Rabu, 30 Oktober 2013

Argumentasi Materi Primer


Pendahuluan

            Perubahan-perubahan yang terjadi pada entitas-entitas di alam materi ini merupakan fenomena yang sangat jelas dan tak mungkin diragukan apalagi diingkari. Dengan mudah kita dapat menyaksikan fenomena-fenomena tersebut. Fenomena-fenomena di alam materi ini senantiasa berubah-ubah dari satu kondisi menuju kondisi lain dan dari satu kualitas menuju kualitas yang lain. Kita menyaksikan tanaman didepan rumah kita tumbuh secara perlahan-lahan. Warna daun berubah secara perlahan-lahan. Apa sebenarnya rahasia di balik perubahan-perubahan ini ? apa saja syarat-syarat yang ada di dalam perubahan tersebut ? para ilmuan berusaha untuk mengungkap rahasia-rahasia dibalik perubahan-perubahan ini dan sebagian dari persoalan tersebut berhasil diungkap oleh para ilmuan.
            Dalam mengungkap rahasia dibalik perubahan entitas-entitas materi tersebut, filsafat mencoba memberikan pandangan dan mengungkap apa yang ada dibalik perubahan materi tersebut melalui telaah-telaah terhadap perubahan materi. Namun mesti diingat, apa yang menjadi fokus telaah filsafat dan sains itu berbeda. Fokus kajian filsafat pada aspek universalnya. Maksudnya filsafat dalam memandang sesuatu, memiliki sebuah pandangan tertentu dimana dengan pandangan tersebut akan menghasilkan aspek keuniversalan akan sesuatu tersebut. Sudut pandang filsafat bukan pada karekteristik tertentu yang ada pada satu entitas tertentu, akan tetapi filsafat senantiasa mencari sesuatu yang berlaku dalam segala entitas yang menjadi objek persoalan.
            Dalam filsafat, perubahan-perubahan pada materi dipahami karena adanya aspek aktualitas dan aspek potensialitas. Apa yang kita saksikan pada materi dengan segala efek-efek yang keluar darinya merupakan aspek aktualitas. Namun disisi lain, materi tersebut memiliki aspek potensialitas karena materi tersebut bisa berubah dari satu aktualitas menuju aktualitas yang lain. Dari kayu menuju arang dan dari arang menuju debu. Maksudnya kayu sebagai aktualitas berpotensi untuk menjadi arang dan selanjutnya arang sebagai aktualitas berpotensi untuk menjadi debu. Konsep ‘potensi’ dan ‘aktual’ ini adalah konsep yang tidak didapatkan melalui indrawi. Kedua konsep tersebut didapatkan dengan proses abstraksi, bukan didapatkan secara langsung melalui persepsi indrawi.  
            Para filsuf meyakini bahwa perubahan tersebut tidak terjadi secara spontanitas. Maksudnya perubahan itu tentu diawali sebelumnya dengan sebuah potensi, bukan dari ketiadaan. Perubahan-perubahan pada materi diawali sebelumnya dengan potensi dimana potensi tersebut sebagai penyiap untuk mewujudkan sebuah aktualitas tertentu. Berdasarkan hal ini, manusia tidak mungkin menciptakan sesuatu dari ketiadaan. Manusia senantiasa membutuhkan bahan-bahan dasar dalam menciptakan sesuatu yang baru. Dalam filsafat, potensi tersebut disebut dengan materi primer.      
            Berdasarkan pada pandangan diatas, persoalan mengenai hakikat materi, bukan saja menjadi topik pembahasan para saintis, tapi juga menjadi topik pembahasan para filsuf. Ilmuan saintis hingga saat ini masih menelusuri mengenai hakikat materi sebenarnya. Karena itu dapat kita saksikan para ilmuan saintis melalui metode eksperimentasi yang mereka lakukan, berbeda-beda dalam menggambarkan materi.
Metode yang dilakukan oleh para filsuf dalam membahas materi, bukan melalui metode eksperimentasi akan tetapi melalui metode argumentasi rasional. Dalam pandangan filsuf, pengetahuan dan makrifat bisa diperoleh melalui kaidah-kaidah universal yang berakar dari prinsip-prinsip badihi. Menurut mereka, pengetahuan itu seharusnya bersifat universal, niscaya, dan berlaku selamanya. Pengetahuan seperti ini dapat diperoleh ketika pengetahuan kita sampai pada sebabnya. Berdasarkan metode ini, para filsuf mencoba menjelaskan hakikat materi dengan perantara akal.
Sejak zaman Aristoteles hingga saat ini, sebagian besar filsuf meyakini bahwa materi tersusun dari dua hal; bentuk materi (form) dan materi primer. Dalam pandangan mereka, materi primer adalah substansi yang sama sekali tidak memiliki aktualitas. Materi primer merupakan salah satu bagian dari materi yang khusus menerima bentuk-bentuk materi. Oleh karena itu, karena tugas dari materi primer ini hanya menerima bentuk saja maka di dalam dirinya tak terdapat aktualitas sama sekali. Namun perlu diketahui bahwa tidak semua filsuf menerima keberadaan materi primer. Sebagian filsuf menolak keberadaan materi primer, baik itu dari kalangan filsuf klasik seperti Suhrawardi dan juga Nashiruddin al-Thusi, maupun juga dari kalangan filsuf kontemporer seperti Syahid Murtadha Muthahhari dan Ayatullah Misbah Yazdi.
Dalam tulisan ini, kami akan menjelaskan argumentasi Ibn Sina dalam membuktikan keberadaan materi primer sebagai salah satu bagian dari materi, selain dari bentuk materi. Setelah itu kami akan menjelaskan kritikan atas argumentasi tersebut dan selanjutnya akan menganalisa keduanya. Namun sebelum menjelaskan argumentasi tersebut, kami akan menjelaskan beberapa peristilahan agar memudahkan kita memahami argumentasi tersebut.

Definisi Materi Primer
Sebelum menjelaskan materi primer, kami akan menjelaskan makna materi (jism) terlebih dahulu. Penjelasan ini penting karena materi dalam pandangan filsafat memiliki beberapa istilah. Maksudnya istilah materi dalam filsafat, musytarak lafzi atau univokal. Materi memiliki dua makna yaitu materi natural (jism al-thabi’i atau physical body) dan materi matematis (jism al-ta’limi atau mathematical body)[2].
Materi natural adalah substansi yang mungkin diasumsikan padanya tiga dimensi  yaitu panjang, lebar, dan kedalaman. Karena itu materi natural adalah substansi ekstensien (imtidād atau extension) dalam tiga dimensi dan merupakan salah satu pembagian dari substansi. Sedangkan materi matematis adalah ‘ukuran’ ekstensien yang memiliki tiga dimensi. Ukuran ekstensien tersebut yang menentukan ukuran aspek tiga dimensi. Jadi materi matematis adalah massa atau volume  yang membatasi materi natural. Oleh karenanya materi matematis ini merupakan ekstensien aksidental. Materi natural ini menjadi objek pembahasan ilmu-ilmu fisikal, sedangkan materi matematis merupakan objek pembahasan geometri. Materi natural adalah ekstensien yang ambigu (tanpa ukuran tertentu) sedangkan materi matematis merupakan ukuran ekstensien materi natural.[3] Filsafat parepatetik seperti Ibn Sina meyakini bahwa materi natural memiliki rangkapan. Susunan pertama yaitu ekstensien dan kontinuitas substansi yang disebut dengan bentuk material (shurah jismiyah), dan bagian lainnya adalah suatu bagian yang menerima ‘bentuk material’ tersebut yang dalam filsafat paripatetik disebut dengan materi primer.        
Setelah menjelaskan materi natural dan materi matematis, sekarang kami akan menjelaskan definisi materi primer. Sebagaimana dipahami bahwa sebagian filsuf meyakini keberadaan materi primer dan berusaha membuktikan keberadaan materi primer karena keberadaan materi primer dapat menjelaskan dengan baik fenomena dan perubahan-perubahan yang terjadi pada alam materi. Dalam kata lain, filsuf sebelumnya menjelaskan secara filosofis mengenai perubahan-perubahan alam materi melalui materi primer. Namun ada satu pertanyaan mendasar dalam persoalan ini yaitu apakah perubahan sebuah unsur ketika berubah pada sesuatu secara totalitas unsur tersebut sirna dan digantikan oleh unsur lain tanpa memiliki kaitan sama sekali dengan unsur sebelumnya atau tidak ?
Dalam menjawab persoalan ini Aristoteles dan juga termasuk Ibn Sina meyakini akan adanya suatu potensi dalam materi dimana potensi inilah yang bertugas untuk menerima bentuk-bentuk baru pada materi. Oleh karena itu, jika kita dapat membuktikan keberadaan materi primer maka kita dapat menjelaskan dengan baik perubahan-perubahan yang terjadi pada alam materi.
Dalam mendefinisikan materi primer, kita tidak bisa mendefinisikan materi primer melalui genus dan difrensianya karena materi primer itu sederhana (simple). Maksudnya karena materi primer ini hanya potensi dan sama sekali tidak ada aktualnya sehingga dalam dirinya tidak memiliki rangkapan, dan karena didalam dirinya tidak memiliki rangkapan sehingga materi primer tidak memiliki genus dan difrensia. Oleh karenanya kita tidak bisa mendefinisikan materi primer melalui genus dan difrensia, contohnya warna putih, karena warna putih ini sederhana (simple) sehingga kita tidak bisa mendefinisikan warna putih ini dengan genus dan difrensia.
Definisi yang biasa digunakan dalam menjelaskan materi primer yaitu “sebuah substansi sebagai wadah dalam menerima bentuk-bentuk dan aksiden-aksiden material dimana  wadah atau potensi tersebut tidak memiliki aktualitas sama sekali. Dalam kata lain, materi primer adalah bagian dari materi yang murni potensi dan tidak memiliki aktualitas sama sekali, dan satu-satunya aktualitasnya adalah ketidak-aktualitasannya. Kemudian karena materi itu substansi maka materi primer pun adalah substansi sebab materi primer merupakan bagian dari materi dan bagian itu adalah komponen dasar (muqawwim) bagi keseluruhan, dan entitas aksiden tidak mungkin bisa menjadi komponen dasar bagi sebuah substansi. Oleh karena itu, materi primer adalah potensi substansi yang jika dinisbahkan padanya potensi eksiden seperti relasi antara materi natural (thabi’i) terhadap materi matematis (ta’limi)”[4].
Dari definisi diatas, ciri yang tergambarkan dari materi pertama yaitu substansi dan potensi. Disini perlu kami jelaskan maksud dari potensi dalam pembahasan ini, karena potensi memiliki ragam makna. Pada umumnya potensi dimaknai sebagai kekuatan atau kemampuan manusia dalam melakukan tindakan-tindakan yang sulit dan berat. Potensi dalam pemaknaan seperti ini biasanya diperlawankan dengan ‘lemah’. Makna lainnya yaitu kemampuan yang ada didalam diri manusia untuk dikembangkan lebih jauh. Potensi dalam pemaknaan ini, sama dengan makna bakat yang dimiliki oleh manusia dimana manusia dapat mengembangkan bakatnya lebih jauh.
Makna lain dari potensi sebagai istilah yang digunakan dalam pembahasan ini yaitu potensi yang diperlawankan dengan aktualitas. Ketika kita mengatakan wujud tersebut aktual dan memiliki aktualitas, maksud dari aktual disini yaitu wujud tersebut memiliki efek tertentu yang muncul darinya. Misalnya ketika kita mengatakan pohon mangga ini telah ada secara aktual, maksudnya suatu wujud telah eksis dimana wujud tersebut memiliki seluruh efek-efek pohon mangga secara hakiki. Dalam kata lain, pohon mangga tersebut benar-benar telah aktual saat ini. Namun ketika kita mengatakan bahwa sesuatu itu ada secara potensi, maksudnya terdapat sesuatu dimana sesuatu tersebut dapat berubah pada sesuatu yang lain. Sesuatu tersebut memungkinkan di dalam dirinya untuk aktual. Misalnya pada biji mangga secara potensi adalah pohon mangga. Maksudnya saat ini secara objektif memang benar-benar tidak ada pohon mangga, akan tetapi pada biji mangga terdapat sebuah potensi yang dapat berubah menjadi pohon mangga. Dari biji mangga, dapat muncul darinya pohon mangga sehingga bisa dikatakan pohon mangga secara potensi ada pada biji mangga. Karena itu potensi dalam pembahasan ini yaitu potensi yang senantiasa diperhadapkan atau diperlawankan dengan aktual, dan yang dimaksud dengan aktual yaitu realitas eksistensi eksternal yang darinya muncul efek-efek tertentu.
Pada definisi sebelumnya dijelaskan bahwa materi primer adalah sebuah wadah (materi yang murni potensi tanpa aktualitas sama sekali) dalam menerima bentuk-bentuk baru. Jika materi primer ini digabungkan dengan bentuk material (shurah jismiyah) maka akan muncul materi secara aktual yang mana secara otomatis menjadi potensi bagi bentuk-bentuk spesis (shurah nau’iyyah) tertentu. Maksudnya jika bentuk-bentuk spesis tertentu digabungkan dengan materi maka akan menghasilkan beragam jenis keberadaan. Materi  yang merupakan potensi bagi bentuk-bentuk spesis disebut dengan materi sekunder.
Hal yang perlu diperhatikan disini bahwa semua filsuf sepakat akan adanya potensi sebagai dasar penyiapan munculnya keberadaan-keberadaan baru dan sebagai penerima aktualitas. Karena itu persoalan yang diperdebatkan bukan dalam persoalan adanya ‘penerima’ atau potensi dalam menerima bentuk-bentuk baru. Namun yang diperdebatkan adalah apakah yang dimaksud dengan materi primer adalah materi itu sendiri atau materi primer ini adalah salah satu bagian dari materi dimana bagian lainnya adalah bentuk material. Dalam kata lain, apakah materi merupakan gabungan dari materi primer dan bentuk materi atau tidak ?    
Argumentasi Pembuktian Materi Primer
Dalam pembahasan ini, kami akan menjelaskan argumentasi materi primer menurut Ibn Sina dalam kitabnya al-syifa al-ilāhiyyāt. Ada dua argumentasi penting dalam menjelaskan argumentasi pembuktian materi primer dalam kitab tersebut. Argumentasi pertama ini dikenal dengan argumentasi potensi dan aktual (the potentiality and actuality) dan argumentasi kedua dikenal dengan argumentasi ‘tersambung dan terpisah’ (joining and separation).
1.      Argumentasi Potensi dan Aktual  
Argumentasi ‘potensi dan aktual’ sebagai berikut; “setiap materi pada aspek kemateriannya atau pada aspek substansi materi memiliki tiga dimensi dimana tiga dimensi ini merupakan sisi aktualitasnya. Selanjutnya bahwa dari sisi ‘dapat menerima bentuk-bentuk’ dan aksiden-aksiden dimensial merupakan aspek potensialitasnya. Disisi lain aspek potensialitas berbeda dengan aspek aktualitas, karena potensialitas melazimkan tiada-memiliki dan aktualitas melazimkan memiliki dimana tiada-memiliki dan memiliki adalah dua hal yang bertentangan, oleh karena itu mustahil dua aspek tersebut berasal dari satu hakekat. Oleh karena itu, setiap materi tersusun dari dua unsur realitas yang saling bertentangan, dan karena materi itu substansi maka bagian dari materi pun mesti substansi karena bagian itu merupakan komponen dasar (muqawwim) bagi keseluruhan, karena itu pula tidak mungkin komponen dasar bagi substansi berasal dari aksiden. Berdasarkan hal ini  terbukti bahwa terdapat bagian dari materi dimana bagian tersebut merupakan substansi dan aspek yang dimilikinya hanya aspek potensialitas semata”[5]
Ayatullah Misbah Yazdi dalam karyanya Amozesye Falsafeh menjelaskan argumentasi potensi aktual ini sebagai berikut, “setiap materi memiliki kemungkinan untuk berubah pada jenis-jenis materi yang lain. Seperti perubahan suatu unsur kepada unsur lainnya atau berubahnya suatu unsur atau beberapa unsur pada mineral atau tumbuh-tumbuhan dan hewan (potensi dan aktual) sebagaimana setiap materi memiliki kemungkinan untuk berubah pada dua atau beberapa materi dari jenisnya sendiri (tersambung dan terpisah), ‘kemungkinan kepada perubahan’ ini merupakan suatu jenis dari kualitas yang disebut dengan kualitas potensial (quality-through-preparedness) atau mumkin potensial (possibility of preparedness), serta mampu memiliki intensitas kuat dan lemah, sempurna dan kurang, sebagaimana janin berpotensi untuk berubah pada sebuah eksistensi yang memiliki ruh yang sebelumnya berasal dari potensi nuthfah. Aksiden ini butuh pada sebuah objek yaitu substansi, akan tetapi objeknya tidak mungkin pada substansi yang memiliki aktualitas karena susbstansi tersebut diasumsikan mesti memiliki kemungkinan untuk memunculkan kualitas tersebut, dan [jika] mumkin yang diasumsikan juga merupakan [berasal dari] kualitas lain yang sebelumnya didahului oleh kemungkinan yang ketiga, dan begitu seterusnya hingga tak terhingga, maka hal ini akan melazimkan untuk berubahnya setiap eksistensi pada eksistensi lain dan munculnya setiap substansi atau aksiden yang baru meniscayakan adanya aksiden-aksiden yang tak terhingga dimana masing-masing dari aksiden tersebut mendahului secara waktu pada aksiden lainnya. [dan karena hal ini mustahil] maka yang menjadi wadah bagi aksiden ini mesti substansi yang mana substansi tersebut adalah potensi yang tidak memiliki aktualitas sama sekali”[6].
2.      Argumentasi Tersambung dan Terpisah (Joining and separation)
            Argumentasi ‘tersambung dan terpisah’ dijelaskan secara penjang lebar oleh Ibn Sina dalam karyanya Ilāhiyyāt al-Syifa dan juga dalam karya lainnya seperti al-Isyārat wa al-Tanbihāt dan Nejāt. Argumentasinya bisa disimpulkan berikut ini, “materi sebagaimana materi dapat menerima pembagian, dalam kata lain bahwa materi dapat dibagi. Ketika sebuah materi terbagi menjadi dua bagian dan atau sebaliknya terdapat dua materi yang tersambung dan menyatu. Tersambung dan terpisahnya  materi tersebut bukan dalam pemaknaan bahwa materi sebelumnya sirna secara totalitas  dan selanjutnya muncul materi baru dengan kondisi yang baru tanpa ada kaitannya dengan kondisi sebelumnya. Namun maksudnya bahwa materi tersebut dibagi menjadi dua bagian atau dua materi yang tersambung dan menjadi satu bagian. Oleh karena itu, mesti ada sisi kesamaan antara keberadaan sebelumnya dan keberadaan setelahnya sehingga perubahan tersebut terjadi. Aspek kesamaan ini tidak mungkin berada pada bentuk material karena bentuk material adalah aspek ketersambungan (continuity) dan ketersambungan ini telah sirna, olehnya mesti ada bagian lain dari materi yang masih tetap yang kita sebut dengan materi primer. Dalam kata lain, ketersambungan tak mungkin menerima aspek keterpisahan karena tidak mungkin dua aspek yang bertentangan satu sama lain saling menerima. Oleh karena itu, dalam materi mesti ada bagian lain selain dari bentuk ketersambungan yang menerima ketersambungan tersebut dan juga menerima pemisahan dimana aspek tersebut di dalam dirinya bukan ketersambungan dan juga bukan aspek keterpisahan”[7].
Beberapa Kritikan atas Argumentasi Keberadaan Materi Primer
            Setelah menjelaskan dua argumentasi penting dalam membuktikan keberadaan materi primer menurut Ibn Sina, selanjutnya kami akan menjelaskan beberapa kritikan terhadap argumentasi tersebut.
1.      Kritik Suhrawardi atas Argumentasi Pembuktian Materi Primer
            Kritik Suhrawardi ini pada argumentasi ‘tersambung dan terpisah’. Menurut Suhrawardi, pada argumentasi tersebut terjadi kesalahan dalam mengaplikasikan istilah ketersambungan (continuity) karena ketersambungan memiliki dua makna atau dalam kata lain ketersambungan disini adalah equivokal (isytirak al-lafzi). Makna pertama yang dimaksud dengan ketersambungan adalah dua materi yang terpisah satu sama lain lalu kemudian tersambung. Ketersambungan dalam pemaknaan ini diperlawankan dengan makna keterpisahan, kemudian ketersambungan tersebut tidak dapat menerima keterpisahan. Kemudian makna kedua yang dimaksud dengan ketersambungan adalah ekstensien dan ukuran substansi atau yang biasa disebut dengan bentuk material oleh kalangan filsuf paripatetik.  Ketersambungan dalam istilah ini bukan lawan dari keterpisahan, bahkan dapat menjadi potensi baginya. Menurut Suhrawardi, dikarenakan adanya dua istilah ketersambungan tersebut sehingga terjadi kekeliruan dalam argumentasinya. Dalam pandangan paripatetik, ketersambungan adalah lawan dari keterpisahan sehingga ketersambungan tidak bisa menerima keterpisahan. Kemudian disisi lain istilah ketersambungan ini juga digunakan pada ekstensien dan ukuran substansi, sehingga jika ada materi yang terpisah maka kita akan menyimpulkan bahwa selain aspek ketersambungan pada materi, terdapat juga aspek yang lain yang menerima keterpisahan tersebut yang disebut dengan materi primer. Kritikan Suhrawardi justru pada penggunaan istilah ketersambungan tersebut, karena istilah ketersambungan dalam argumentasi ‘tersambung dan terpisah’ digunakan dalam menjelaskan bentuk material. Sementara  ketersambungan dalam pemaknaan ekstensien substansial bukan lawan dari keterpisahan. Karena itu jika filsafat paripatetik dalam konteks ini mengatakan lawan dari ketersambungan adalah keterpisahan, merupakan sebuah anggapan yang salah. Ketersambungan lawan dari keterpisahan hanya dalam pemaknaan ‘dua materi yang terpisah lalu tersambung’. Oleh karenanya menurut Suhrawardi, paripatetik telah keliru dalam argumentasi yang digunakan karena terjadi kekeliruan dalam penggunaan kata ketersambungan yang memiliki dua makna. Padahal ketersambungan diperlawankan dengan makna keterpisahan hanya dalam makna yang pertama, bukan dalam makna yang kedua. Berdasarkan hal ini, menurut Suhrawardi pada materi hanya ada ekstensien dan ketersambungan substansi dan tidak butuh pada materi primer yang berfungsi sebagai penerima keterpisahan, karena ekstensien substansi itu sendiri berfungsi sebagai penerima.[8]
            Kritik Suhrawardi atas argumentasi materi primer ditolak oleh Mulla Sadra. Menurut Sadra, meskipun keduanya adalah ketersambungan, namun ada ketersambungan relasi dan ada ketersambungan yang bersifat hakiki. Ketersambungan relasi adalah kelaziman dari ketersambungan hakiki substansi materi. Oleh karena itu, jika materi terpisah dan ketersambungan relasi sirna maka ketersambungan hakiki tentunya juga sirna. Maksudnya dengan muculnya keterputusan pada materi, ketersambungan substansi tidak mungkin terjaga dan tetap pada eksistensi dirinya.[9]   
2.      Kritik Murtadha Muthahhari atas Argumentasi Pembuktian Materi Primer
            Sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya, Murtadha Muthahhari salah satu filsuf yang menolak keberadaan materi primer. Dia berselisih dengan gurunya ‘Allamah Thabataba’i’ yang menerima keberadaan materi primer. Murtadha Muthahhari dalam komentarnya terhadap Ushul-e Falsafeh wa Rawesy-e Rialism karya Allamah Thabataba’i,  mengatakan, “teori ini tidak dapat diterima. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa jika materi-materi tersebut dianalisa maka akan berakhir pada dua bagian, salah satu bagiannya tidak memiliki aktualitas sama sekali selain dari ‘aktualitas potensi dalam menerima’ yang disebut dengan materi primer. Bagian lainnya yaitu bentuk material dimana hakekatnya adalah dimensi dan ekstensien . . . namun pandangan ini menurut kami tidak benar. Menurut kami, materi tidak bisa dibagi pada dua bagian yaitu materi primer dan bentuk material. Materi primer dan bentuk material bisa dianggap sebagai susunan dari materi akan tetapi bukan rangkapan realitas eksternal, namun sebagai rangkapan mental (zihni). Maksudnya setiap materi yang ada pada realitas eksternal tidak akan berakhir pada dua bagian yang disebut dengan materi primer dimana didalam dirinya tidak ada bentuk (aktualitas) sama sekali dan bagian lainnya adalah bentuk material.[10] Setelah itu Muthahhari melanjutkan pembahasannya dalam menjelaskan persoalan potensi. Ia menjelaskan, salah satu pembahasan penting berkaitan dengan hal ini adalah apakah potensi ini benar-benar nyata  pada realitas eksternal atau konsiderasi (iktibari) mental semata. Berkaitan dengan hal ini, Muthahhari menjelaskan, “dalam kesempatan ini, penting menjelaskan sebuah pandangan bahwa potensi itu hanya konsiderasi semata. Maksudnya potensi atau mumkin potensial (possibility of preparedness) tidak mungkin sebuah eksistensi dan [atau] sebuah eksistensi yang nyata [pada realitas eksternal]. Namun hanya sebagai sebuah konsep iktibari dan abstraksi dengan penjelasan sebagai berikut; sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, potensi merupakan syarat sebelum eksis setiap kebaruan dan setiap fenomena tanpa adanya pengecualian. Berdasarkan argumentasi [kaidah] ini, potensi itu sendiri tidak mungkin sebuah eksistensi yang nyata karena akan melazimkan pada dirinya juga berlaku kaidah tersebut. Maksudnya akan melazimkan setiap potensi yang akan mewujud, sebelumnya telah ada pada potensi yang lainnya, dan potensi yang lainnya tersebut telah ada sebelumnya pada potensi yang lainnya juga dan begitu seterusnya hingga tak terhingga. [Misalnya] jika manusia ingin mewujud, sebelumnya mesti ada potensi-potensi yang tak terbatas dimana salah satu potensi tersebut ada potensi manusia itu sendiri, kemudian sebelumnya potensinya potensi manusia, lalu sebelumnya potensinya potensinya potensi manusia dan begitu selanjutnya sampai tak terbatas, dan masing-masing dari potensi-potensi tersebut butuh pada wadah tertentu, sedangkan kita mengetahui secara niscaya bahwa setiap eksistensi seperti manusia, pohon, dan entitas-entitas lainnya tidak memiliki potensi yang tak terhingga”.[11]
3.      Kritik Muhammad Taqi Misbah Yazdi atas Argumentasi Pembuktian Materi Primer
            Ayatullah Mizbah Yazdi salah satu filsuf kontemporer yang menolak keberadaan materi primer. Dalam karyanya Amozesy-e Falsafeh, selain menjelaskan argumentasi materi primer, sekaligus mengeritik argumentasinya. Sebelum menjelaskan argumentasinya, ia mengatakan, “. . . namun persoalan yang sangat mendasar bahwa tidak dapat dibuktikan keberadaan sebuah substansi yang secara esensi sama sekali tidak memiliki segala bentuk aktualitas. Oleh karenanya, pandangan yang benar adalah pandangan Syeks Isyraq, Allamah Syekh Thusi, dan filsuf-filsuf lainnya yang mengingkari keberadaaan substansi seperti itu”.[12] Selanjutnya Ayatullah Misbah menjelaskan argumentasi dalam membuktikan keberadaan materi primer, kemudian setelah itu mengeritik argumentasi tersebut. Dalam mengeritik argumentasi tersebut ia mengatakan, “. . . namun mesti dipahami, menurut filsuf, bentuk material tidak akan pernah sirna di alam materi, dan jika diasumsikan materi primer itu ada, kemudian keberadaan materi primer senantiasa bergantung dan bersama dengan bentuk material (tanpa mengaitkannya dengan pembahasan gerak substansi yang akan dibahas pada tempatnya sendiri), maka dengan memperhatikan persoalan ini,  pertanyaannya adalah apa permasalahannya jika materi diyakini sebagai substansi yang sederhana (tidak tersusun dari materi primer dan bentuk material) dimana bentuk lainnya bersemayam (hulul) padanya atau pun juga sirna darinya ?”.[13] 
            Selanjutnya dalam mengeritik argumentasi potensi dan aktual, Ayatullah Misbah Yazdi mengatakan, “pertama, pondasi argumentasi ini dapat dipertanyakan karena konsep potensi dan aktual – sebagaimana konsep-konsep filsafat lainnya – merupakan konsep kategori-kategori sekunder filsafat dimana akal mengabstraksi hal tersebut melalui proses tertentu. Dalam kata lain, ketika kita mengasumsikan dua hal material dimana salah satu dari dua hal tersebut ‘tidak memiliki’ yang lain (sebagaimana biji pohon, tidak memiliki buah) namun dapat memiliki hal tersebut, maka kita menisbahkan [mengabstraksi] konsep ‘potensi’ dan ‘menerima’ pada keberadaan pertama, dan disaat memiliki hal tersebut kita menisbahkan [mengabstraksi] padanya dengan konsep aktualitas. Oleh karenanya, konsep-konsep tersebut merupakan konsep-konsep yang diabstraksi melalui perbandingan dua hal antara satu dengan lainnya dan hal tersebut tidak memiliki eksistensi yang berdiri sendiri, maka tidak ada dalilnya untuk mengatakan aspek potensialitas dan aspek aktualitas merupakan realitas objektif dan nyata [memiliki eksistensi yang berdiri sendiri] sehingga berdasarkan hal tersebut kita membuktikan substansi dan atau bahkan aksiden . . . kedua, pada premis kedua dapat ditolak, karena mungkin saja ada seseorang yang meyakini eksistensi eksternal materi (dan bukan esensinya) tersusun dari sebuah substansi dan beberapa aksiden, terkhusus bagi mereka yang meyakini bahwa aksiden-aksiden merupakan kondisi-kondisi dan derajat-derajat eksistensi substansi. Oleh karenanya jika diasumsikan masing-masing dari dua aspek tersebut yaitu aspek potensi dan aspek aktual, memiliki eksistensi realitas eksternal, dapat dikatakan pada aspek aktualitas adalah substansi material dan aspek potensialitas adalah salah satu dari aksiden-aksidennya[14].   
Kesimpulan
            Setelah menjelaskan argumentasi pembuktian materi primer serta menguraikan beberapa kritikan terhadapnya. Selanjutnya kami akan memberikan kesimpulan terhadapnya. Namun sebelumnya kami akan menjelaskan beberapa karekteristik materi primer;
1.Aspek potensi, aspek potensial murni
            Karekteristik penting pada potensi adalah sebuah substansi dimana aspek yang ada didalamnya hanya aspek potensi semata dan ‘menerima’. Tak ada sesuatu apapun yang ada didalamnya kecuali dapat menerima sesuatu. Maksudnya dapat menerima bentuk dan selanjutnya memakai bentuk tersebut pada dirinya. Oleh karena itu dikatakan bahwa substansi materi primer adalah aspek potensial murni dimana sama sekali tidak ada aktualitas didalamnya terkecuali aspek menerima, sebab jika diasumsikan di dalam dirinya terdapat aktualitas dan memiliki efek tertentu serta kondisi tertentu dari dirinya sebagai aspek aktualitasnya maka hal tersebut akan membuat substansi primer yang murni potensi tidak lagi dapat menerima segala bentuk aktualitas. Hal tersebut bertentangan dengan asumsi sebelumnya bahwa materi primer adalah potensi murni yang tidak memiliki aktualitas sama sekali.
2.Potensi senantiasa bergantung pada sebuah aktualitas
            Salah satu kaidah filsafat menjelaskan bahwa wujud identik dengan aktualitas. Maksudnya jika sesuatu itu wujud, mesti memiliki aktualitas. Karena itu, wujud mesti memiliki aktualitas. Tak ada wujud yang tak memiliki aktualitas. Berdasarkan hal ini maka eksistensi materi primer dengan karekteristik potensi murni mesti berada di bawah naungan sebuah aktualitas karena potensi murni sama sekali tidak memiliki aspek aktualitas. Maksudnya materi primer atau potensi murni bersifat ambigu dan tanpa memiliki batasan tertentu karena pada dirinya tak ada aspek keaktualitasan. Aspek keaktualitasanlah yang menyebabkan suatu entitas keluar dari keambiguannya dan memiliki ukuran tertentu. Oleh karenanya, dikarenakan materi primer tidak memiliki aktualitas dan pada satu sisi wujud mesti memiliki aktualitas maka materi primer butuh pada aktualitas (dalam hal ini bentuk materi) sebagai tempat bernaung.
3.Berubahnya Aktualitas tidak Membuat Materi Primer Berubah
            Potensi murni yang menerima bentuk-bentuk yang beragam adalah sama. Maksudnya  ketika suatu bentuk sirna dan bentuk baru datang, materi primer tidak ikut sirna akan tetapi realitasnya tetap sebagai potensi murni. Misalnya ketika kayu berubah menjadi arang, potensi yang ada di dalam realitas kayu dan realitas arang itu sama. Berubahnya bentuk kayu menjadi bentuk arang tidak menyebabkan potensi yang ada pada kedua bentuk tersebut juga berubah. Oleh karena itu, materi primer berlaku tetap dan sama pada seluruh entitas-entitas materi.
            Setelah menjelaskan tiga karekteristik materi primer. Sekarang kami akan memberikan kesimpulan pada argumentasi tersebut. Pertama, kritikan yang di utarakan oleh Suhrawardi, sebuah kritikan yang kurang tepat menurut hemat kami, karena sebagaimana yang dijelaskan oleh Mulla Sadra, meskipun ketersambungan  memiliki dua makna yaitu satu bersifat relasi (aksiden) dan yang satu bersifat hakiki (substansi), maka ketika ketersambungan aksiden sirna, secara otomatis menunjukkan ketersambungan pada substansi juga sirna karena aksiden bergantung pada substansi. Meskipun mungkin saja ada yang mengatakan, anggapan tersebut bisa ditolak karena relasi antara substansi dan aksiden dalam filsafat paripatetik bukan relasi analitis. Namun dalam konteks ini, relasi kedua hubungan ketersambungan tersebut adalah relasi analitik sehingga jika relasi yang bersifat aksiden sirna maka secara otomatis menunjukkan ketersambungan substansi juga sirna. Kedua, kami menerima kritikan terhadap argumentasi pembuktian keberadaan materi primer, baik kritikan dari Murtadha Muthahhari maupun dari Ayatullah Mizbah Yazdi, menurut hemat kami, anggapan bahwa di dalam diri materi terbagi menjadi dua bagian secara aktual yaitu materi primer dan bentuk material adalah pandangan yang tidak tepat dalam meletakkan antara pembahasan mental (zihni / mind) dengan pembahasan pada realitas eksternal. Karena pembagian tersebut adalah pembagian mental, bukan pembagian pada realitas eksternal sehingga dikatakan, baik materi primer maupun bentuk material benar-benar nyata pada realitas eksternal.  Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ayatullah Mizbah Yazdi bahwa potensi dan aktual adalah konsep yang didapatkan melalui proses abstraksi, karena itu konsep aktual dan konsep potensi dikategorikan sebagai kategori universal sekunder filsafat. Dalam kata lain, pada diri materi kita dapat mengabstraksi konsep aktual dan juga konsep potensial. Namun bukan dalam pengertian bahwa keduanya nyata pada realitas eksternal secara independen atau berdiri sendiri. Apalagi jika kita kembali dalam kaidah filsafat bahwa wujud pasti memiliki aktualitas. Hal ini bertentangan dengan identitas pada materi primer karena pada materi primer dikatakan substansi yang hanya memiliki aspek potensialitas tanpa ada aktualitas sama sekali. Karena itu bagi mereka yang meyakini keberadaan materi primer dengan ‘terpaksa’ mengatakan bahwa satu-satunya aktualnya adalah ketidakaktualannya. ‘Terpaksa’ disini dalam pengertian bahwa jika materi primer itu nyata pada realitas eksternal maka pasti memiliki aktualitas karena wujud identik dengan aktualitas. Nah untuk menjelaskan aspek aktualitas pada materi primer maka dikatakan satu-satunya aktualnya adalah ketidakaktualannya karena materi primer tidak memiliki aktualitas sama sekali selain potensi dalam menerima bentuk. Satu-satunya aktualnya adalah ketidakaktualannya adalah proposisi yang tidak memiliki dasar filosofi yang kuat. Proposisi tersebut bukan proposisi filsafat, namun proposisi sastra yang tidak memiliki bangunan filosofi. Berdasarkan hal ini kami meyakini bahwa materi itu sederhana atau tidak memiliki rangkapan. Ketiga, berdasarkan hal ini, kami menerima asumsi Mulla Sadra terhadap materi primer bahwa materi primer merupakan kondisi dari materi. Maksudnya dalam diri materi terdapat materi primer yang merupakan salah satu kondisi dari materi dan tidak berdiri sendiri sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Sina. Sebagaimana dipahami, dalam pandangan Sadra, aksiden adalah salah satu kondisi dari susbtansi karena aksiden lahir dari rahim substansi. Berdasarkan hal ini bisa dikatakan bahwa materi primer adalah salah satu aksiden dari materi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar