Prioritas dan Signifikansi pembahasan relasi antara
sebab-akibat (kausalitas)
Dapat dikatakan, dengan ditemukannya fenomena
kemunculan manusia di permukaan bumi, pada saat itu pula muncul pertanyaan
“mengapa?”, prioritas dari kata tanya ini terletak pada prioritas insan.
Di antara persoalan filsafat adalah masalah
deduktif yang memiliki usia panjang dan prioritas yang mengakar, dan juga
menempati urutan pertama kebingungan yang muncul dalam pemikiran manusia.
Pertanyaan tentang sebab diri dan benda-benda
lain, merupakan polemik teramai yang menggasak mental insan sejak kemunculannya
dan senantiasa memposisikan dirinya sebagai pertanyaan yang paling mengakar
ketika dihadapkan dengan pemikiran para filosof dan hukama.
Dalam kitab “Târikh Falsafah”, kita jumpai para
ilmuwan pertama Yunani –yang terkenal sebagai para filosof Iyuni - sampai pada
kesimpulan bahwa mereka telah berhasil menemukan unsur pertama atau mâddat
al-mawâd dari semua benda-benda semesta[1], dengan demikian harus dikatakan
bahwa Filsafat telah dimulai dengan persoalan kausalitas dan pada prinsipnya
manusia pun telah dimulai dengan kausalitas dimana perenungan dan kontemplasi
manusia sama sekali tidak akan pernah terpisah dari persoalan ini.
Dengan kata lain, masalah kausalitas bukanlah
sebuah dilema yang dituju oleh manusia, melainkan kausalitas-lah yang berjalan
menuju kepada manusia dan dia telah membebankan dirinya atas manusia, memenuhi
semua pemikiran manusia dan menyibukkan semua kontemplasi dan perenungannya.
Tentu saja dengan sebuah kata “Mengapa” atau “Apakah” kita bisa bertanya untuk
setiap kalimat yang ada dan untuk segala hal yang kita temukan, akan tetapi
kita sangat paham bahwa semua pertanyaan tersebut pada hakikatnya bukanlah
“pertanyaan” kita dan tidak pernah mengusik perenungan dan jiwa kita, tidak
pernah mengekang kita dan kitapun tidak pernah bersitegang dengannya, akan
tetapi masalah kausalitas tidak akan pernah demikian.
Persoalan kausalitas sebagaimana kebanyakan
persoalan filsafat, setiap kali pertanyaan lain diletakkan di bawah naungannya
maka pertanyaan tersebut akan diletakkan pada tingkatan kedua. Masalah
kausalitas merupakan masalah yang prinsip dan mengakar dan manusia tidak bisa,
misalnya, membagi waktu sehari semalamnya dengan sebagiannya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dan sebagiannya lagi, misalnya satu hingga dua jam untuk
merenungkan masalah sebab pertama (the first cause).
Persoalan kausalitas dari dulu hingga sekarang
bahkan hinga masa yang akan datang merupakan sebuah pencipta kebingungan.
Definisi sebab dan akibat
Kedua persepsi “sebab” dan “akibat” ini,
merupakan bagian dari akal kedua filsafat yang merupakan penjelas metode wujud,
dan yang diperoleh dengan kontemplasi dan usaha keras otak. Dengan istilah
lain, media aksidensi mereka adalah pikiran dan media karakteristik mereka
adalah obyek luar. Dari sini karena kedua persepsi tersebut tidak berada dalam
satu kategori dan tidak termasuk pula dalam mâhiyat (esensi, keapaan), telah
menyebabkannya tidak mempunyai definisi yang hakiki dan logis, dan apa yang
didefinisikan dalam kitab Filsafat tentang keduanya hanyalah merupakan
syarhul-lafdzi (penjelas kata) saja.
Apabila kita membandingkan antara dua wujud A
dan B dan kita melihat bahwa wujud A berada dalam posisi dimana apabila ia
eksis maka wujud B pun akan menjadi eksis. Dan selama A tidak eksis maka B pun
tidak akan eksis. Dan wujud B merupakan manifestasi penjelas yang bergantung
dan berkaitan erat dengan wujud A. Maka dalam kondisi ini kita mengatakan
bahwa: A adalah sebabnya B dan B adalah akibat dari A. Oleh karena itu dalam
mendefinisikan sebab dan akibat kita akan mengatakan: sebab merupakan wujudun
mutawaqqaf ‘alaih (mengadanya sesuatu bergantung kepadanya) dan akibat adalah
wujud mutawaqqif (sesuatu yang bergantung).
Dasar persepsi sebab dan akibat
Kita sepakat bahwa prinsip kausalitas merupakan
prinsip logis dan aksiomatis, dan dasar kejelasan dari kaidah ini adalah karena
bersandar pada perolehan batin dan ilmu presesensi (hudhuri)
Setiap manusia dengan ilmu hudhuri yang
dimilikinya menemukan bahwa fenomena-fenomena yang bersifat nafsâni seperti
ilmu, kehendak, dsb, mempunyai bentuk kebergantungan yang khas dengannya dan
dengan jiwa-nya. Kebergantungan ini merupakan kebergantungan yang dalam prinsip
wujud dan keberadaan berada dalam keadaan dimana tanpa wujudnya jiwa maka
mereka pun tidak akan wujud, dan wujud mereka bersandar pada wujudnya jiwa. Di
sinilah perangkat jiwa, yaitu pikiran -yang meliputi realitas dan
menghadirkannya dengan ilmu hudhuri- terpaksa menghikayatkan realitas ini
dengan persepsi yang diperoleh dari ilmu hudhuri, dari sinilah terbentuk
persepsi “sebab”, “akibat”, dan “hubungan sebab akibat (kausalitas)”. Pahaman
“sebab” dipergunakan dalam kaitannya dengan jiwa. Sedangkan pahaman “akibat”
dalam kaitannya dengan ilmu atau kehendak, dan dari jenis kebergantungan dan
korelasi wujud semacam inilah kemudian disebut “kausalitas”.
Generalisasi persepsi sebab dan akibat
Meskipun dalam ilmu hudhuri kita hanya
berinteraksi dengan fenomena-fenomena khas dalam batasan wujudnya, dan
menemukan manifestasi tertentu dari sebab dan akibat, tetapi setelah pikiran
mempersepsikan apa yang ditemukan oleh hudhuri, dia akan menghapuskan kaidah
dari setiap obyeknya, dan menyimpulkan persepsi dalam bentuk mutlak. Artinya,
pikiran akan membentuk kaidah mutlak, dimana setiap kali wujud dari sebuah
eksistensi bergantung pada wujud eksistensi lain, maka yang pertama, disebut
akibat, dan yang kedua disebut sebab. Generalisasi ini sendiri bertolak dari
kaidah badihi (gamblang), dimana hukum-hukum negatif dan positif benda-benda
similiar (sejenis) –dari sisi kesamaannya- adalah satu. Atas dasar ini, pikiran
mengatakan: setiap kali terdapat dua wujud yang korelasi, sebagaimana korelasi
jiwa dan efek jiwa, maka akan dinamakan dengan sebab dan akibat. Dan mereka pun
mempunyai hukum-hukum “hubungan sebab-akibat (kausalitas)”. Dari sinilah
terbentuk kaidah universal “kausalitas”.[2]
Tentu saja menemukan obyek untuk korelasi kausalitas
di alam luar, bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini membutuhkan perangkat dan
metodologi tertentu, dimana untuk sementara ini tidak termasuk dalam pembahasan
kita.
Berdasarkan apa yang telah kami katakan, kaidah
kausalitas berdiri di atas asas eksperimen internal/batin dan bukan eksperimen
inderawi/fisik. Tentu saja dalam eksperimen-eksperimen inderawi, “keberulangan
fenomena” senantiasa merupakan syarat. Tetapi dalam eksperimen batin,
pengulangan ini bukan merupakan syarat. Dan kewujudan sebuah kasus telah mampu
menjadi sumber abstraksi dari persepsi sebab dan akibat. Dengan alasan ini,
kaidah kausalitas tidak bisa dimaknakan dengan “eksperimen” dalam makna
idiomnya. Hal ini dikarenakan dia bukan benda fisik dan tidak pula membutuhkan
pengulangan.
Tentu saja, dilihat dari satu sisi bisa
dikatakan bahwa mereka termasuk dalam kelompok indera batin atau wijdaniyat dan
dengan batasan ini dia bisa dimasukkan ke dalam “eksperimen”.
Universalitas prinsip kausalitas
Prinsip kausalitas meliputi semua bentuk
eksistensi yang keuniversalannya mencakup semua alam wujud, dari sinilah
sehingga kemudian masalah kausalitas dan pembagian wujud dalam bagian sebab dan
akibat merupakan salah satu masalah yang menduduki posisi pertama dalam
filsafat.
Persoalan kausalitas merupakan dasar seluruh
ilmu dan obyektifitas. Tak ada satupun dari 'alim dan pemikir yang berfikir
kecuali dikarenakan dia mengetahui bahwa perolehan hakikat merupakan akibat
dari tafakkur, kontemplasi dan konsentrasi. Para ilmuwan ekperimen pun sama
sekali tidak akan menceburkan diri dalam penelitian dan observasinya, kecuali
karena adanya keyakinan bahwa alam ini merupakan alam efek dan pengaruh. Dan
setiap kekhususan merupakan akibat dari unsur tertentu, dari setiap benda akan
muncul akibat yang tertentu dan setiap efek muncul dari benda yang tertentu
pula, dan ini tidak lain adalah prinsip kausalitas. Apabila prinsip kausalitas
tidak ada, maka semua harapan menjadi kering, para alim tidak lagi berpikir,
para pelaku ('amil) berdiri terpaku, ketakutan dan kegelisahan akan menguasai
semuanya, hingga akhirnya pepatah mengatakan: gandum tak lagi dari pohon
gandum, padi tak lagi buah dari pohon padi.
Pandangan Hume (David Hume, 1711-1776)
Hume berdasarkan pada prinsip positivisme dan
empirisisme-nya menolak prinsip kausalitas sebagai sebuah kaidah rasional dan
non experience. Dia hanya menginterpretasikannya sebagai ke-sezaman-an atau
ke-berganti-an dua fenomena. Dia menganggap kausalitas sebagai sebuah korelasi
antara pikiran dengan kemunculan urgensi sebuah makna bukannya sebuah korelasi
antara obyek dan wujud. Maksudnya adalah: apabila kita menganggap A sebagai
sebabnya B, maka hal tersebut hanyalah dengan makna bahwa dalam pikiran kita terdapat
urgensi makna; bahwa persepsi B senantiasa muncul mengikuti persepsi A, dan
korelasi ini muncul dari kebergantiannya dua fenomena A dan B di alam luar.
Tetapi, apa yang dikatakan bahwa antara keduanya terdapat hubungan
ketergantungan wujud, hal ini tidak bisa diterima secara ilmiah.
Sebagian dari sanggahan-sanggahan penting yang
muncul seiring dengan perkataan Hume, akan kami jelaskan dalam poin-poin
berikut:
1. Apabila prinsip kausalitas (hubungan
sebab-akibat) itu diingkari, maka tidak akan ada satupun peristiwa yang bisa
diantisipasi sebelum kemunculannya. Dengan demikian, akan terdapat begitu
banyak kemungkinan terjadinya berbagai peristiwa pada setiap saat.
2. Apabila prinsip kausalitas dinafikan, tidak
akan ada satupun kaidah dan hukum-hukum ilmu dan eksperimen yang bisa diterima.
Karena setiap hukum dan kaidah ilmu, bersumber dari prinsip kausalitas.
3. Apabila prinsip kausalitas diingkari, maka
tidak ada satupun argumentasi yang terdapat dalam alam fakir. Karena pada
hakikatnya konklusi dan kesimpulan senantiasa merupakan akibat yang muncul dari
premis-premis. Dan ingkar terhadap kausalitas mempunyai makna ingkar terhadap
argumentasi dan teori.
4. Apabila prinsip kausalitas diingkari, maka
setiap orang bisa mengingkari hubungan antara aktivitas dan pengaruh dari
aktivitas yang dilakukannya. Dengan demikian, jalan untuk teperosok ke dalam
setiap kejahatan akan terbuka luas.
5. Apabila prinsip kausalitas hanya diketahui
sebagai makna kebergantiannya dua fenomena, maka fenomena-fenomena semacam
siang dan malam –yang senantiasa saling bergantian satu dengan lainnya- harus
kita anggap sebagai manifestasi dari sebab dan akibat. Padahal kita mengetahui
bahwa tidak satupun dari mereka merupakan sebab dari yang lainnya.
6. Apabila prinsip kausalitas diingkari, maka
tidak akan terdapat sedikitpun kepastian dan keuniversalan dalam keyakinan.
7. Apabla prinsip kausalitas diingkari, maka
sama sekali tidak ada cara untuk mengaffirmasikan wujud-wujud obyektif. Dan hal
ini identik dengan Idealisme.
8. Apabila prinsip kausalitas diingkari dengan
menganalogikan bahwa wujud merupakan realitas obyek, maka tidak akan terdapat
metode untuk mengaffirmasikan relevansi antara persepsi-persepsi dengan
bukti-bukti di luar wujud.
9. Apabila sebelum eksperimen, prinsip
kausalitas diingkari sebagai sebuah prinsip rasional, maka kelazimannya adalah
para ilmuwan sebelum menyaksikan dan melakukan observasinya, sama sekali tidak
mempunyai keyakinan terhadapnya. Padahal alasan pokok mereka untuk melakukan
observasi itu sendiri bertolak dari adanya keyakinan sebelumnya, yang
mengatakan bahwa setiap akibat muncul dari sebuah sebab, dan tidak ada satupun
fenomena yang muncul tanpa adanya sebab. (Harap diperhatikan baik-baik masalah
ini).
10. Apabila kausalitas ditafsirkan sebagai
sebuah kebergantian maka dalam persoalan terjadinya dua fenomena sezaman (bukan
bergantian), seperti gerak tangan dan gerak pensil yang ada di tangan, tidak
akan ada sebab yang bisa kita persepsikan, padahal kita memahami bahwa di
antara kedua gerak ini terdapat hubungan sebab-akibat.
Pandangan Kaum Rasionalis
Kaum rasionalis, dalam bab kausalitas
berpandangan bahwa keyakinan terhadap prinsip kausalitas merupakan sebuah
persoalan yang esensial dan fitri, dan akal kita telah tercipta sedemikian rupa
hingga dari awal dan dalam bentuk takwini (tata-cipta) mempunyai persepsi
tentang kausalitas, dan bukannya akal membutuhkan upaya dan kontemplasi dalam
mempersepsikannya.
Imanuel Kant, seorang filosof Jerman,
berpendapat bahwa iliyyat (kesebaban) dan ma’luliyyat (keakibatan) merupakan
sebagian dari akal fitri manusia. Oleh karena itu, illiyyat dan ma’luliyyat dia
letakkan sebagai salah satu dari kedua belas kategorinya.
Keyakinan terhadap kefitrian dan kerasionalan
prinsip kausalitas dengan makna aslinya yang non-eksperimen, non-materi dan
lebih awal dari keduanya, merupakan sebuah keyakinan yang benar dan bisa
diterima. Tetapi dengan makna bahwa pikiran akan memahaminya secara otomatik
dan dzati (esensial) dan sejak awal takwini (penciptaan) persepsi semacam ini
telah tercipta, hal yang semacam ini tidak bisa diterima.
Pikiran kita pada awalnya merupakan sebuah
tabula kosong tanpa gambar. Lalu, secara bertahap memperoleh gambarnya melalui
pertemuan antara potensi pengetahuan (the perceptive faculty) dengan realitas
dan peristiwa – dan sebagaimana yang telah kami singgung – dalam bab iliyyat
(kesebaban) pun pikiran akan membentuk persepsi sebab dan akibat dari cara
perolehan hudhuri kemudian menyempurnakan keduanya.[3]
Pandangan Sebagian Mutakalimin
Menurut keyakinan sebagian teolog (mutakalimin),
bahwa faktor-faktor (pelaku-pelaku) otoriter dan berkehendak, sama sekali tidak
bisa dinamakan sebagai sebab dan illat, karena terjadinya akibat dari sebab dan
munculnya yang disebabkan oleh yang menyebabkan merupakan hal yang urgen dan
niscaya, dan kepastian ini tidak relevan dengan otoritas dan kehendak pelaku.
Dari satu sisi, semua alam merupakan perbuatan Tuhan. Demikian juga keseluruhan
peristiwa alam secara langsung dan tanpa perantara muncul dari kehendak dzat
Nya. Dengan demikian, di antara peristiwa pun tidak bisa diketengahkan masalah
kausalitas, melainkan harus dikatakan bahwa kebiasaan Tuhan atas cara inilah,
sehingga fenomena-fenomena yang biasa kita namakan sebagai akibat, muncul
mengikuti fenomena-fenomena lain yang kita namakan dengan sebab. Jadi, pada
hakikatnya bukan saja pada korelasi antara Tuhan dan aktivitasnya tidak
terdapat hubungan sebab-akibat (kausalitas), melainkan di antara
fenomena-fenomena alam imkan (materi) pun tidak ada hubungan semacam ini. Dalam
menjawab perkataan mereka ini harus dikatakan:
Pertama: Pada
pelaku-pelaku yang otoriter dan berkehendakotoritas dan kehendak itu sendiri
merupakan salah satu dari bagian sebab sempurna dan munculnya aktivitas dari
pelaku ini meskipun pasti dan dharuri, tetapi bukan dengan makna kesebabannya
pelaku.
Kedua: Kesebaban
terjadinya peristiwa satu untuk yang lain berada dalam sepanjang aktivitas
Tuhan, oleh karena itu tidak ada kontradiksi dengan ke-subyek-an Tuhan.
Ketiga: Sebagaimana
yang telah kami isyaratkan sebelumnya, kausalitas tidak bisa hanya ditafsirkan
sebatas sebagai ketemporalan dan kebergantian-nya dua fenomena. Dari sinilah,
kemudian keyakinan terhadap “’A^datAllâh (kebiasaan Tuhan)” dalam bab
kausalitas senantiasa akan diikuti dengan rintangan yang dikatakan oleh Hume
pada pembahasan sebelum ini.
Parameter kebergantungan akibat terhadap sebab
Persoalan yang berkisar tentang apa rahasia
kebergantungan akibat terhadap sebab dan apa sajakah yang menjadi dasar dan
parameter kebergantungan tersebut. Hal itu menjadi wacana yang hangat di antara
para filosof dan senantiasa dibahas dengan bahasan yang mendalam, cermat dan
detail.
Para mutakalimin (teolog) berpendapat, bahwa
parameter kebergantungan akibat terhadap sebab adalah “huduts”. Sementara para
filosof -dalam hal ini- telah terpilah menjadi dua kelompok. Satu kelompok
sepakat terhadap ashâlat al-mahiyah (principiality of essence). Pembahasan ini
muncul dalam bentuk formula realitas esensi. Mereka berpendapat bahwa parameter
kebergantungan akibat terhadap sebab adalah kemungkinan keterciptaan esensi,
yaitu adanya kesejajaran hubungan antara mahiyyah (keapaan) terhadap wujud dan
tiada. Dan mereka yang sepakat dengan ashâlat al-wujud – (principiality of
existence), seperti Sadralmuta-alihin Ra (Mullah Shadra) dan pengikut
transendent wisdom (hikmah muta’aliyah) yang sepakat dengan “imkan faqri wa
wujud” sebagai parameter kebergantungan akibat terhadap sebab. Yang dimaksud
dengan “imkan faqri dan wujud”, adalah kebergantungan sebuah eksistensi
terhadap realitas wujud. Dengan ibarat lain, setiap eksistensi yang wujud
obyektifnya bergantung dan membutuhkan wujud lain pasti, merupakan akibat dan
mumkin wujud, yang di dalam kaidah kausalitas dikatakan bahwa: kebutuhan dan
kebergantungannya terhadap sebab itulah, yang telah memunculkannya.
Apa yang sekarang penting dalam pembahasan kita
adalah kita mengetahui dari mana keakibatan (ma’lulilyah) alam bisa terbukti
sehingga kemudian kita akan sampai pada hukum kaidah kausalitas untuk
membuktikan Tuhan sebagai fâilul-fawâil (subyeknya subyek- pelakunya pelaku)
dan illatul-illal (sebabnya sebab, the first cause).
Pembuktian dan Affirmasi Keakibatan Alam
Keakibatan (ma’luliyyah), mempunyai tanda-tanda
yang khas. Apabila kita menemukan tanda-tanda tersebut di alam, maka secara
dharuri dan pasti, kita akan mengatakan bahwa alam adalah ma’lul (akibat), dan
tanda-tanda tersebut antara lain:
1. Mengalami transformasi
Eksistensi yang mengalami transformasi dari
keadaan satu ke keadaan lainnya pasti merupakan akibat dan membutuhkan adanya
sebab, karena transformasi dan perubahan merupakan salah satu tanda dari
kekurangan. Jelaslah bahwa eksistensi mempunyai kekurangan dan aib dimana dia
tidak bisa memenuhi atau mengangkat kekurangannya tersebut, melainkan
membutuhkan sebuah sebab untuk mengantarkannya dari potensi ke aktual dan
menghilangkan kekurangannya.
2. Huduts
Huduts bermakna keberadaan yang didahului oleh
ketiadaan. Huduts terbagi dalam dua bagian: huduts esensial dan huduts
temporal. Huduts esensial adalah keberadaan yang didahului oleh ketiadaan dalam
tingkatan dzat dan esensi yang hal ini bisa dijelaskan dalam keseluruhan
kemungkinan-kemungkinan yang ada. Tetapi huduts temporal mempunyai makna
keberadaan yang didahului oleh ketiadan dalam tempo, dimana jenis dari huduts
ini hanya bisa dijelaskan dalam eksistensi-eksistensi materi dan temporal.
Eksistensi yang baru saja terwujud pasti merupakan akibat dan membutuhkan
kehadiran sebab untuk mewujudkan dirinya dari tiada menjadi ada, sehingga dari
sini dikatakan bahwa huduts pun merupakan salah satu dari tanda-tanda
keakibatan.
3. Bergantung kepada selainnya
Setiap eksistensi yang bergantung kepada
selainnya dengan cara tertentu, pasti merupakan akibat. Dan eksistensi yang di
dalam dirinya tidak terdapat kebergantungan -sedikitpun- kepada selainnya, sama
sekali tidak akan mempunyai sifat akibat.
Dengan memperhatikan tanda-tanda yang telah
tersebut, menjadi jelas bahwa semua tanda-tanda ini dengan sangat mudah bisa
kita temukan di alam kita. Keseluruhan alam semesta ini dipenuhi dengan
berbagai perubahan, seperti perubahan yang terjadi pada: dunia fauna, flora, langit
dan ... dalam setiap inci alam semesta ini senantiasa terjadi perubahan dan
transformasi. Pada sisi lain setiap saat akan muncul pula eksistensi-eksistensi
serta fenomena-fenomena yang baru. Anak-anak yang terlahir dari ibunya, 'aradhi
(aksidensi)??? yang terjadi pada tumbuhan, hewan dan alam in-organik
keseluruhannya merupakan manifestasi kejadian dan kemunculan
peristiwa-peristiwa baru. Kebergantungan dan kebutuhan pada selainnya
diperlihatkan dengan baik di seluruh alam. Apabila kita memperhatikan
kemunculan setiap eksistensi di alam ini, maka kita akan melihat bahwa semuanya
bersyarat pada keberadaan faktor-faktor dan kondisi-kondisi eksternal dan tidak
ada satupun eksistensi di alam ini yang mempunyai makna “mencukupi dirinya
sendiri” dengan tepat. Ketiga tanda tersebut di atas merupakan bukti kebenaran
dan ke-otentik-an atas ma'luliyyah (keakibatan) alam. Karenanya, dalam hukum
kausalitas dikatakan, bahwa keberadaan sebuah sebab -yang telah memunculkan
alam semesta, termasuk aktivitasnya- adalah merupakan keniscayaan (dharuri)
wujud.
Tidak Setiap Eksistensi Membutuhkan Sebab
Sebagian filosof Barat mengatakan bahwa persepsi
argumen kausalitas adalah bahwa “setiap eksistensi membutuhkan sebab”. Dari
sini, mereka mengajukan sanggahan atas apa yang dikemukakan oleh para filosof
Ilahi (ketuhanan) yang menurut kaidah ini berarti tidak bisa disepakati adanya
wujud sebuah eksistensi yang bernama Tuhan. Hal ini karena keyakinan semacam
ini, identik dengan menerima pengecualian (eksepsi) dalam hukum akal. Padahal
hukum-hukum dan kaidah-kaidah rasional tidak menerima pengecualian. Oleh karena
itu, keuniversalan kaidah ini bukan saja tidak bisa membuktikan Tuhan sebagai
sebuah eksistensi yang tidak membutuhkan sebab, bahkan proposisi ini dianggap
mustahil terjadi.
Menjawab sanggahan ini dapat kami katakana,
bahwa persepsi kaidah kausalitas sama sekali tidak berarti bahwa setiap
eksistensi membutuhkan sebab. Kaidah hanya mengatakan bahwa: setiap akibat dan
fenomena membutuhkan sebab, dan bukan “setiap eksistensi”. Dengan kata lain,
subyek dari proposisi di atas adalah “akibat dan fenomena”, bukan “eksistensi”.
Oleh karena itu, “Tuhan” sebagai eksistensi tanpa sebab, sama sekali tidak
pernah masuk ke dalam kaidah ini. Sehingga keluarnya dari kaidah ini, bukan merupakan
perkecualian dalam hukum-hukum rasional. Dalam istilah ilmu Ushul, keluarnya
wajib dari kaidah kausalitas adalah keluarnya subyek, bukan hokum. Dan
perkecualian istilah itu terjadi, apabila keluarnya mustastna (kecuali) dari
mustastna-minh (yang dikecualikan) merupakan keluarnya sebuah hukum bukan
sebuah subyek. Apabila dalam persoalan ini kita ingin menggunakan interpretasi
pengecualian –dengan interpretasi sastra- maka kita harus mengatakan:
pengecualian di atas merupakan perkecualian mun-qati’ (terputus) bukan
perkecualian muttasil (tersambung).
Tertolaknya tasalsul dan daur dalam sebab.
Mereka yang sepakat bahwa subyek dari teori
kausalitas adalah “eksistensi”, akan terjerumus dalam teori daur (circular
reasoning) atau tasalsul. Karena apabila kita menginginkan di alam wujud
terdapat sebuah sebab untuk setiap wujud, maka kita tidak akan pernah sampai
pada pemula rangkaian eksistensi. Dan rangkaian ini, pasti tidak akan pernah
mempunyai batas henti.
Para filosof mengungkapkan beragam ulasan untuk
membatalkan dan menyanggah teori interkoneksi ini[4], sebagaimana argumen
“wasat wa taraf” yang diungkapkan oleh Syeikh Ar-Rais dan teori “asad wa
akhsar” yang ditulis oleh Farabi.
Sebagian filosof berada di bawah keyakinan ini
bahwa pembatalan circular reasoning dalam rangkaian sebab, merupakan perkara
yang sangat jelas atau minimal mendekati kepastian. Hal ini dikarenakan apabila
rangkaian sebab keberwujudan ingin melanjutkan rangkaiannya dalam bentuk tak
terbatas, hal tersebut mempunyai makna bahwa secara mutlak akibat yang
bergantung dan membutuhkan, telah terbentuk tanpa adanya sebuah pemula yang
menjadi sandaran mandiri. Jelas, bahwa majemuk yang bergantung secara mutlak,
sama sekali tidak akan pernah menjadi eksistensi yang mandiri dan tak bergantung.
Demikian juga majemuk mutlaknya nol, adalah angka, dan majemuk mutlaknya titik,
adalah garis, dan majemuk mutlaknya diam, adalah gerak, dan majemuk mutlaknya
garis, adalah kedalaman dan majemuk mutlaknya kedalaman, adalah ketebalan dan
majemuk mutlaknya “seketika”, adalah tidak akan pernah merupakan waktu.
Daur (circular reasoning) mempunyai makna:
eksistensinya sendiri yang menjadi sebab dari kewujudannya, yaitu bahwa dirinya
berasal dari dirinya sendiri. Kelaziman dari hal ini adalah bahwa dirinya
muncul lebih dahulu dari dirinya sendiri. Dan kemustahilan dari “anteceden
(kelebihdahuluan) sebuah benda atas benda itu sendiri” merupakan hal yang
sangat esensial dan jelas. Oleh karena itu, tidak bisa dianalogikan bahwa alam
semesta tidak membutuhkan pencipta dari luar dirinya, melainkan dirinyalah yang
merupakan sebab dari kemunculan dirinya. Dan ini tak lain adalah daur (circular
reasoning) yang batal dan mustahil secara dzati (esensial).
Dengan memperhatikan apa yang telah kami
katakan, maka kami dapat mengungkapkan teori kausalitas ini dengan ungkapan
yang lebih ringkas, sebagai berikut:
Ringkasan penjelasan atas argumen kausalitas
Apabila kita bukanlah sophist atau pengingkar
realitas dan eksistensi, maka kita bisa mengatakan bahwa secara rasional “wujud
atau eksistensi” bisa dipilah menjadi dua yaitu “wujud bergantung” dan “wujud
tak bergantung”. Dan ini merupakan sebuah pembagian yang rasional dan
disepakati. Bahkan oleh para penyanggah sekalipun. Dengan demikian, berarti
tidak ada analogi ketiga yang bisa dimisalkan. Sekarang, apabila kita
memisalkan wujud sebagai sebuah “wujud bergantung”, berdasarkan pembatalan
teori daur (circular reasoning) interkoneksi, secara rasional mengharuskankita
untuk memisalkan adanya pemula mandiri dan tak bergantung yang bernama “wajibul
wujud” dan “sebab awal”. Dan apabila kita meletakkan wujud sebagai sebuah
“wujud tak bergantung”, maka dari awal kita telah mengakui adanya wujud wajib.
Oleh karena itu, pada kedua pemisalan ini, “wujud wajib” tetap urgen dan
niscaya.[5]
Materialis dan Argumen Kausalitas
Kaum Materialis bukanlah orang-orang yang
mengingkari teori kausalitas. Dan jika mereka mengutarakan beberapa teori untuk
menjatuhkan teori kausalitas ini, pada hakikatnya hal tersebut muncul dari
ketidakfahaman dan ketidakjelian mereka saja.
Prinsip argumen kausalitas – sebagaimana yang
telah kami ungkapkan sebelumnya- merupakan sebuah persoalan yang sama sekali
tidak bisa diingkari. Bahkan para penganut Empirisisme dan Positivisme pun
mempunyai pendapat yang sama terhadap hal ini. Demikian juga dalam praktek,
mereka menerima dan mempergunakan prinsip kausalitas ini.
Oleh karena itu, pada dasarnya perbedaan antara
filosof Ilahi dan Materialis, bukan terletak pada prinsip: “akibat, membutuhkan
adanya sebab”. Melainkan pada persoalan berikut, yakni bahwa filosof Ilahi
sepakat bahwa alam materi tidak bisa mandiri dan memenuhi dirinya sendiri, atau
dirinya merupakan sebab dari dirinya sendiri, melainkan materi senantiasa
membutuhkan sebuah sebab yang abstrak dan trans-fisik bernama “wâjib al-wujud”.
Sementara para filosof Materialis berpendapat bahwa materi adalah pencipta
dirinya sendiri dan dia tidak membutuhkan sebuah sebab pun dari luar dirinya.
Dengan kata lain, filosof Ilahi dan materi
keduanya sama-sama sepakat dalam prinsip adanya pemula untuk alam ini, hanya
saja perbedaannya terletak pada poin berikut, bahwa menurut filosof Ilahi,
pemula akibat tersebut adalah sebuah eksistensi yang mempunyai kecerdasan dan
persepsi. Sedangkan menurut filosof Materialis, pemula alam adalah materi yang
tak memiliki kecerdasan dan persepsi. Akhirnya, Anda sendirilah yang harus
menentukan, manakah dari kedua diskursus tersebut yang lebih bisa diterima dan
lebih rasional perkataannya.
Catatan Kaki:
[1] Frederick Copleston, Târikh Falsafah
(Sejarah Filsafat, edisi Persia), J. 1, hal. 33.
[2] Ushul-e Falsafah va Rawesy-e Realism, J. 2,
hal. 62; Amuzesh-e Falsafah (Daras Filsafat jilid 2) , J. 2, hal 17; Cikide-ye
Cand Bahts Falsafeh, hal. 39-43.
[3] Ushul-e Falsafah wa Rawesy-e Realism, J. 2,
hal. 58, Amuzesh-e Falsafah, J. 2, hal. 46, dan juga J. 1, hal. 191.
[4] Nihayat al-Hikmah, tingkatan kedelapan,
pasal kelima.
[5] Ibid, tingkatan ke 12, pasal pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar