Kamis, 31 Oktober 2013

Hukmah Muta'aliyyah



Kerumitan persoalan wilayah filsafat, khususnya filsafat dalam pemaknaannya yang lebih spesifik yaitu yang membahas mengenai realitas eksistensi dan hakekat, dikarenakan pertama; kekuatan akal argumentatif tidak setingkat dengan hakekat realitas yang akan diargumentasikan, seperti seorang filsuf yang akan mempersepsi keazalian Tuhan, asmaul husna, hakekat wahyu, kenabian, risalah, wilayah, dan semacamnya. Hal yang kedua dikarenakan persoalan yang berada pada wilayah materi dan indrawi yang tak dapat diargumentasikan ingin menyertai akal immateri filsuf, misalnya ingin memahami dengan akal argumentatif yang immateri akan makna gerak secara mutlak, waktu, materi, dan segala persoalan yang sifatnya gradual, tak pernah diam, dan senantiasa berubah. Karena selama objek itu bergerak dan belum tenang serta belum memiliki wujud secara utuh, tentu sulit untuk dipahami. Kemudian selanjutnya setelah keluar dari wilayah gradual dan sampai pada wilayah tetap dan immateri, tentu tak ada lagi gerak dan potensi murni (matter atau hayula).
Kehadiran Mulla Sadra dengan suguhan hikmah muta’aliyah, membuat filsafat Islam dengan metode argumentasinya menjadi lebih mudah, baik itu kerumitan dalam bentuk pertama yaitu dari akal argumentatif menuju realitas objektif immateri atau pun juga dalam bentuk kedua yaitu dari realitas objektif indrawi menuju akal argumentatif. Berikut ini beberapa hal yang menjadi keunggulan pemikiran hikmah muta’aliyah Mulla Sadra:
1.      Hakikat jiwa manusia yaitu jismaniyatul hudhuts dan ruhaniyatul baqa’ (pada tahap awal jiwa  itu dimulai dari materi dan selanjutnya menjadi ruhani dalam keabadiannya).
2.      Wujud sebagai hakikat yang fundamental (ishlatul wujud), bukan mahiyah.
3.      Hakekat wujud yang fundamental adalah tunggal, bukan beragam dan tabayun (antara satu entitas dengan entitas yang lain secara totalitas berbeda).
4.      Ketunggalan hakekat wujud adalah bergradasi, bukan wahdatul wujud sebagaimana dibahas dalam irfan.
5.      Adanya proses tahapan perjalanan substansial dalam gradasi wujud. Maksudnya jika disesuaikan pada poin ke empat maka wujud ada yang kuat dan ada yang lemah, dan bahkan jika digabung dengan poin kelima maka gradual intensitas dalam wujud menjadi sebuah keniscayaan, sehingga wujud substansi bisa dikatakan sebagai proses dari tingkatan yang lemah menuju tingkatan yang lebih kuat.
6.      Maksud dari proses tahapan perjalanan substansial adalah lubs ba’da lubs, bukan khal’ ba’da lubs. Perbedaan antara lubs ba’da lubs dengan khal’ ba’da lubs bisa digambarkan dalam analogi berikut ini; perumpamaan khal’ ba’da lubs seperti gerak sebuah kendaraan mobil yang meninggalkan tempat sebelumnya dan sampai pada tempat selanjutnya dimana tempat yang telah dilewati sebelumnya tidak menyertai mobil tersebut sampai pada tempat selanjutnya. Kemudian perumpamaan lubs ba’da lubs seperti gerak pohon tak pernah meninggalkan tempat sebelumnya, bahkan segala yang telah dilewatinya pada saat itu pula menjadi pondasi yang dengannya gerak tersebut dibangun untuk gerak selanjutnya. Dalam kata lain sejak dari gerak pertama sampai pada gerak selanjutnya menjadi satu kesatuan eksistensial yang tak terpisahkan.
7.      Perjalanan eksistensi manusia Ilahi, tak terbatas. Oleh karena itu seluruh proses tahapan perjalanan yang dimungkinkan sebagai singgasana manifestasi Ilahi dapat digapai dan sekaligus hadir dalam singgasana tersebut. Maqam fana merupakan tahapan perjalanan yang mulia dimana pada tahapan inilah akan nampak realitas irfan dan berakhirnya risalah filsafat, karena pada tahapan tersebut bukan konteksnya lagi ilmu hushuli, tashawwur, tashdiq, proposisi, dan qiyash. Oleh karenanya bukan lagi wadah bagi argumentasi yang bersandar pada tashawwur dan tashdiq.
8.      Hakekat manusia diawali dari wujud jismani hingga pada puncak perjalanan substansi dirinya yang merupakan sebuah ketunggalan yang hakiki. Ketunggalan hakiki tersebut memiliki kesatuan yang pada tahapan keragaman termanifestasi dalam wadah keragaman dan pada puncak tahapan ketinggiannya adalah realitas ketunggalan. Oleh karenanya dengan bantuan proses pada tingkatan yang rendah (bawah), ia mempersepsi realitas tertentu seperti gerak dan selanjutnya dengan penyempurnaan proses rasio dalam dirinya dapat mempersepsi konsep universalnya. Sebagaimana pula melalui perjalanan transenden eksistensi realitas dirinya yang pada puncaknya dapat memahami sebagian dari asma Ilahi Tuhan dengan ilmu syuhudi. Kemudian pada tahapan selanjutnya ilmu syuhudi tersebut diterjemahkan dengan ilmu hushuli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar