapat dibuktikan, salah satunya yakni dalam pembahasannya tentang isholatul wujud. Karena kalau kita memasuki pemikiran Sadra, ada dua hal yang tak bisa kita pisahkan dari diri Sadra, yakni tentang isholatul wujud dan kedua adalah gerak substansi. Sama ketika ketika kita menyebut Newton pasti kita hubungkan dengan “teori Gravitasi”, dan Einstein dengan “Teori Relativitas”, begitu juga kalau kita menyebut Mulla Sadra pasti kita menyebut “Isholatul Wujud dan Gerak Substansi”. Jadi ada sebuah pemikiran yang sangat identik dengan seorang tokoh tertentu dikarenakan orisinalitas pemikirannya.
Sebelum Sadra, kita tidak akan menemukan dalam teks klasik, baik dalam Ibn Sina atau Suhrawardi yang membicarakan khusus “isholatul wujud ma itibariyatul mahiyah”. Namun berbeda dengan Suhrawardi, meskipun dalam karya-karyanya tidak ada bab khusus yang menjelaskan tentang 'ishalah', tapi secara tegas ia mengatakan “Bahwa wujud itu i’tibari” yaitu bahwa wujud hanya abstraksi alam mental kita. Dalam pandangan Suhrawardi, konsep wujud tidak ada bedanya dengan konsep 'mumkin'. Maksudnya 'mumkin' sebagaimana 'mumkin' tidak ada pada realitas eksternal secara independen dan berdiri sendiri. mumkin hanya abstraksi mental kita karena itu tidak ada pada realitas eksternal. begitu juga dengan konsep wujud, konsep wujud hanya abstraksi mental kita, karena itu dalam pandangan Suhrawardi yang real dan fundamental adalah esensi. Namun dalam teks Ibn Sina , kita tak akan menemukan pernyataan yang secara tegas mengatakan bahwa wujud itu iktibari, begitu pun sebaliknya, tidak ada satu bab khusus yang membahas ishalatul wujud. karena itu apakah Ibn Sina adalah penganut isholatul wujud atau isholatul mahiyah, tidak ada tolak ukur yang secara pasti untuk mengukur apakah beliau penganut salah satu dari kedua aliran tersebut. Karena terkadang dalam penjelasan filsafatnya, bangunan proposisinya sejalan dengan isholatul wujud dan juga terkadang sejalan dengan isholatul mahiyah. Misalnya dalam menjelaskan konsep wahdah, penjelasan Ibn Sina sejalan dengan isholatul mahiyah. Karena beliau tidak mengaitkan pandangan wujud sebagaimana wujud dalam menjelaskan konsep wahdah. Begitupun sebaliknya, dalam beberapa teks menunjukkan bahwa beliau juga menganut isholatul wujud ketika menjelaskan bahwa “ma ja’alallahu missymisa misymisyatan walakin aujadahu” Tuhan tidak menciptakan 'kismis' sebagaimana 'kismis', tapi Tuhan hanya mewujudkannya. Jadi penciptaan itu pada wujud, hal ini menunjukkan bahwa Ibn Sina adalah pengikut isholatul wujud. Tapi tetap kita tak bisa memutuskan secara tegas, apakah beliau pengikut isholatul wujud atau isholatul mahiyah, karena memang belum ada pembahasan tentang itu. Sangat tidak arif untuk menempatkan Ibn Sina pada salah satu aliran tersebut. Jangan sampai kita seperti sebagian filsuf Barat yang tidak arif ketika menilai Ibn Sina, karena mereka mengetahui Ibn Sina melalui Ibnu Rusyd, sehingga mereka salah memahami pemahaman wujud Ibn Sina, misalnya ketika Ibn Sina membahas 'fii annal wujud zaidun ala mahiyah aridun laha', mereka mengatakan, disini Ibn Sina meyakini bahwa wujud itu i’tibari. Seperti Étienne Gilson, filosof Perancis, ia mendapatkan penjelasan Ibn Sina dari ibn Rusyd, oleh karena itu melalui Ibn Rusyd, barat mengenal konsep wujud Ibn Sina. Namun, mereka salah memahami tentang apa sebenarnya yang ingin dijelaskan oleh Ibn Sina, karena Ibn Rusyd sendiri salah dalam memahami filsafat Ibn Sina.

b.      Isholatul Mahiyah oleh Suhrawardi
Pada abad VI H Suhrawardi muncul dengan filsafat Illuminasi/Isyroqi. Kemunculan Suhrawardi dengan filsafat iluminasinya, secara tegas memposisikan dirinya berhadap-hadapan dengan filsafat paripatetik. Didalam karyanya, Syaikh Isyroq (Suhrawardi) secara nyata menjelaskan bahwa wujud itu i’tibari. Anggapan ini berangkat dari epistemologi yang di bangun oleh Suhrawardi, khususnya dalam menjelaskan ma’qulah awwali dan ma’qulah tsani. Syaikh Isyroq meyakini bahwa ma’qulah tsani semuanya i’tibari dalam artian tidak punya realitas eksternal, hanya konsep mental semata, maksudnya murni hanya di alam mental yang tidak memiliki realitas eksternal. seperti konsep juziyyyah, kulliyah, imkan, termasuk ‘wujud’ dalam pandangan Suhrawardi, juga hanya merupakan konsep mental saja, tidak ada pada realitas eksternal karena ia adalah ma’qulah tsani. Suhrawardi manyatukan ma’qulah tsani mantiqi dan falsafi, dalam pandangan Suhrawardi, semuanya adalah i’tibari, yang tidak ada pada realitas eksternal.
Disisi lain, Kita dapat melihat beberapa hal menarik berkaitan dengan pandangan Mulla sadra terhadap Suhrawardi :

· Dari pandangan epistemologinya yang menyatukan maqulah tsani, Suhrawardi meyakini bahwa wujud hanyalah konsep i’tibari. Kemudian Sadra mengkritik pandangan ma’qulah tsani yang dipahami oleh Suhrawardi. Menariknya, selama tiga abad tidak satupun tokoh filsuf yang mengkritik pandangan Suhrawardi tentang ma’qulah tsani mulai dari abad VI hingga ke abad VIII H hingga muncul Syaikh Thussi. Beliau yang pertama kali mencoba memilah bahwa ternyata ada konsep yang kita miliki yang punya realitas eksternal meskipun tidak berdiri sendiri. Kemudian barulah muncul Sadra yang mengatakan bahwa kita harus memilah konsep tersebut, karena tidak semua ma’qulah tsani itu itibari. Dan beliau mulai membagi ma’qulah tsani menjadi dua, yakni mantiqi dan falsafi.
Yang menarik lagi dapat kita temukan di dalam teks Suhrawardi,
Dalam kitab ” at-mutharahat” Suhrawardi menjelaskan “bahwa jiwa dan di atas jiwa itu adalah wujud murni”. Sadra ketika sampai pada teks ini merasa takjub dan mengatakan, 'kenapa Suhrawardi sebagai filosof yang begitu agung ternyata tidak menemukan pemikirannya yang kontradiksi (karena dia mengatakan wujud itu iktibari). Dan juga dalam pembuktian Tuhan, kata Suhrawardi “kalau kita mengatakan wujud itu isholah, itu hanya berlaku pada wujud Tuhan saja” wujud Tuhan isholah dan mahiyah itu pada entitas mumkin. Meskipun pada akhir tulisannya ia mengatakan pada Tuhan pun yang fundamental adalah mahiyah.
· Yang menarik lagi, Sadra mengatakan bahwa Suhrawardi adalah filosof ‘azim atau agung. Jadi diantara beberapa filosof mahiyah, hanya Suhrawardi saja yang disebut 'filosof agung' oleh Mulla Sadra, sampai-sampai Sadra menyebutnya dengan “qurratu aini ” (ia adalah cahaya mataku), jadi Sadra memposisikan Suhrawardi berbeda dengan filosof esensialis lainnya. Filosof mahiyah lainnya, mungkin dia menjadi isholatul mahiyah karena memang hanya pada pembahasan isholatul mahiyah itu sendiri, tapi Suhrawardi punya background filosofi tentang ‘cahaya’. Dari cahaya inilah kemudian ia menganut isholatul mahiyah. Beliau punya background filosofi dari ‘nurul anwar’, cahaya yang semuanya berasal dari cahaya, sehingga Sadra melihat Suhrawardi sebagai inspirasi besar yang dijuluki qurratu aini, dan kemudian Sadra merubah terminologi cahaya menjadi wujud.

Terakhir, yang menarik jika kita menelusuri teks suci, misalnya dalam Al-Quran tidak kita temukan terminologi wujud. Namun terminologi cahaya, dapat kita temukan dalam surat An-Nur disebutkan “Allahu nuurussamaawati wal ard....” kemudian dalam kitab Zoroaster juga ada terminologi cahaya. Tapi menariknya, Sadra mengutip ayat lain yang menunjukkan bahwa kita mempunyai terminologi wujud. ketika beliau menafsirkan ayat..“kemudian kami tawarkan amanat ini pada langit dan bumi, semuanya menolak.. kemudian manusia menerima amanah itu, sungguh manusia itu zolim dan jahil”

Menurut Sadra, segala entitas punya realitas wujudnya sendiri-sendiri; bumi, langit punya wujudnya sendiri dan keberadaannya pun sudah punya batasan sendiri-sendiri. Namun diantara entitas yang ada, hanya manusia menerima amanah karena dia adalah wujud yang senantiasa dapat berubah terus hingga sampai pada puncak kesempurnaannya. Karena itulah hanya manusia yang bisa menerima amanah. Ia sesuai dengan perjalanan gerak substansi manusia. Berkaitan dengan penafsiran ayat ini, Sadra menggunakan terminologi wujud. Sejalan dengan realitas manusia, Rumi dalam syairnya mengatakan, 'engkau telah berjalan dari nutfah hingga ke ke realitas akal, tapi bukan gerak itu yang menjadi tujuan, dan juga bukan menjadi akal sebagai tujuan'. Karena itu manusia senantiasa bergerak dan geraknya tak terbatas,... wa illallahi turjaul umur... manusia bisa menjadi apa saja, bergantung pada arah gerak substansinya. Inilah yang kemudian mengilhami Sadra untuk meyakini bahwa yang menjadi dasar bagi realitas eksternal adalah wujud.

c.       Eksistensialisme Barat dan Eksistensialisme Islam
Eksisitensialisme yang ada di islam berbeda dengan eksistensialism yang ada di Barat. Ekisistensialiasme yang muncul di barat yang di pelopori oleh Sǿren Kierkegard, Jean Paul Sartre, Martin Heidegger, dan lain-lainnya, murni muncul dari krisis kemanusiaan, krisis teknologi dll. Ia muncul karena puncaknya ilmu fisika modern, pengaruh teknologi yang begitu memisahkan manusia dari hakekat dirinya, karena itu kalau kita menelusuri pembahasan ekskistensialis di Barat, kita akan menemukan pembahasan seperti kebebasan manusia atau iradah manusia, hakekat kematian, keterasinginan, dan lain-lain.

Eksistensialisme Barat murni filsafat yang berawal dari manusia. Aliran ini mengikuti jalur “non historical approache” yaitu suatu pemikiran yang memulai konteks pemikirannyanya saat ini dan meninggalkan gagasan pemikiran filosof sebelumnya, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Karena menurut mereka, filsafat sebelumnya tidak bersentuhan langsung dengan manusia, seperti pembahasan wujud, menurut mereka pembahasan wujud adalah pembahasan yang tidak bermanfaat dan tidak menambah pengetahuan apapun bagi kehidupan manusia. berbeda dengan filsafat posistivisme dan eksistensialisme yang bersentuhan langsung dengan kehidupan manusia. Mereka beranggapan bahwa ‘filsafat manusia dalam konteksnya saat ini, tak ada hubungannya dengan pemikiran sebelumnya’ . Menurut mereka, filsafat mesti muncul dari kita sendiri, dan bersentuhan dengan apa yang kita butuhkan saat ini. Karena itu eksksistensialisme lebih banyak membahas masalah kemanusiaan. Tapi kata Kierkegaard, yang seharusnya kita bahas juga adalah masalah ketuhanan. Karena kalau kita meyakini atau mengingkari Tuhan hal itu akan mempengaruhi perilaku kita. Setelah kita mengingkari Tuhan kita dapat melakukan apapun yang kita mau, tapi kalau mengakui Tuhan kita tak bisa melakukan apapun. Sebagaimana hal ini juga dijelaskan dalam sebuah hadits oleh Rasulullah saw bahwa “Surga itu dikelilingi oleh larangan-larangan dan neraka dikelilingi dengan syahwat”

Berbeda dengan ekistensialisme di dalam filsafat Islam. Filsafat Islam meyakini bahwa semuanya adalah realitas eksistensi, bukan dikhususkan pada satu wujud manusia tertentu saja sebagaimana di Barat. Eksistensialisme di barat mengatakan bahwa manusia ada terlebih dahulu kemudian ia menentukan mahiyahnya, akan tetapi eksistensialisme dalam Filsafat Islam murni membahas tentang eksistensi. Bahkan dalam pandangan Sadra, manusia yang tidak mengenal wujud, takkan kenal hari kebangkitan, ruh, dan semesta. Jadi semuanya di bangun dalam realitas eksistensi.

Adapun persamaan eksistensialisme di Barat dan di Islam, semuanya berawal dari pengalaman manusia terhadap realitas. bedanya di Barat menafsirkan wujud hanya pada manusia, kalau di islam segala entitas di tafsirkan sebagai wujud, hingga kata Sadra siapa yang jahil terhadap wujud ia jahil terhadap segala realitas, jahil terhadap ma’ad, mental, dan seluruh eksistensi yang ada. Inilah perbedaan eksistensi yang ada di barat dan eksistensi yang ada di dalam filsafat Islam.

d.      Mulla Sadra ‘Sang Pembaharu’ dalam Filsafat Islam
Mulla Sadra adalah sang pembaharu dalam filsafat Islam. Seseorang disebut sebagai pembaharu jika ia punya jejak filsafat sebelumya, karna kalau ia tidak punya jejak filsafat sebelumnya, tentu pemikirannya tidak bisa disebut sebagai filsafat yang kuno atau baru. Tapi kalau ia punya jejak pemikiran sebelumnya kemudian ia mengadakan pembaharuan pada pemikiran tersebut, maka ia disebut sebagai ‘pembaharu’ dalam pemikiran filsafatnya. Jadi filsuf pembaharu, ketika bertemu pemikiran klasik bukan hanya mengambil dan mengadopsi pemikiran tersebut, tapi senantiasa mengadakan pambaharuan-pembaharuan yang ada dalam filsafat tersebut. Nah, dalam Sadra banyak sekali pembaharuan yang ditemukan dalam filsafat. Sadra mengambil pemikiran Plato dengan teorinya ‘alam ide’, namun tidak sekedar mengadopsi, namun Sadra menambahkan proposisi-proposisinya sehingga argumentasinya menjadi sempurna. Ia juga mengambil Aristoteles, Ibn Arabi yang kemudian melahirkan teori baru dalam pemikiran filsafatnya.

Sadra adalah seorang tokoh filsuf ‘pembaharu’, bukan filsuf baru yang membawa filsafat baru. Karena kalau filsafat baru tidak punya jejek-jejak pemikiran filsafat sebelumnya. Oleh karenanya filsafat baru adalah murni muncul saat ini tanpa punya jejak sebelumnya. Tapi Sadra punya jejak–jejak sebelumnya sehingga ia disebut ‘pembaharu’. Karena itulah Sadra disebut sebagai filosof yang sempurna untuk periode sekarang ini dalam filsafat islam. Namun mesti dipahami bahwa kata ‘sempurna’ dalam pengertian ini, bukan dalam pengertian menutup gagasan-gagasan baru, namun menunjukkan bahwa masih terbuka pintu-pintu untuk menemukan hal baru, atau minimal merapihkan pandangan Sadra dalam berbagai ceceran pemikirannya. Dalam kata lain, menyusun sebuah ikatan antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya.

Adapun yang pertama kali dengan tegas mengangkat pembahasan isholatul mahiyah adalah gurunya, Mirdamad, ia mengatakan bahwa saya dan filosof sebelum saya, semuanya adalah penganut isholatul mahiyah. Pemikiran ini kemudian mempengaruhi Sadra dalam kurun waktu tertentu, karena ia juga mengikuti gurunya, Mirdamad. Namun, akhirnya Sadra menemukan pemikirannya sendiri dan meninggalkan pemikiran gurunya. Perubahan pemikiran dari ishalatul mahiyah ke ishalatul wujud karena Sadra sering mengakses kitab-kitab Irfan, khususnya kitab Ibn Arabi, sehingga Sadra merubah pemikirannya dari isholatul mahiyah ke isholatul wujud. Oleh karenanya, yang memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran Sadra karena ia dekat dengan teks-teks irfan, sehingga jika kita masuk teks Asfar, kita dapat lihat bahwa perjalanan terakhirnya adalah irfan/tasawuf, seperti dalam kitab ‘Al-Asfar Al-Arbaah’ (4 perjalanan) yang juga diilhami dari empat perjalanan sufistik.

· Pertama, dari mahluk menuju Tuhan : pembahasan ontologi secara general, alwujud bima huwa wujud
· Kedua, dari Tuhan menuju Tuhan bersama Tuhan : pembahasan ontologi tentang pembuktian Tuhan serta sifat-sifat Tuhan
· Ketiga, dari Tuhan menuju mahluk bersama Tuhan: perjalanan manusia menuju jiwanya” pembahasan tentang nafs”
· Keempat, dari mahluk menuju mahluk bersama Tuhan : pembahasan tentang hari akhir/barzakh.

Hal diatas adalah empat perjalanan yang di tawarkan Sadra kepada kita. Karena itu isholatul wujud menjadi dasar dalam seluruh gagasan filsafatnya, ketika masuk pembahasan jiwa, ma’ad, gerak substansi, pasti ada pembahasan isholatul wujud di dalamnya. Karena itu bangunan filosofisnya jelas, jadi kalau kita meruntuhkan isholatul wujud , itu sama saja meruntuhkan seluruh bangunan Sadra. Disinilah kemudian ia mengatakan bahwa filsafatku adalah ‘Al-Hikmah Al-Muta’aliyah’. Misalnya dalam pembahasan terakhir pada pembahasan kausalitas, setelah mnegembalikan kausalitas kepada pembahasan tasya’un (tajalli), Sadra mengatakan telah saya sempurnakan filsafat. Filsafat Sadra adalah gerak dari teologi menuju filsafat Paripatetik, kemudian menuju filsafat iluminasi, selanjutnya menawarkan filsafatnya yang mensejajarkan pemikirannya dengan irfan, sehingga kalau kita mau mengkaji pemikirannya secara detail, tidak mungkin terpisah dari teks-teks Ibn Arabi. Ketika menjelaskan wujud, Sadra dengan sangat jelas mengatakan bahwa wujud itu sebagaimana yang dikatakan oleh ‘urafa, seperti pada kitabnya ‘al-Masyaa’ir’, secara tegas dikatakan bahwa wujud itu bukan genus, bukan fasl, bukan kulli, bukan juzi dan ini tidak ada yang memahami kecuali arrasikhuna fil 'ilm (yang mendalam ilmunya) atau ’urafa'. Karena itu kalau kita tafsirkan secara Hermeneutik dapat dikatakan bahwa ada ikatan erat antara Hikmah Muta’aliyah dengan pemikiran irfan Ibn Arabi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar