Taqi Mizbah Yazdi dalam diskurusus keilmuannya berusaha
memadukan antara kekuatan nalar dan tes-tes suci (Alquran), kedua hal ini
dipadukan baik dalam kerangka epistemik, ontologis, maupun aksiologis sehingga
terasa dalam elaborasi keilmuannya sangat kontras dengan
nuansa ketauhidan. Jika dalam tradisi-tradisi intelektual di zaman dahulu
terbagi kedalam dua kutub, yakni antara kelompok penyokong rasionalitas murni
disatu sisi dan pendukung tes-tes suci disisi lain, maka Taqi Misbah Yazdi
adalah salah satu tokoh yang mensintesiskan keduanya.
Satu pertanyaan menarik yang sering muncul ketika
mendiskusikan persoalan-persoalan ketauhidan ini, yakni sejauh mana tuhan dapat
diketahui oleh manusia? apakah manusia memiliki kuasa dihadapan kuasa tuhan?
dan bagaimana semesta ini bisa ada? Ketiga pertanyaan ini telah mengundang
perdebatan dari zaman dahulu hingga sekarang, dan bahkan bisa dikata bahwa
masalah pelik inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya perpecahan
antara individu yang satu dengan individu yang lain, dan bahkan antara umat
yang satu dengan umat yang lain.
Jawaban terhadap pertanyaan pertama kemudian dihukumi
sebagai ketauhidan, yang kedua adalah kemanusiaan dan yang ketiga ialah
kosmologi. Suatu bentuk pemahaman baru bisa dikatakan ideal ketika mengakomodir
ketiga pokok persoalan utama ini dan kemudian antara yang satu dengan yang
lainnya saling dikaitkan. Asumsi dasar ini pulalah yang hendak penulis gunakan
untuk melihat gagasan ketauhidan Taqi Misbah Yazdi kaitannya dengan ketiga
persoalan ini.
1. Konsepsi
Ketauhidan
Taqi Misbah Yazdi menuturkan bahwa pengetahuan tentang Allah
dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu pengetahuan intuitif yang didapat tanpa
perantaraan konsep-konsep mental (huduri),
dan pengetahuan umum yang dipenuhi dengan makna konsep-konsep rasional dan
tidak secara langsung (husuli).[1][1] Kedua segmen ini tentu menggunakan
perangkap metodis yang berbeda dalam aktualitasnya, pengetahuan intuitif
mengarah pada penyucian diri melalui perjalanan spiritual, sementara
pengetahuan husuli lebih pada demonstrasi dan hujjah-hujjah filosofis rasional.
Salah satu bukti filosofis terkait dengan pembuktian Tuhan
dengan pendekatan Rasional oleh Taqi Misbah ialah asumsinya terkait dengan
watak alam ini yang senantiasa terikat dengan hukum gerak dan ketersusunan,
bagi dia ini bisa dijadikan sebagai bagian dari hujjah bahwa hal tersebut
mengindikasikan adanya eksistensi penggerak dan penyusun.[2][2] Argumentasi sederhana ini berujung
pada asumsi sederhana bahwa dari sistem kausal tersebut jelas akan berujung
pada satu sebab tunggal dimana segala maujud dan sebab turunan (rangkap)
berasal.
Lain halnya dengan pengetahuan Tauhid yang diperoleh melalui
pengetahuan huduri, bahwa pengetahuan ini merupakan perolehan atau akibat dari
perjalanan kesadaran akan spiritualitas yang dilakukan oleh seorang hamba.
Meski pengetahuan ini kontras dengan nuansa subjektifitas namun ia tetap
dijadikan sebagai hujjah kuat, mengingat karena antara yang mengetahui dan
diketahui sama sekali tidak ada keterpisahan antara keduanya. Inilah yang
diasumsikan oleh Taqi Misbah bahwa hati manusia memiliki hubungan yang mendalam
dengan pencipta-Nya, namun kebanyakan orang kurang memperhatikannya.[3][3]
2. Konsepsi
Kosmologi
Taqi Misbah Yazdi menekankan bahwa pada intinya pandangan
dan keyakinan manusia terhadap alam semesta hanya terbagi menjadi dua bagian
utama, yaitu pengakuan dan pengingkaran atas alam metafisis (pandangan dunia
ilahi dan pandangan dunia materialisme).[4][4] Kedua pandangan ini lahir untuk
menjawab pertanyaan mendasar terkait dengan “siapakah pencipta alam semesta
ini?”
Hal yang menarik dari pemikir ini ialah kemampuannya dalam
meramu bahasa yang sederhana dalam pemaparan teori-teorinya sehingga relatif
dapat dipahami sekalipun itu oleh para pengkaji pemula. Sebut saja misalnya
perumpaan yang diangkat terkait dengan pembuktian akan keberasalan alam ini
bahwa mustahil sebuah buku bisa ada untuk dibaca tanpa pengarangnya yang pada
dirinya juga terdapat tujuan? Adalah sebuah kebodohan jika mempercayai bahwa
sebuah ensiklopedi berjilid-jilid tercetak dan terbit akibat ledakan kandungan bumi
kemudian pecahan-pecahan yang beterbangan di udara itu menyatu dan
membentuk huruf-huruf lalu kemudian secara tiba-tiba membentur kertas dan
terbitlah buku yang berjilid-jilid. Lebih tidak masuk akal lagi keyakinan yang
menyatakan bahwa alam semesta yang penuh hikmah, baik yang diketahui maupun
tidak, tercipta secara spontan tanpa sebab apapun.
Sesungguhnya setiap sistem terarah dan bertujuan merupakan
dalil atas adanya pembuat sistem
tersebut. Dan di alam semesta ini disaksikan bahwa sistem yang terarah dan
bertujuan tersebut merupakan bukti akan adanya Sang Pencipta yang Maha
Bijaksana dan senantiasa memeliharanya.[5][5]
Selain dari pada itu, Taqi menjelaskan terkait dengan
keberasalan semesta bahwa adanya kosmos ini didasari atas dua hal, yaitu khalq dan ibda’ (penciptaan dan perwujudan). Adapun maksud dari al-Khalq adalah konotasi penciptaan
dimana objek penciptaan merupakan turunan dari materi yang mendahului adanya,
sedangkan ibda’ adalah sebuah
penciptaan yang merujuk pada realitas-realitas yang wujudnya tidak didahului
oleh materi (realitas abstrak).[6][6] Kedua asumsi ini dirangkum dalam
istilah “maujud” dan setiap yang maujud butuh kepada-Nya dalam semua perkara
yang berkaitan dengan kemaujudannya dan secara mutlak tidak ada kemandirian apa
pun yang dimilikinya.[7][7]
Penjelasan ini mengantarkan kita pada pemahaman bahwa
penciptaan kosmologi merupakan konsekuensi logis dari keniscayaan sebab pertama
wajib al-wujud yang merupakan
prasyarat bagi adanya mumkin al-wujud, dari
sini pula ditemukan sifat pencipta (al-khaliqiyah)
pada wajib al-wujud dan sifat
yang dicipta (makhlukiyah) pada
makhluk-Nya.
3. Konsepsi
Kemanusiaan
Perdebatan tentang manusia, khususnya ketika dikaitkan dengan
persoalan takdir telah melahirkan kontroversi paradigma yang bisa dikatakan
akut sejak dahulu. Dua kutub yang saling bersebrangan dalam arus teologi muncul
karenanya, yaitu terdapat pendukung teori kebebasan/free well yang kemudian
menjelma jadi mazhab teologi disatu sisi (Mu’tazilah) dan
ketergantungan/determinisme yang terkoptase dengan Asy’ariah disisi lain.
Muh. Taqi Misbah Yazdi dianggap sebagai filosof islam
mutakhir yang juga memberikan perhatian khusus terhadap persoalan ini.
Menurutnya bahwa dari sudut pandang Islam, manusia ibarat lokomotif yang sedang
melaju (bergerak menuju ke tujuan tertentu/kesempurnaan).[8][8] Sebagai sarana utama untuk sampai
pada tujuan tersebut, Allah Swt menganugerahi manusia dengan kehendak dan kemampuan untuk memilih,
dan dengan anugerah
tersebut perilakunya dikatakan bernilai. Persoalannya kemudian adalah apakah
dengan kemampuan dan kebebasan memilih manusia betul-betul terjamin bisa sampai
pada tujuan idealnya?
Terkait dengan persoalan ini Taqi Misbah memberikan
ilustrasi bahwa bagi pengendara sebuah kendaraan menuju pada tujuan tertentu,
tidak cukup hanya dengan kemampuan dan kebebasan memilih karena ia bisa saja
membanting stirnya ke arah yang bersebrangan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Dengan demikian syarat tersebut tidak cukup, tapi dibutuhkan suatu sebab yang
bersifat komprehensif, yang dalam bahasa formalnya disebut aturan-aturan
(syariat).[9][9] Dan yang lebih memahami aturan yang
ideal bagi kendaraan itu sendiri ialah penciptanya, maka dari itu dialah yang
lebih layak membuat aturan tentangnya.
Asumsi ini mengarahkan cara pandang kita pada suatu asumsi
dasar bahwa Taqi Misbah pada
intinya mempercayai dua hal kaitannya dengan manusia itu sendiri, yaitu Rububiyah Takwiniyah (pengaturan
ciptaan) yang meliputi pengaturan
berbagai urusan setiap maujud dan pemenuhan berbagai kebutuhannya. Serta Rububiyah Tasyri’iyah (pengaturan titah)
yang berlaku atas makhluk yang bisa merasa dan memilih dan meliputi pengutusan
para nabi, penurunan kitab, penetapan tugas dan kewajiban dan penyusunan hukum
dan undang-udangan.[10][10] Dan penulis menangkap bahwa pada
poin kedua inilah wilayah kebebasan manusia berlaku untuk memilih antara patuh dan tidak terhadap
peraturan/undang-undang yang telah ditetapkan secara tasyri’.
[1][1] Muh. Taqi Misbah Yazdi, The
Learnings of the Glorious Qur’an. terj. M. Habib Wijaksana, Filsafat Tauhid, Mengenal Tuhan Melalui
Nalar dan Firman (Cet. I, Bandung : Arasy, 2003), h. 31.
[3][3] Ibid., h. 43. Lihat
juga di Jagad diri bahwa ketika
manusia telah mencapai kematangan rasionalitasnya melalui aktivitas intelektual
dan argumentasi rasional, ia pun dapat menyadari kekafiran wujudi yang ada pada
dirinya. h. 113.
[4][4] Muh. Taqi Misbah Yazdi, Amuzesye
Aqayid. terj. Ahmad Marzuki Amin, Iman
Semesta, Merancang Piramida Keyakinan, (Cet. I ; Jakarta : Al-Huda, 2005), h.
3.
[7][7]Muh. Taqi Misbah Yazdi, Jagad
Diri. terj. Ali Ampenan, (Cet. I; Jakarta : Al-Huda, 2006), h. 111.
[8][8] Muh. Taqi Misbah Yazdi, Freedom:
the Unstated Facts and Points. terj. Nailul Aksa, Freedom: Bebeas Terpaksa atau Terpaksa Bebas, (Cet. I; Jakarta :
Al-Huda, 2006), h. 27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar