Tragedi Karbala
& Konsep Cinta
Cinta itu anugerah maka berbahagialah
Sebab kita sengsara jika tak punya cinta.
Rintangan pasti akan menghadang…
Cobaan pasti menghujam…
Namun yakinlah bahwa cinta itu yang membuatmu,
Mengeerti akan arti kehidupan.
(cuplikan lirik karya Doel Sumbang)
Berbicara tentang cinta, sejak dahulu para filosofis
maupun urafa telah membahasnya sedemikian rupa dimana hal tersebut menunjukkan
betapa besar peran cinta dalam kehidupan manusia dan keberadaan sekaligus kelangsungan
alam semesta ini.
Dalam sejarah filsafat kita bisa lihat besarnya perhatian
yang diberikan Plato terhadap makna cinta, dalam dunia filsafat Islam baik dari
aliran Isyraq maupun Massya’ yang masing-masing diwakili oleh
Sahrawardi dalam karyanya “Munis Al-Ussyaq” dan Ibnu Sina dalam “Risalah
Al-Esyq“. Tak ketinggalan Ikhwan Al-Shofa dalam kitab “Risalah Ikhwan
Al-Shofa“. Para Urafa dalam karya-karya mereka menunjukkan bahwa cinta
memiliki peran yang sangat penting dalam proses perjalanan mereka menuju
kekasih sejati mereka, kita bisa perhatikan dalam kitab-kitab mereka seperti: Risalah
al-Qusyairiah atau Kasyful Mahjub. Khajah Abdullah Ansari dalam
kitab “Kanz al-Salikin” bab pertama yang ia bahas berjudul Maqalat
Al-Aql wa Al-Esyq, Najmuddin Ar-Razi yang lahir setelah Ibn Arabi –kurang
lebih 13 tahun sepeninggalnya– telah menulis Risalah Al-Aql wa Al-Esyq.
Alhasil, ini semua sebagai bukti bahwa cinta merupakan unsur terpenting dalam
wujud alam semesta menurut persepsi para filosofis dan urafa.
Ibn Arabi menganggap bahwa cinta adalah unsur utama
eksistensi, anggapan tersebut disandarkan pada riwayat dari hadis Qudsy ketika
Nabi Dawud as bertanya kepada Allah swt: “wahai Tuhanku mengapa kau ciptakan
alam semesta ini?”, Allah swt berfirman: “Aku ibarat harta yang tersembunyi
maka Aku suka (baca: ingin) untuk diketahui, maka Aku ciptakan penciptaan agar
diriKu diketahui”. (Hadis ini dikenal dengan hadis Kanzul Makhfi).
Dalam banyak pembahasan tentang fungsi keberadaan Insan
Kamil (manusia sempurna) sebagai Khalifah Allah dan penghubung pancaaran
anugerah Ilahi pada alam semesta ini. Maka keberadaanya pun pada setiap zaman
merupakan suatu keharusan, karena jika tidak (walaupun hanya sesaat saja)
niscaya alam semesta ini akan hancur karena salah satu fungsi Insan Kamil
adalah sebagai poros perputaran wujud alam semesta ini. Telah ditekankan oleh
Imam Ali as dalam khotbah beliau yang terkenal dengan khotbah “Syiqsyiqiah”
beliau bersabda: “… Sementara ia (Ibn Abi Qohafah) mengetahui bahwa kedudukanku
padanya (alam semesta) seperti kedudukan poros pada putaran penggilingan…”.
Tentu kita tahu akibat perputaran sebuah alat penggiling yang tidak berporos,
yang jelas tidak akan terwujud proses penggilingan atau bahkan dapat
menghancurkan alat penggiling itu sendiri. Oleh karena itu Rasulullah saww
bersabda: “… Ahlul Baitku adalah penjaga bagi bumi ini”.
Kekhususan Insan Kamil yang lain adalah sebagai
wakil (khalifah) Allah swt di muka bumi, tentunya harus ada kesesuaian
(sinkronitas) antara wakil dan yang diwakili, oleh karenanya bisa disimpulkan
bahwa ia adalah makhluk yang paling sempurna dalam penjelmaan sifat Jalal dan
Jamal Ilahi, hal ini pulalah yang menyebabkannya menjadi penghubung antara
makhluk dan penciptanya, atas dasar inilah dalam doa “Jamiah Kabirah” disebutkan:
“…Barang siapa yang menginginkan Allah swt maka harus memulainya darimu…”. Kata
‘menginginkan Allah’ bisa diterapkan dalam banyak hal termasuk kecintaan
terhadap Allah, oleh karenanya mustahil orang akan bisa mendapat dan mencapai
cinta Ilahi tanpa melalui kecintaan terhadap Insan Kamil.
Sebagaimana untuk sampai pada kecintaan Ilahi; harus
melalui jalan petunjuk yang telah ditentukan oleh Allah swt berupa al-Quran
yang disifati sebagai:
“… Petunjuk bagi manusia dan penjelas…” (Q.S:1:185)
Maka berdasarkan hadis Tsaqalain yang telah kita
ketahui bersama dimana disebutkan tidak mungkinnya pemisahan antara al-Quran
shomit dan al-Quran natiq (Al-Fitrah, Ahlul Bait) maka tanpa
berpegang pada tali Allah tersebut, mustahil kita akan mendapat cinta ilahi.
Imam Husein as adalah satu dari Ahlul Bait Rasul saaw.
Jika kita ambil kesimpulan dari apa yang telah disebutkan diatas maka betapa
tinggi derajat yang beliau miliki. Beliau adalah Insan Kamil, Khalifah Allah,
poros wujud, al-Quran natiq, penghubung pancaran anugerah Ilahi dan lain
sebagainya termasuk pintu cinta ilahi, untuk itu kehilangan Imam Husain as bagi
pengharap cinta ilahi merupakan pukulan telak yang layak untuk ditangisi dan
diratapi.
Kembali ke masalah cinta, Ibn Arabi membagi cinta menjadi
tiga bagian. Pertama, Cinta alamiah, cinta ini muncul dari rasa cinta jasmani
saja, ini biasa terjadi pada diri orang awam yang landasan cintanya hanya
perasaan lahir saja. Kedua, Cinta ruhaniah, cinta ini bermula dari kecintaan
seseorang pada suatu benda yang tujuannya adalah untuk sampai pada dzat yang
dicintainya dan yang berakhir pada penyatuan diri antara pecinta dengan yang
dicinta. Cinta dalam jenis ini memiliki dua unsur utama sebagai sebab
kemunculannya, dua hal tersebut adalah jasad dan ruh.
Ketiga, Cinta Ilahiah, Cinta dalam bentuk ini hanya
berhubungan dengan ruh saja tanpa ada sentuhan materi– karena segala hal yang
inderawi terangkat pada posisi non inderawi– karena pemilik cinta tersebut
melihat bahwa alam materi merupakan sandi dan penampakan lahiriah dunia akal,
sehingga kecintaannya pada hal-hal tersebut bermakna cinta atas segala
penjelmaan ilahi.
Setelah mengetahui pembagian cinta diatas, kita berharap
pembaca budiman dapat merefleksikan ketiga contoh diatas pada contoh dibawah
ini:
Pada hari Asyura orang-orang syiah (pecinta dan pengikut
Ahlul Bait) mengadakan acara memperingati hari duka peristiwa syahadah Imam
Husain as di Karbala, acara yang mayoritas dihadiri oleh orang-orang syiah juga
sebagian dari saudara ahlussunnah. Pada waktu dibacakan kronologi pembantaian
di Karbala, semua hadirin menangisi dan meratapi kejadian tersebut. Lantas
muncul pertanyaan, akankah tangisan mereka atas kehilangan Imam Husain as,
memiliki kualitas yang sama? Sementara dapat dipastikan bahwa kualitas (maupun kuantitas)
pengetahuan mereka atas hakekat Imam Husain as memiliki perbedaan yang
menyebabkan kecintaan mereka berbeda pula. Walupun secara lahir tangisan mereka
sama.
Yang jelas secara umum bisa dijelaskan bahwa para pecinta
Ahlul Bait yang benar-benar mengetahui derajat Imam Husain as mereka menangisi
dan meratapi syahadah beliau dikarenakan perpisahan mereka dengan manusia suci
dan sempurna sebagai al-Quran natiq dimana kekhususan yang beliau miliki sama
persis dengan al-Quran Shamith yang salah satunya adalah petunjuk bagi manusia,
oleh karenanya Rasul saww bersabda: “Sesungguhnya al-Husain as merupakan sinar
petunjuk jalan yang benar dan bahtera penyelamat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar