Aristoteles adalah salah seorang tokoh filosof
Yunani yang terkenal pada zamannya. Sebelumnya muncul Plato, yang merupakan
gurunya. Sebagai murid Aristoteles ingin melanjutkan pemikiran gurunya, namun
dalam kenyataan selanjutnya Aristoteles mempunyai konsepsi pemikiran yang
berbeda dengan gurunya sendiri, terutama mengenai konsep wujudnya alam.
Menurut Aristoteles untuk mengetahui wujud alam
ini langkah pertama yang ditempuh ialah pengenalan indera, kalau hal ini sudah
tersimpan dalam ingatan, maka pikiran akan memasuki tahap kedua dalama
pengenalan yaitu membandingkan sesuatu dengan yang lainnya untuk mengetahui
pertalian dengan sebab-sebabnya. Kemudian berpindah ketahap yang ketiga yaitu
perenungan (pemikiran) menuju ke arah kesimpulan.
Bagi Plato tiap yang ada di alam mempunyai idea,
sedangkan menurut Aristoteles tiap benda yang ditangkap dengan panca indera
mempunyai materi dan bentuk.
Bentuk tak dapat berdiri sendiri terlepas dari
materi. Materi dan bentuk selamanya satu. Materi tanpa bentuk tak mungkin ada.
Materi dan bentuk hanya dalam akal dapat dipisahkan.
"Bentuk merupakan hakikat sesuatu sehingga kekal
dan tidak berubah-ubah. Tetapi dalam panca indera terdapat perubahan, perubahan
menghendaki dasar yang di atasnyalah perubahan itu terjadi, dasar inilah yang
disebut materi oleh Aristoteles. Materi berubah tetapi bentuk kekal. Bentuklah
yang membuat materi berubah, artinya materi berubah untuk memperoleh bentuk
tertentu. Dengan memperoleh bentuk tertentu, materi mempunyai potensi yang ada
di dalamnya, menjelma menjadi hakikat atau aktualitas. Antara bentuk dan materi
terdapat hubungan gerak. Sedang yang menggerakkan potensialitas untuk menjadi
aktualitas adalah penggerak pertama, karena penyebab utama dari gerak terjadi
dari perubahan dari perbuatan yang menggerakkan, digerakkan pula oleh sesuatu
penggerak lain.Demikianlah seterusnya, sehingga terdapat suatu rentetan
penggerak dan yang digerakkan. Rentetan ini tidak berkesudahan bila di dalamnya
tidak terdapat sesuatu penggerak yang tak bergerak."
Penggerak yang tak bergerak ini pasti dan wajib
mempunyai wujud dan inilah yang disebut penggerak pertama. Penggerak pertama
yang tak bergerak ini tidak mungkin mempunyai sifat materi, sebab materi adalah
potensialitas dan karena itu berubah. Sebaliknya aktualitas adalah sempurna
dalam arti penggerak pertama mestilah sempurna sesempurnanya, dan hanya satu
dan ia berupa akal. Aktivitas akal hanya dalam pikiran. Karena penggerak pertama
sempurna sesempurnanya dan tak berhajat pada yang lain maka pemikirannya
hanyalah tertuju pada dirinya sendiri. Akal ini adalah akal yang suci, dan
itulah Tuhan. Tuhan dalam paham ini tak mempunyai sifat pencipta terhadap alam.
Hubungannya dengan alam hanya merupakan penggerak pertama.
Al-Farabi (295-339 H./850 M.) adalah salah
seorang pemikir yang tertarik berkunjung ke Bagdad setelah Daulah Abbasiyah
mengembangkan kegiatan ilmiyah dalam lingkungan Islam. Di sanalah beliau
bertemu dengan Abi Bisyr dan akhirnya selama 20 tahun al-Farabi mendalami
filsafat Aristoteles dan Plato yang keduanya dipandang sebagai dua tokoh yang
mewarnai filsafat bahkan pencetus dan peletak dasar dan ketentuan-ketentuannya.
Al-Farabi menilai bahwa perbedaan yang ada pada keduanya hanya perbedaan
sistem, oleh karena itu beliau berusaha mempertemukannya. Dari hasil usahanya
itu kemudian dikembangkan pula dalam semua permasalahan yang dibahasnya
termasuk masalah alam.
Al-Farabi dalam mengemukakan pandangan tentang
alam mengikuti teori emanasi dari pemikiran kedua tokoh tersebut, tetapi
al-Farabi lebih dahulu menjelaskan pandangannya tentang adanya dua alam, yakni
alam langit dan alam bumi. Sebagaimana halnya dengan sistem yang ditempuh oleh
Aristoteles yang menganggap seluruh alam ini bagaikan bulatan (bola) raksasa,
berpusat pada bumi dan sekitarnya hingga ke orbit bulan yang merupakan batas dalam
bumi, sedangkan apa yang berada di atas bulan sampai kebulatan langit pertama
adalah alam langit.
Dengan adanya pandangan yang membagi alam atas
dua, dimana alam yang tertinggi ialah alam langit dirumuskanlanh kejadian alam
yang menghasilkan teori emanasi dalam pemikiran al-Farabi yang pada hakikatnya
sama dengan teori Aristoteles sekalipun berbeda perinciannya namun apabila
dipahami secara menyeluruh dapat disimpulkan bahwa beliau berpendapat bahwa
alam ini qadim
Pandangan al-Farabi dalam masalah qadimnya alam
ditinjau dari segi aqidah Islam tidaklah bertentangan atau tidak mengurangi
nilai-nilai aqidah Islam, adapun mengenai keikutsertaan dan keterpengaruhan
al-Farabi terhadap Aristoteles bukanlah berarti al-Farabi hanya mengekor saja
pada pendapat-pendapat Aristoteles tanpa mengemukakan pandangan dan ide-ide
pemikirannya. Al-Farabi telah berjasa dalam hal ini, ia mampu memperbaiki
kejanggalan-kejanggalan yang sulit dipahami pada pandangan Aristoteles.
Mengenai baharu dan qadimnya alam yang telah
diperdebatkan antara kaum theolog dan para filosof adalah merupakan suatu hal
yang tidak dapat ditanggapi secara negatif. Masing-masing mempunyai kebenaran
sebab pandangan kaum theolog tentang qadimnya alam hanya meninjau dari segi
kacamata agama, al-Farabi memandang dari segi filsafat dan hanya untuk
memperluas cakrawala berpikir, sebab qadimnya alam menurut pandangan al-Farabi
adalah qadim menurut logika yang berarti alam ini bisa saja hancur karena ia
diciptakan Tuhan yang tidak berarti persis sama dengan qadimnya Tuhan. Berbeda
dengan kaum theolog yang memberikan pengertian bahwa yang disifatkan dengan
qadim selalu diasosisikan dengan Qadimnya Tuhan, oleh kaena itu ia memandang
bahwa alam ini baharu karena diciptakan oleh Tuhan.
Sebagai hasil dari keinginan al-Farabi
mempertemukan pandangan tersebut maka pemikirannya tentang alam semesta
melahirkan suatu konsepsi tersendiri dalam hal kejadian alam ini yakni teori
emanasi yang bertingkat sampai sepuluh tingkatan. Dengan demikian sekaligus
al-Farabi berdiri sendiri tetapi ada kecenderungannya kepada Aristoteles dalam
uraiannya yang lain. Dan kecenderungannya paling menonjol adalah pada segi
logika atau rasionalitasnya.
Al-Farabi tidak menerima apabila dikatakan bahwa
sesuatu itu tercipta dari tiada menjadi ada, hal ini sekali lagi membuktikan
kecenderungannya pada logika Aristoteles. Begitu terikatnya pada logika
Aristoteles sehingga al-Farabi mengikuti kesimpulan bahwa alam ini qadim
walaupun keqadimannya alam ini berbeda dengan keqadiman Allah.
Tentang penggunaan teori emanasi sebagai
pengganti dari penciptaan yang ditunjukkan dalam al-Qur’an, al-Farabi
sebenarnya tidak sepenuhnya ikut pada Aristoteles, keikutsertaannya hanya pada
logika saja yakni menurut al-Farabi untuk menghindari pengertian adanya zat
yang qadim itu berhubungan dengan yang baharu, yang tidak bisa diterima akal
maka dirumuskanlah sampai sepuluh tingkatan sehingga jauh hubungan antara zat
yang qadim dengan yang banyak.
Dengan demikian pemikiran ini lebih banyak
dijiwai oleh keinginan merasionalkan pengertian penciptaan yang ditunjukkan
dalam al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar