NIKAH MUT’AH
Pernikahan
dalam ajaran Islam bukan saja sesuatu yang suci akan tetapi juga merupakan
ibadah. Rasulullah saw dalam sebuah hadits bersabda: "Nikah itu adalah
sunnahku, barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk
golonganku".
Karena
pernikahan adalah ibadah, maka ini artinya dilakukan karena Allah, bukan semata
karena syahwat atau nafsu. Dan karena nikah itu adalah karena Allah jugalah,
maka harus mengikuti segala ketentuan dan peratuan dari Allah. Segala hal yang
tidak sesuai dengan peraturan dan tujuan nikah ini, maka dipandang sebagai
pengumbar syahwat belaka dan karenanya tidak diperbolehkan.
Dalam
ajaran Islam, paling tidak ada tiga tujuan utama dari pernikhan. Pertama, agar
tercipta ketenangan, cinta kasih dan sayang (sakinah, mawaddan dan rahmah).
Dalam hal ini Allah berfirman dalam
surat ar-Rum ayat 21: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir".
Kedua,
untuk mendapatkan keturunan yang shaleh dan sah. Karena bagaimana pun juga
manusia tidak ada yang kekal. Untuk
me'ngekal'kan itulah diperlukan penerus-penerus tangguh yaitu putra putri, plus
mereka yang akan menjadi tabungan doa bagi orang tuanya setelah meninggal
nanti.
Ketiga,
kebersamaan abadi antara suami isteri dan anak, baik di dunia maupun di
akhirat. Pernikahan dalam ajaran Islam bukan untuk sementara waktu saja, akan
tetapi harus diniatkan untuk selamanya baik di dunia maupun di akhirat. Karena
untuk selamanya inilah, Allah membenci pemutusan ikatan suci tersebut yang
berupa talak. Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya perbuatan halal yang
dibenci oleh Allah adalah talak".
Untuk
menggapai tiga sasaran utama dari pernikahan itulah, kemudian para ulama
mencoba meruntut dan menetapkan beberapa peraturan—tentunya setelah mengacu
kepada al-Qur'an dan sunnah—yang harus dipenuhi agar pernihakan tersebut sah
dan bernilai ibadah. Peraturan-peraturan ini kemudian menjelma, di antaranya,
dengan apa yang disebut sebagai rukun dan syarat pernikahan. Apabila tidak
memenuhi syarat rukun ini, maka pernikahan tersebut dinyatakan tidak sah dan
haram, karena itu juga berarti tidak berorientasi untuk menggapai tiga tujuan
utama dari pernikahan itu sendiri.
Di
antara model pernikahan yang kurang sesuai dengan tujuan di atas adalah Mut'ah,
'Urfi dan Sirri. Tiga jenis pernikahan ini menjadi sangat penting untuk dikaji,
karena ternyata sekalipun jelas-jelas tidak berupaya untuk menggapai tujuan di
atas, akan tetapi tetap marak dilakukan dewasa ini. Oleh karena itu, makalah
ini mencoba melihatnya--tentu dengan segala keterbatasan--bagaimana
sesungguhnya Islam melihat ketiga jenis pernikahan di atas?
Untuk
lebih jelasnya, mari kita ikuti bersama pembahasan lebih detailnya dan semoga
bermanfaat. Hanya kepadaNyalah kita berbakti dan mengabdi, serta hanya
kepadaNya lah kita akan kembali, selamat menikmati.
Pengertian Nikah Mut'ah
Mut'ah
secara bahasa berarti bersenang-senang. Dalam buku Masail Fiqhiyyah Baina Ahlis
Sunnah wasy-Syi'ah Imamiyyah karya Syaikh Abdul Husain Syarafuddin al-Mausawy
(halaman 56), salah seorang tokoh Syi'ah dikatakan bahwa Nikah Mut'ah adalah:
"Nikah yang dilakukan oleh seorang muslim dengan wanita muslimah atau
kitabiyyah yang merdeka, selama tidak ada halangan syar'I antara keduanya untuk
melangsungkan perkawinan baik halangan karena nasab (keturunan) atau karena
sebab atau karena susuan, atau karena telah menikah atau karena dalam masa
iddah, dengan mahar tertentu dan untuk masa waktu tertentu pula sesuai dengan
syarat-syaratnya".
Dari
definisi di atas, satu hal yang perlu kita semua ketahui bersama bahwa Nikah
Mut'ah ini adalah nikah untuk waktu tertentu saja yang mana waktu tersebut
diucapkan ketika akad berlangsung. Waktu tertentu tersebut misalnya untuk satu bulan, satu tahun dan
sebagainya.
Syarat-syarat sahnya Nikah Mut'ah
Salah
seorang ulama Syi'ah Imamiyyah Syaikh Taufiq al-Fakiky dalam bukunya al-Mut'ah
wa Atsaruha fil Ishlah al-Ijtimaiy (halaman 30-38), mengatakan bahwa ada
beberapa syarat sahnya Nikah Mut'ah:
1. Adanya Ijab Qabul
Lafadz
ijab ini ada tiga macam, yaitu: matta'tu, zawwajtu dan ankahtu. Artinya, Nikah
Mut'ah baru sah apabila wali perempuan atau mempelai perempuan itu sendiri
mengucapkan salah satu dari tiga lafadz ijab tersebut. Dan apabila dalam
ijabnya menggunakan kata lain yang bukan salah satu dari tiga lafadz tersebut
maka Nikah Mut'ahnya tidak sah. Sementara qabul, dapat menggunakan kata apa
saja selama dapat dipahami sebagai penerimaan atas pernikahan tersebut.
Misalnya, qabul bisa dengan mengatakan: qabiltu al-mut'ah atau at-tazwij atau
an-nikah. Dan sekalipun ucapan qabul itu hanya mengatakan qabiltu atau radhitu
saja, tanpa ada tambahan kata lain, tetap dipandang sah. Demikian juga, apabila
diawali dengan perkataan qabul terlebih dahulu, misalnya dengan mengatakan:
tazawwajtuki (saya menikahi kamu), lalu si perempuan mengatakan ijabnya
belakangan: zawwajtuka nafsii (saya menikahkan diri saya sendiri), akad
nikahnya tetap dipandang sah.
Sedangkan
shigat akad ijab qabul yang biasa
dipakai dalam akad Nikah Mut'ah ini adalah: matta'tuka
atau zawwajtuka atau ankahtuka nafsii ila muddah kadza 'ala mahri qadruhu kadza
(aku menikahkan diri
saya sendiri untuk waktu sekian bulan atau tahun (misalnya) dengan maskawin
sebesar sekian), lalu si calon suaminya mengatakan: qabiltun
nikaah (saya menerima
pernikahan seperti yang disebutkan dalam
akad ijab tersebut).
2. Harus disebutkan jumlah maharnya
Syarat
kedua agar kawin mut'ah ini sah adalah dalam akad jumlah maskawin harus
disebutkan secara jelas dengan jumlah tertentu. Apabila jumlah mas kawinnya
tidak disebutkan dalam akad nikah, maka nikahnya dipandang tidak sah. Mas kawin
ini tidak ada batasan dan ketentuannya, ia boleh besar boleh juga sedikit, juga
boleh dalam bentuk jasa, seperti mengajarkan membaca atau menulis dan lainnya.
3. Menyebut lama waktu tertentu.
Syarat
lainnya adalah, harus jelas disebutkan dalam akad berapa lama pernikahan tersebut,
misalnya untuk satu tahun atau satu minggu. Apabila tidak menyebutkan lama
waktu pernikahan, maka akadnya dipandang tidak sah. Tidak ada jumlah minimal berapa lama waktu
untuk melakukan Nikah Mut'ah ini, boleh lama boleh sebentar. Hanya, ketika
akad, lama waktu tersebut harus disebtukan secara jelas berapa lamanya, tidak
boleh samar, juga tidak boleh tidak jelas (majhul).
Laki-laki
yang melakukan Nikah Mut'ah (al-mutamatti') tidak boleh melakukan akad baru
(akad perpanjangan) sebelum masa pernikahan sesuai akad tersebut habis. Namun,
apabila ia hendak melakukan akad baru, sebelum masa pernikahan habis, ia boleh
dengan cara menghibahkan (menghadiahkan) terlebih dahulu sisa masa pernikahan
tersebut, lalu melakukan akad baru.
Misalnya
apabila dalam akad nikah disebutkan pernikahan tersebut untuk waktu satu bulan,
lalu baru dua minggu mau memperpanjang dan akad baru, maka sisa waktu yakni dua
minggu lagi itu harus dihadiahkan untuk isteri. Setelah dihadiahkan, maka si
suami diperbolehkan untuk akad baru dengan
lama pernikahan yang baru juga.
4. Tidak diharuskan adanya saksi dan
pengumuman nikah.
Dalam
Nikah Mut'ah, keberadaan saksi (isyhad) dan pemberitahuan pernikahan (I'lan)
tidak wajib, ia hanya sunnat saja. Artinya, kalau dia menikah tanpa ada saksi
dan tanpa diumumkan, maka nikahnya tetap dipandang sah. Demikian juga tidak
diharuskan memakai wali, sekalipun wanita yang menikah tersebut masih gadis.
Hanya saja, apabila memakai wali, tentu lebih utama.
5.
Tidak boleh melakukan Nikah Mut'ah dengan selain wanita muslimah atau wanita
kitabiyyah (Yahudi dan Nashrani).
Diperbolehkan
melakukan Nikah Mut'ah dengan wanita majusi (agama yang menyembah api) hanya dalam keadaan
darurat. Demikian juga tidak boleh melakukan Nikah Mut'ah dengan wanita yang
menjadi budak belian, kecuali ada idzin dari majikannya.
Demikian
juga tidak diperbolehkan melakukan Nikah Mut'ah kepada dua wanita yang
statusnya kakak beradik, sekalipun salah satunya berada dalam masa iddah. Diperbolehkan
melakukan mut'ah dengan wanita lebih dari empat isteri, sekalipun laki-laki
tersebut sudah mempunyai empat isteri.
Melakukan
Nikah Mut'ah dengan wanita yang masih gadis diperbolehkan tanpa ada idzin dari
ayahnya (walinya) apabila wanita tersebut sudah baligh dan dewasa, dengan
catatan tidak boleh menodai keperawanannya (tidak boleh berhubungan badan ke
bagian depan wanita).
6.
Akad Nikah Mut'ah boleh memakai syarat.
Seorang
wali atau laki-laki yang menikahmut'ahkan anak putrinya atau wanita yang
meNikah Mut'ah dengan laki-laki boleh memberikan syarat kepada laki-laki
tersebut ketika akadnya. Misalnya dengan mengatakan di akad nikahnya, dengan
syarat tidak memasukkan kemaluan laki-laki itu ke dalam kemaluan depannya. Maka
apabila disyaratkan demikian, si laki-laki tidak diperbolehkan melanggar
syaratnya itu.
7.
Anak yang lahir dari hasil pernikahan mut'ah tersebut mempunyai garis keturunan
sah kepada ibu bapaknya itu, karena Nikah Mut'ah adalah pernikahan yang sah
secara syar'i, bukan zina. Suami tidak diperbolehkan menolak anak yang lahir
hasil pernikahan mut'ahnya itu, sekalipun ia mengaku bahwa ia ketika
bersenggama melakukan 'azl ('azl adalah memasukkan kemaluan laki-laki ke dalam
kemaluan wanita, hanya ketika spermanya mau keluar, ia mencabutnya dan
menumpahkan spermanya itu di luar kemaluan wanita).
8.
Masa Iddah wanita yang melakukan Nikah Mut'ah.
Dalam
pernikahan mut'ah, tidak ada talak. Artinya, si suami tidak mempunyai hak talak
selama pernikahannya itu. Pernikahan berakhir dengan habisnya masa itu sendiri,
atau dengan jalan menghibahkan (menghadiahkan) sisa masa nikahnya itu. Apabila
masanya sudah habis, maka pernikahan berakhir begitu saja, sesuai dengan
berakhirnya waktu pernikahan tersebut. Apabila masa Nikah Mut'ahnya sudah
beraakhir atau sisa waktu mut'ah tersebut dihibahkan dan sebelum melakukan
hubungan badan, maka wanita tersebut tidak ada masa iddahnya.
Apabila
telah melakukan hubungan badan, maka iddah wanita tersebut adalah selama dua
kali haidh atau boleh juga empat puluh lima hari. Apabila waktu masa Nikah
Mut'ah tersebut berakhir ketika si wanita sedang haid, maka masa haidnya itu
tidak dihitung sebagai masa iddahnya. Apabila wanita tersebut hamil, maka
iddahnya sampai melahirkan.
Apabila
suaminya itu meninggal dunia, maka iddah wanita tersebut adalah empat bulan
sepuluh hari apabila tidak hamil. Apabila hamil, maka diambil waktu iddah yang
paling lama di antara dua masa iddah itu, apakah empat bulan sepuluh hari atau
sampai melahirkan.
9. Tidak ada hak saling mewaritsi antara
suami isteri.
Pada
dasarnya suami isteri yang melakukan nkah mut'ah tidak ada hak untuk saling
mewaritsi kecuali apabila disyaratkan dalam akad nikahnya. Demikian juga tidak
ada kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah kepada isterinya itu, kecuali
apabila disyaratkan dalam akadnya.
Demikian
sekilas singkat tentang beberapa syarat yang menjadi penentu sah tidaknya Nikah
Mut'ah tersebut, sekaligus di antara bentuk acuan Nikah Mut'ah. Apa yang
penulis utarakan di atas, penulis ambil dari buku karya salah seorang ulama tokoh Syi'ah Libanon,
Beirut yang bernama Syaikh Taufiq al-Fakiky yang berjudul: al-Mut'ah wa
Atsaruha fil Ishlah al-Ijtimaiy (halaman 30-38).
Beberapa
buku yang dijadikan acuan dan referensi oleh Syaikh Taufiq al-Fakiky adalah buku-buku
mu'tamad syiah seperti al-Istibshar dan Wasail asy-Syi'ah. Hanya saja, penulis
tidak mendapatkan bahwa Syaikh Taufiq menukil dari buku al-Kaafi, salah satu
buku induk syi'ah juga, yang dikarang oleh Syaikh al-Kulainy. Barangkali boleh
jadi tidak merujuknya ke buku al-Kafi tersebut lantaran buku al-Kafy tersebut
sebagian besar hadits-haditsnya adalah hadits-hadits lemah sebagaimana
dikritisi oleh al-Majlisy dalam bukunya Mir'atul 'Uqul.
Satu
hal yang penulis perlu sampaikan, Syaikh Taufiq juga dalam bukunya ini, tidak
menjelaskan kedudukan hadits yang dijadikan dasar atau hujjahnya tersebut. Ia
tidak menjelaskan apakah hadits-hadits tersebut shahih, hasan atau dhaif. Boleh
jadi, hal ini dilakukan lantaran dalam tradisi Syi'ah, semua riwayat yang dating
dari para imam semuanya adalah shahih. Sekalipun ada yang menilai dhaif, mereka
menilainya sebagai taqiyyah saja (mabniyyun 'alat taqiyyah), dan ketika atas
dasar taqiyyah, masih dapat dijadikan dalil.
Di
bawah ini penulis ketengahkan beberapa hadits yang menjadi dasar kebolehan
Nikah Mut'ah yang diambil dari buku-buku
mu'tabar dan primer syi'ah seperti dari al-Kafi, al-Istibshar dan Tahdzibul
Ahkam.
Hadits-hadit
kebolehan Nikah Mut'ah versi Syi'ah
1. Dalam buku al-Kafi, di sebutkan riwayat
di bawah ini:
عن
سهل بن زياد وعلي بن إبراهيم, عن أبيه جميعا, عن ابن أبي نجران, عن عاصم بن حميد عن
أبي بصير: سألت أبا جعفر عن المتعة, فقال: نزلت فى القرآن [ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ
بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا
تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ] [النساء: 24].
Artinya:
"Abi Bushair berkata: "Saya bertanya kepada Abu Ja'far tentang dalil
bolehnya Nikah Mut'ah". Abu Ja'far menjawab: "Dalilnya adalah dalam
surat an-Nisa ayat 24: "Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri)
di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu".
Syaikh
al-Majlisy dalam bukunya Mir'atul 'Uqul (20/225) mengatakan bahwa hadits
tersebut adalah Hadits Hasan. Hanya saja, menurut penilaian Ahmad Haris Suhaimy
dalam bukunya Tautsiq as-Sunnah, bahwa hadits tersebut adalah hadits sangat
lemah karena di dalamnya ada rawi yang bernama Sahl bin Ziyad yang terkenal
sebagai rawi pendusta dan pembuat hadits maudhu'. Demikian juga di dalam hadits
tersebut ada rawi yang bernama Ali bin Ibrahim yang terkenal sebagai rawi yang
akidahnya tidak benar karena pernah mengadakan perubahan beberapa kata dan ayat
dalam al-Qur'an. Apabila penilaian ini benar, maka hadits tersebut tentu hadits
Dhaif dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
2.Dalam
buku al-Istibshar bab "Bolehnya Nikah Mut'ah" (Tahlil al-Mut'ah) imam
at-Tusy, seorang tokoh syiah terkenal menukil riwayat di bawah ini yang menjadi
dalil bolehnya Nikah Mut'ah
عن
محمد بن يعقوب الكليني عن محمد بن يحيى عن عبد الله بن محمد عن علي بن الحكم عن أبان
بن عثمان, عن أبي مريم عن أبي عبد الله قال: المتعة نزل بها القرآن وجرت بها السنة
من رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Artinya:
"Abu Maryam dari Abu Abdullah berkata: "Nikah Mut'ah itu dibolehkan
karena ada dalilnya dalam al-Qur'an, termasuk diperbolehkan oleh Sunnah
Rasulullah saw".
Hanya
saja, hadits ini dinilai sebagai hadits Majhul oleh Syaikh al-Majlisy dalam
bukunya Miratul 'Uqul (20/228). Boleh jadi ke Majhulan hadits tersebut
disebabkan rawi yang bernama Abu Abdullah yang merupakan ayahnya dari Abu
Maryam adalah hanya nama saja dan tidak ada orangnya. Bila penilaian ini benar,
maka lagi-lagi hadits ini tidak dapat dijadikan dalil, karena kedhaifannya.
3.
Dalam buku al-Istibshar (3/211 hadits nomor 543) dan Tahdzibil Ahkam (7/223
hadits nomor 1077) Imam at-Tusy menukil riwayat di bawah ini dan riwayat ini
dijadikan dalil oleh Taufik al-Fakiky bahwa dalam Nikah Mut'ah tidak
disyaratkan saksi dan tidak perlu diumumkan, keduanya hanya sunnat saja :
عن
زرارة قال: سألت أبا عبد الله عن رجل تزوج متعة بغير شهود, قال: لا بأس بالتزويج البتة
بغير شهود فيما بينه وبين الله, وإنما الشهود فى تزويج البتة من أجل الولد, ولولا ذلك
لم يكن به بأس.
Artinya:
"Zarrarah berkata: "Saya bertanya kepada Abu Abdullah tentang seorang
laki-laki yang melakukan Nikah Mut'ah akan tetapi tidak memakai saksi. Abu
Abdallah menjawab: 'Tidak apa-apa menikah tanpa saksi karena hal itu dilakukan
antara dia dengan Allah. Saksi itu diharuskan untuk pernikahan yang dimaksudkan
untuk memperoleh keturunan (anak), selain pernikahan untuk memperoleh
keturunan, maka tidak mengapa tidak memakai saksi sekalipun".
Hanya
saja, lagi-lagi riwayat ini tidak sah lantaran Dhaif karena di dalamnya ada
raawi yang bernama Zarrarah bin A'yun, seorang rawi yang terkenal suka berdusta
dan memiliki perangai tidak baik, tidak shaleh. Karena dhaifnya itu, maka
hadits ini pun tidak dapat dijadikan dalil.
Dari
penelitian dan bacaan penulis, penulis menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat yang
dijadikan dalil kebolehan Nikah Mut'ah ini semuanya adalah hadits-hadits Dhaif
yang kedhaifannya dalam derajat yang sangat parah. Kedhaifannya bukan
menyangkut kurang mantapnya hafalan rawi, akan tetapi menyangkut pribadi rawi
yang mempunyai akhlak yang tidak bagus, seperti pembohong, suka berbuat
pemalsuan dan sebagainya, sehingga sekalipun banyak riwayat dhaif tersebut,
tidak bisa saling menguatkan dan tidak bisa naik derajatnya. Wallahu 'alam.
4. At-Tusy juga dalam bukunya al-Gaibah
(halaman 70) menuturkan riwayat di bawah ini:
عن
أبي عبد الله سئل: البكر تتزوج متعة؟ قال: لا بأس ما لم يفتضها. وفى رواية: سأله الحلبي
عن التمتع بالأبكار إذا كانت بين أبويها بلا إذنهما, قال: لا بأس ما لم يفتض
Artinya:
"Abu Abdullah ditanya: "Apakah gadis juga boleh dinikahi
Mut'ah?" Abu Abdullah menjawab: "Boleh, selama tidak dipecahkan
keperawanannya". Dalam riwayat lain disebutkan: "Abu Abdullah ditanya
oleh al-Halaby tentang Nikah Mut'ah dengan gadis tanpa idzin orang tuanya dan
orang tuanya itu masih hidup, Abu Abdullah menjawab: "Tidak mengapa,
selama tidak dipecahkan keperawanannya".
Selain
berdasarkan riwayat-riwayat yang hanya berputar di kalangan Syi'ah saja, mereka
juga berdalil lain bahwa, menurut mereka Asma' binti Abi Bakar pun melakukan
Nikah Mut'ah.
Taufiq
al-Fakiky masih dalam bukunya, al-Mut'ah wa Atsaruha fil Ishlah al-Ijtimaiy
(halaman 58-59) menulis seperti di bawah ini:
ومن
الأخبار المقطوع بها أيضا ما رواه الراغب الأصبهاني فى كتابه الموسوم بالمحاضرات....فإنه
ذكر فى كتابه المذكور ج 2 منه بعبارته الآتية: ((إن عبد الله بن الزبير عير ابن عباس
بتحليله المتعة, فقال له ابن عباس: سل أمك كيف سطعت المجامر بينها وبين أبيك, فسألها,
فقالت: والله ما ولدتك إلا بالمتعة)).
Artinya:
"Di antara dalil qath'i lainnya akan kebolehan Nikah Mut'ah ini adalah apa
yang disampaikan oleh ar-Ragib al-Ashbahany dalam bukunya: al-Mausuum bil
Muhadharaat….ia menyebutkan dalam bukunya itu juz 7 dengan bahasa seperti ini:
"Abdullah bin Zubair ngotot dan menyerang pendapat Ibn Abbas yang
membolehkan Nikah Mut'ah, Ibnu Abbas lalu berkata kepadanya: "Untuk lebih
jelasnya, tanya saja ibu kamu tentang pernikahan yang terjadi antara dia dengan
bapak kamu". Abdullah bin Zubair lalu bertanya kepada ibunya, Asma bint
Abi Bakar, dan Asma menjawab: "Demi
Allah, saya tidak melahirkan kamu melainkan karena hasil Nikah Mut'ah).
Ada
beberapa catatan yang hendak penulis sampaikan kepada Taufik al-Fakiky
sehubungan dengan riwayat di atas:
Pertama,
hadits ini memang diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya
dengan banyak jalan, hanya saja, bukan menyangkut Nikah Mut'ah akan tetapi
menyangkut Haji Tamattu'. Untuk lebih jelasnya berikut hadits di maksud:
عن
مجاهد قال: قال عبد الله بن الزبير: ((أفردوا بالحج ودعوا قول هذا (يعنى ابن عباس),
فقال ابن عباس: ((ألا تسأل أمك عن هذا؟ )) فأرسل إليها, فقالت: صدق ابن عباس, والله
ما ولدتك إلا بالمتعة [رواه أحمد]
Artinya:
"Abdullah bin Zubair berkata: "Lakukanlah haji Ifrad dan jangan
pedulikan perkataan orang ini (yakni Ibnu Abbas yang menyuruh melakukan haji
Tamattu'). Ibnu Abbas lalu berkata: "Kenapa kamu tidak tanya dulu ke ibu
kamu?" Abdullah bin Zubair mengutus orang untuk bertanya kepadanya, dan
Asma menjawab: "Betul apa yang diucapkan Ibn Abbas, dan demi Allah saya
tidak melahirkan kamu kecuali saat melakukan haji Tamattu'" (HR. Ahmad).
Oleh
karena itu, pemahaman dari Taufik al-Fakiky sangat tidak tepat. Penulis tidak
tahu apakah ini karena ketidaktahuannya ataukah sengaja untuk memutar balikkan
antara kebenaran dengan kebatilan atau sebaliknya? Apabila yang terakhir ini
benar, maka semoga ia segera bertaubat.
Kedua,
apabila kita menelusuri buku-buku kisah dan sejarah, semua akan mendapatkan
bahwa Zubair bin Awwam menikahi Asma bint Abi Bakar dalam keadaan masih gadis
dengan pernikahan sah, bukan dengan Mut'ah, dan setelah Zubair meninggal, Asma'
tidak menikah lagi dengan laki-laki lain.
Ketiga,
Asma bint Abi Bakar tidak melahirkan putranya Abdullah ini melainkan di Quba
(sebelum Hijrah), dan Abdullah adalah orang yang pertama kali dilahirkan dalam
ajaran Islam. Sementara Nikah Mut'ah tidak didapatkan melainkan setelah
Rasulullah saw hijrah ke Madinah dan sebelum terjadinya perang Khaibar. Oleh
karena itu, pernikahan Asma dengan Zubair bin Awam adalah pernikahan yang sah
untuk selamanya, bukan Nikah Mut'ah.
Keempat,
ketika penulis lihat dalam buku ar-Ragib al-Asbahany, Muhadharat al-Udaba wa
Muhawaraat asy-Syu'araa (3/214), memang didapatkan kisah di atas sebagaimana
ditulis Taufiq, hanya saja, ar-Ragib sendiri mengatkaan bahwa kisah itu tidak
ada sanad yang sah. Kisah itu hanya untuk bahan canda para sastrawan saja dan
bukan untuk hal yang serius. Terlebih ar-Ragib sendiri tidak mengakui riwayat
tersebut hanya mengutarakan apa yang menjadi di antara bahan canda dan lelucon
para sastrawan. Apalagi, sebagaimana telah penulis sampaikan di atas, bahwa
pemahaman hadits di atas tidak tepat, karena menyangkut Haji Tamattu', bukan
Nikah Mut'ah.
Selain
itu, di antara ulama syi'ah juga beralasan akan kebolehan Nikah Mut'ah ini
berdasarkan pendapat Ibnu Abbas, yang menurut mereka, membolehkan Nikah Mut'ah
selama hidupnya.
Hal
ini misalnya sebagaimana dikatakan oleh tokoh Syi'ah yang bernama al-Khau'iy
dalam bukunya, al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an (halaman 315): "Sesungguhnya
Ibnu Abbas tetap berpendapat bolehnya Nikah Mut'ah sepanjang hidupnya".
Penulis
menanyakan kebenaran pendapat al-Khau'iy di atas. Penulis merasa ada hal yang
sangat ganjil. Mengapa? Karena, menurut jumhur ulama Syi'ah, Ibnu Abbas
termasuk orang 'awam yang tidak dapat dipercaya hadits dan pendapatnya. Bahkan,
mereka menilai Ibnu Abbas orang yang tercela dalam beragama dan keamanahannya.
Mereka juga menuduh Ibnu Abbas, dalam kesempatan lain, telah mencuri harta
sebanyak puluhan juta dirham dari Baitul Mal kecuali ia menjadi gubernur di
Bashrah sebelum Imam Ali naik jabatan. Bagaimana seseorang yang dipercaya
bahkan dipandang rendah, kemudian pendapatnya malah dijadikan acuan? Bukankah
ini sesuatu yang sangat ganjil?
Selain
itu, perlu penulis sampaikan bahwa Ibnu Abbas memang pernah berpendapat
halalnya Nikah Mut'ah, hanya saja, ia telah menarik pendapatnya itu, dan
kembali ikut dengan pendapat Jumhur Ulama, akan haramnya Nikah Mut'ah.
Di
antara dalil kembalinya Ibnu Abbas dari pendapat semula yang menghalalkan Nikah
Mut'ah menjadi mengharamkannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Turmudzi di bawah ini:
عن
ابن عباس قال: إنما كانت المتعة فى أول الإسلام, كان الرجل يقدم البلدة ليس له بها
معرفة, فيتزوج المرأة بقدر ما يرى أنه مقيم, فتحفظ له متاعه, وتصلح له شأنه, حتى إذا
نزلت الآية [إلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ
غَيْرُ مَلُومِينَ] [المؤمنون: 6], قال ان عباس: فكل فرج سواهما حرام [رواه الترمذي]
Artinya:
"Ibnu Abbas berkata: "Nikah Mut'ah hanya dihalalkan pada awal Islam
saja, yakni ketika seorang laki-laki mendatangi sebuah negeri, lalu dia tidak
mengetahui apa-apa tentang negeri tersebut, karenanya ia menikah dengan seorang
perempuan dengan lama pernikahan selama ia menetap di negeri itu, sehingga
wanita itu turut menjaga hartanya, dan menjaga, peduli keadaannya. Ketika turun
firman Allah dalam surat al-Mukminun ayat 6: "Kecuali terhadap istri-istri
mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada terceIa". Ibnu Abbas berkata: "Semua kemaluan wanita selain dua
hal tadi hukumnya haram" (HR. Turmudzi).
Sehubungan
dengan hadits di atas, Syaikh Mubarkafuri dalam syarahnya, Tuhfatul Ahwadzi
(4/226) mengatakan:
فلم
يبق اليوم فى ذلك خلاف بين فقهاء الأمصار وأئمة الأمة إلا شيئا ذهب إليه بعض الشيعة.
ويرى بعضهم أن ابن عباس ما كان يرى حلها على الإطلاق, وإنما تحل كما تحل الميتة والدم
ولحم الخنزير للمضطر.
Apabila
penulis mencoba membaca buku-buku primer Syi'ah khususnya buku Wasail
asy-Syi'ah, mendapatkan ada 46 bab yang membahas mengenai Nikah Mut'ah.
Hasilnya, bukan saja halal, boleh, akan tetapi sampai mengatakan wajib untuk
melakukan Nikah Mut'ah ini. Sebagian nash nya, penulis kutip misalnya ketika
dikatakan:
ليس
منا من لم يؤمن بكرتنا ولم يستحل متعتنا
Artinya:
"Tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak mempercayai gadis-gadis
kami, dan tidak menghalalkan Nikah Mut'ah kami".
Bahkan,
ada riwayat juga yang artinya: Abu Ja'far, salah seorang tokoh Syi'ah,
mengatakan: "Sesungguhnya Nabi Muhammad saw ketika melakukan Isra, beliau
bersabda: "Jibril menemaniku sambil berkata: "Wahai Muhammad,
sesungguhnya Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan mengampuni dosa-dosa
ummatmu yang perempuan yang melakukan Nikah Mut'ah".
Riwayat
lain juga dikatakan, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda--dan tentu ini adalah
sebuah kebohongan karena Rasulullah saw tidak mengatakannya--:
"Barangsiapa yang melakukan Nikah Mut'ah satu kali, maka derajatnya sama
dengan derajat Imam Husain. Siapa yang melakukannya dua kali, maka derajatnya
sama dengan derajat Imam Hasan. Siapa yang melakukannya tiga kali, sama dengan
derajat Imam Ali bin Abi Thalib. Siapa yang melakukannya empat kali, maka
derajatnya sama dengan derajatku".
Syi'ah
Imamiyyah juga membolehkan melakukan Nikah Mut'ah dengan gadis kecil, tanpa
idzin dari walinya apabila usia gadis tersebut minimal sembilan tahun. Bahkan
selain itu, penulis mendapatkan dalam buku Wasail asy-Syi'ah (14/458-459)
sebuah bab yang mengatakan: "Bab tidak haramnya melakukan Nikah Mut'ah
dengan wanita tuna susila, pelacur, dan di dalamnya ada lima hadits". Dan
fatwa ini dikeluarkan oleh para imam Syiah di antaranya oleh at-Tusy.
Di
samping itu, mereka juga membolehkan melakukan Nikah Mut'ah dengan wanita dalam
jumlah tidak terbatas. Dalam salah satu teksnya yang penulis ambil dari buku
al-Kafi (5/451) bab Innahunna Bimanzilati al-Iimaa wa Lasna Minal Arba' (Mereka
wanita yang dinikahi mut'ah itu sama dengan budah karenanya tidak termasuk
isteri yang hanya empat):
المتعة
ليست من الاربع لأنها لا تطلق ولا ترث وإنما هي مستأجرة. وفى رواية: تزوج منهن ألفا
فإنهن مستأجرات.
Artinya:
"Wanita yang dinikahi Mut'ah tidak termasuk isteri yang empat, karena mereka
tidak ada talak, dan tidak saling mewaritsi. Dia hanyalah wanita-wanita yang
disewa. Dalam riwayat lain disebutkan: "Nikahi mereka sekalipun dalam
jumlah seribu, karena mereka adalah sewaan semua".
Dari
pemaparan di atas, tentu para pembaca, bahkan anak kecil yang akalnya sehat pun
dapat menilai bagaimana hukum Nikah Mut'ah ini. Jangankan secara syar'i, secara
akal sehat pun tentu para pembaca akan mengatakan bahwa Nikah Mut'ah adalah
nikah yang haram hukumnya. Ia tidak lain adalah perbuatan zina yang dibungkus
atas dasar syar'i. Kini mari kita lihat bagaimana para ulamma Sunni melihat
masalah ini.
Pendapat
ulama Sunni tentang Nikah Mut'ah
Para
ulama ahlus Sunnah (selanjutnya disingkat Sunni) tidak mengingkari bahwa Nikah
Mut'ah pernah dihalalkan dalam beberapa keadaan sangat darurat pada masa
Rasulullah saw. Apabila kita membaca dan mengikuti hadits-hadits yang berbicara
kebolehan Nikah Mut'ah dahulu bukan ketika berada di tempat Negara sendiri,
normal, akan tetapi ketika peperangan atau sedang mengadakan perjalanan sangat
jauh dan lama, kemudian sangat dikhawatirkan terjadinya perbuatan zina. Maka
ketika itu dan dalam keadaan seperti itulah Nikah Mut'ah dahulu diperbolehkan.
Kemudian tidak lama setelah itu, Nikah Mut'ah diharamkan untuk selamanya.
Hanya,
para ulama berbeda pendapat mengenai kapan tanggal diharamkannya Nikah Mut'ah
ini. Imam Ali berpendapat bahwasannya ia diharamkan pada perang Khibar. Imam
al-Hazimy berpendapat, ia diharamkan ketika Haji Wada'. Dalam hadits riwayat
Imam Muslim disebutkan, Nikah Mut'ah diharamkan pada saat penaklukan kota
Mekah.
Terlepas
dari itu semua, yang jelas Nikah Mut'ah ini diharamkan dua kali artinya ia
pernah dihalalkan sebelum perang Khaibar, kemudian diharamkan pada saat perang
Khaibar, kemudian dihalalkan lagi pada saat penaklukan kota Mekah selama tiga
hari, setelah itu diharamkan lagi untuk selamanya.
Dalam
sebuah hadits riwayat Ibnu Majah dengan sanad Shahih disebutkan: "Ibnu
Umar berkata: "Ketika Umar bin Khatab menjadi khalifah dan ia memberikan
sambutan, ia berkata: "Sesungguhnya Rasulullah saw membolehkan untuk kita
Nikah Mut'ah selama tiga hari kemudian beliau mengharamkannya. Demi Allah,
tidak ada satupun orang yang telah menikah lalu melakukan Nikah Mut'ah, kecuali
aku akan merajamnya dengan batu. Kecuali jika dia membawa empat orang saksi
yang menyaksikan bahwasannya Rasulullah saw telah menghalalkannya lagi setelah
diharamkan untuk selamanya".
Bahkan,
Imam al-Qurthubi dalam bukunya al-Jami' li Ahkamil Qur'an (5/86) mengatakan
bahwa hadits yang mengharamkan Nikah Mut'ah ini sumbernya dari Imam Ali bin Abi
Thalib ketika ia berkata: "Dari Ali bin Abi Thalib ia berkata:
"Rasulullah saw melarang Nikah Mut'ah". Imam Ali berkata kembali:
'Nikah Mut'ah dibolehkan dahulu bagi yang tidak mendapatkan isterinya (ketika
sedang bepergian jauh dan lama atau ketika sedang perang sangat lama). Ketika
turun ayat tentang nikah, talak, iddah, warits antara suami isteri, maka
kebolehan Nikah Mut'ah itu dihapus. Imam Ali juga pernah berkata: 'Puasa
Ramadhan menghapus semua puasa, zakat menghapus semua shadaqah, thalak, iddah
dan waritsan menghapus Nikah Mut'ah, kurbah menghapuskan semua kurban lainnya.
Ibnu Mas'ud juga berkata: "Nikah Mut'ah telah dihapus kebolehannya yaitu
dihapuskan oleh ayat tentang thalak, iddah dan waritsan".
Dengan
demikian, Nikah Mut'ah pernah dibolehkan, kemudian diharamkan, kemudian
dibolehkan lagi, kemudian diharamkan untuk selamanya. Karenanya, Imam Syafi'I
pernah berkata:
لا
أعلم شيئا حرم ثم أبيح, ثم حرم إلا المتعة
Artinya:
"Saya tidak mengetahui satu pun masalah yang diharamkan kemudian
dibolehkan, kemudian diharamkan lagi selain Nikah Mut'ah".
Dalam
hal ini, Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslimnya (9/181) mengatakan:
والصواب
المختار أن التحريم والإباحة كانا مرتين, فكانت حلالا قبل خيبر, ثم حرمت يوم خيبر,
ثم أبيحت يوم فتح مكة, وهو يوم أوطاس لاتصالهما, ثم حرمت يومئذ بعد ثلاثة أيام تحريما
مؤبدا إلى يوم القيامة, واستمر التحريم, ولا يجوز أن يقال إن الإباحة مختصة بما قبل
خيبر, والتحريم يوم خيبرللتأبيد,وأن الذي كان يوم الفتح مجرد توكيد التحريم, من غير
تقدم إباحة يوم الفتح....لأن الروايات التى ذكرها مسلم فى الإباحة يوم الفتح صريحة,
فلا يجوز إسقاطها, ولا مانع يمنع تكرير الإباحة, والله أعلم.
Hadits-hadits
haramnya Nikah Mut'ah
Di
antara hadits-hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama Sunnah adalah:
حدثنا
مالك بن إسماعيل حدثنا ابن عيينة أنه سمع الزهري يقول: أخبرني الحسن بن محمد بن علي وأخوه عبد الله عن أبيهما
أن عليا قال لابن عباس: إن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن المتعة وعن لحوم الحمر
الأهلية زمن خيبر [رواه البخاري]
Artinya:
"Imam Ali pernah berkata kepada Ibnu Abbas: "Rasulullah saw melarang
Nikah Mut'ah dan memakan daging keledai negeri pada masa Khaibar" (HR.
Bukhari).
عن
علي بن أبي طالب أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن متعة النساء يوم خيبر وعن
أكل لحوم الحمر الإنسية [رواه مسلم]
Artinya:
'Dari Ali bin Abi Thalib bahwasannya Rasulullah saw pada hari Khaibar melarang
Nikah Mut'ah dan memakan daging keledai jinak' (HR. Muslim).
عن
زيد بن علي عن أبيه عن جده عن علي قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نكاح المتعة
عام خيبر [مسند الإمام زيد]
Artinya:
"Imam Zaid bin Ali dari bapaknya, dari kakeknya dari Ali bin Abi Thalib
berkata: "Rasulullah saw melarang Nikah Mut'ah pada hari Khaibar"
(Diambil dari Musnad Imam Zaid).
Sehubungan
hadits di atas, mu'alliq (komentator) kitab Musnad Imam Zaid tersebut berkata:
قال
معلق كتاب مسند الإمام زيد: (روي عن الإمام
الشهيد زيد بن علي عليهما السلام أنه سئل عن المتعة, فقال: المتعة مثل الميتة والدم
ولحم الخنزير. وسئل عنها, فقال: رخصة نزل بها القرآن وحرمها لما نزلت العدة والمواريث.
وهذا إجماع أهل البيت, فقيل: يا اب رسول الله صلى الله عليه عليه وآله وسلم: وما الذي
نسخها, فقال: قوله تعالى: [والذين هم لفروجهم حافظون. إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم
فإنهم غير ملومين. فمن ابتغى وراء ذلك فأولئك هم العادون]...فلم يستثن الله تعالى إلا
الزوجة أو ملك يمين فقط...) [مسند الإمام زيد: ص 304-305].
عن
إياس بن سلمة عن أبيه قال: رخص رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أوطاس فى المتعة ثلاثة
أيام ثم نهى عنها [رواه مسلم]
Artinya:
"Iyas bin Salmah dari ayahnya berkata: "Rasulullah saw memberikan
keringanan Nikah Mut'ah selama tiga hari pada tahun Authas kemudian
melarangnya" (HR. Muslim).
Demikian
di antara sebagian kecil dalil-dalil
yang mengharamkan Nikah Mut'ah ini. Mengingat keterbatasan makalah,
penulis tidak memuat lebih banyak lagi hadits-haditsnya.
Hanya,
para ulama berbeda pendapat mengenai apakah pelaku Nikah Mut'ah tersebut harus
diberi hukuman had sebagaimana pezina?
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Sebagian ulama mengatakan
harus di had, sebagian lain mengatakan tidak.
Umar
bin Khatab dan Ibn Zubair berpendapat bahwa pelakunya harus di hukum had
sebagaimana pezina karena mereka
hakikatnya berbuat zina. Pendapat ini juga merupakan salah satu pendapat dari
Imam Malik.
Sedangkan
Syafi'iyyah, Hanafiyyah dan sebagian besar fuqaha berpendapat bahwa pelakunya
tidak wajib dihukum had, sekalipun mereka mengharamkan perbuatan tersebut.
Mereka berpendapat demikian karena dinilai ada keraguan (syubhat) dalam akadnya
dan termasuk keraguan dalam perbedaan pendapatnya (untuk lebih lanjut dapat
dilihat dalam Syarh Muslim karya Imam Nawawi (9/181), Tafsir al-Alusy (5/7). Di
antara dalil tidak wajibnya had bagi pelaku Nikah Mut'ah ini adalah hadits
Rasulullah saw yang berbunyi:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ادرؤوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم, فإن وجدتم
للمسلم مخرجا فخلوا سبيله, فإن الإمام لأن يخطئ فى العفو خير من أن يخطئ فى العقوبة))
[رواه الترمذي والحاكم إلا أن فى صحته كلام]
Artinya:
"Rasulullah saw bersabda: "Tinggalkan hukuman had semampu mungkin
dari orang-orang Islam. Bila kalian menemukan celah untuk membebaskan (dari
hukumannya), maka bebaskanlah, karena seorang pemimpin (imam) salah dalam
memaafkan lebih baik dari pada salah dalam menghukum" (HR. Turmudzi dan
Hakim, hanya hadits ini diperdebatkan keshahihannya).
Hanya,
hemat penulis, pendapat terakhir ini tidak konsisten dan terkesan tidak tegas.
Bagaimana sesuatu yang jelas dihukumi haram, tapi ketika mau menghukumnya
dikatakan sebagai sesuatu yang samar semata karena keraguan dalam akad? Hemat
penulis, syubuhat tersebut bukan untuk sesuatu yang jelas haram akan tetapi
yang hukum asalnya pun diperdebatkan. Misalnya, ketika seseorang dituduh
berzina, namun saksi tidak melihat dengan mata kepala sendiri keduanya
melakukan hubungan badan, maka untuk seperti ini, tuduhan zina nya pun batal
dan tentu tidak ada had, karena hukumnya pun masih diperdebatkan, ragu.
Namun,
berbeda dengan Nikah Mut'ah yang sudah
jelas haram dan semua sudah mengakui keharamannya. Tentu sesuatu yang haram
tidak ada lagi syubuhat di dalamnya. Dan ketika tidak ada lagi syubuhat
(keraguan) di dalamnya, maka tentu harus dihukum sesuai dengan perbuatannya
itu. Karena itu, penulis sangat sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Umar
bin Khatab. Wallahu 'alam.
Nikah
'Urfi
Nikah
'Urfi atau az-Zawaj al-'urfi adalah model pernikahan yang muncul baru-baru ini.
Di Mesir, sepengetahuan penulis, jenis nikah ini muncul baru-baru ini sekitar
sepuluh atau lima belas tahun ke belakang. Dan para pengkaji juga sangat beragam ketika
mendefinisikan apa itu nikah 'Urfi tersebut. Sebagian mengatakan nikah 'Urfi
adalah nikah yang memenuhi syarat rukun sebuah pernikahan, hanya saja tidak
dicatat secara resmi di badan resmi Negara (apabila definisi seperti ini maka
ia sama dengan Nikah Sirri, sebagaimana akan dijelaskan dibawah nanti).
Sebagian
lagi mendefinisikan bahwa nikah 'Urfi adalah nikah yang dilakukan seorang
laki-laki dengan seorang perempuan tanpa wali, tanpa diumumkan, bahkan terkadang
tanpa saksi.
Syaikh
Azhar, Prof Dr. Sayyid Thanthawi misalnya mengartikan Nikah 'Urfi tersebut
dengan:
فالزواج العرفي زواج تتوافر فيه جميع الأركان
الشرعية, من إيجاب وقبول, ومهر وعقد وولي وشهود, ما عدا التوثيق
Artinya:
'Nikah 'Urfi adalah pernikahan yang memenuhi segala rukun pernikahan mulai dari
ijab qabul, mas kawin, 'akad, wali, saksi, hanya saja tidak dicatat secara
resmi oleh badan pemerintah".
Namun,
berikutnya Syaikh Azhar mengatakan: "Namun, apabila nikah 'Urfi ini
seperti yang terjadi belakangan ini yang
banyak terjadi di lingkungan kampus, yakni mahasiswa menikah dengan mahasiswi
tanpa sepengetahuan keluarga masing-masing, tanpa memenuhi syarat dan rukun
nikah, maka hal itu adalah zina".
Selain
Syaikh Azhar, para ulama Azhar lainnya pun hamper senada dengannya. Dari sini
penulis mencoba menyimpulkan, bahwa sesungguhnya pengertian asal dari nikah
'Urfi itu adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Azhar, hanya dalam
perkembangannya, berubah arti.
Nikah
'urfi tidak lagi seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Azhar, akan tetapi
menjadi semacam perbuatan zina, karena tidak memenuhi syarat dan rukun nikah.
Dalam perkembangannya nikah 'Urfi adalah pernikahan antara pemuda dengan pemudi
(terutama mahasiswa mahasiswi di lingkungan kampus), tanpa saksi, tanpa wali,
tanpa diumumkan. Dan apabila ini yang dimaksud, maka jelas hal tersebut haram
hukumnya, dan sama dengan zina.
Karena
jumhur ulama, dengan mengacu kepada hadits-hadits Shahih, telah menetapkan
rukun dan syarat pernikahan yang sah itu apabila memenuhi lima persyaratan
lengkap di bawah ini:
1) Ada Ijab dan Qabul, juga ada kerelaan
antara kedua calon mempelai, tanpa ada paksaan.
Di
antara syarat Ijab Qabul bahwa dalam akad ijab qabul tersebut harus menggunakan
kata-kata yang tidak dibatasi untuk
waktu tertentu, akan tetapi harus untuk selamanya.
2) Ada wali perempuan yang menikahkannya.
Para
ulama berbeda pendapat dalam hal siapa yang lebih berhak di antara wali-wali
tersebut.
Menurut
Hanafiyyah, bahwa wali yang lebih berhak itu adalah urutannya sebagai
berikut: semua anak laki-laki si wanita
tersebut kemudian anak laki-laki dari anak laki-laki wanita tadi, kemudian
bapak, kakek, saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman
kemudian anak laki-laki dari paman.
Sedangkan
urutannya menurut Malikiyyah adalah: Anak laki-laki wanita tersebut, anak
laki-laki dari anak laki-laki wanita tadi, bapak, saudara laki-laki, anak
laki-laki dari saudara laki-laki, kemudian kakek.
Menurut
Syafi'iyyah, dan ini hemat penulis yang lebih kuat karena lebih mengetahui
kemaslahatan si wanita tersebut dan tentu lebih dekat keturunannya, yaitu:
bapak, kakek, saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman
kemudian anak laki-laki paman.
Dan
menurut Hanabilah adalah: bapak, kakek, anak laki-laki wanita tersebut, anak
laki-laki dari anak laki-laki wanita tadi, saudara laki-laki, anak laki-laki
dari saudara laki-laki, paman, kemudian anak laki-laki paman.
3) Disaksikan oleh dua orang saksi.
Para
ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah mensyaratkan bahwa saksi tersebut minimal
haruslah dua orang laki-laki dan mereka menolak kesaksian wanita dalam
pernikahan. Sementara menurut ulama Hanafiyyah, yang menjadi saski pernikahan
boleh seorang laki-laki ditambah dua orang perempuan (karena satu laki-laki
sama dengan dua orang perempuan). Demikian juga dengan pendapat Ibn Hazm, hanya saja, Ibn Hazm menambahkan, bahwa boleh
juga saksi pernikahan itu empat orang wanita.
4) Ada mahar atau maskawin
5) Pernikahan tersebut harus diumumkan
dengan jalan apa saja, hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw yang artinya:
"Umumkanlah pernikahan walaupun dengan rebana" (HR. Ibnu Majah dan
haditsnya Hasan).
Apabila
pernikahan itu tidak memenuhi lima persyaratan di atas, maka tidak sah. Namun,
apabila nikah 'Urfi tersebut pemahamannya sebagaimana yang diungkapkan oleh
Syaikh Azhar, maka tentu pernikahannya sah secara agama, namun belum dipandang
sah menurut Negara.
Nikah
Sirri
Sirri
artinya rahasia. Nikah Sirri dapat diartikan dengan pernikahan yang memenuhi
seluruh rukun dan syarat pernikahan, hanya saja tidak dicatat di depan petugas
resmi Negara (di Indonesia tidak di depan KUA). Dalam istilah Indonesia lebih
dikenal dengan Nikah Di Bawah Tangan.
Nikah
seperti ini tentu sah secara agama, hanya secara Negara belum dipandang telah
terjadi pernikahan. Meskipun pernikahan tersebut sah, hanya saja sebaiknya
dihindari dan tidak terjadi, karena dalam al-Qur'an pun sangat dianjurkan untuk
dicatat secara resmi, misalnya dalam firman Allah surat an-Nisa ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ
إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Artinya:
"Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat" (QS. An-Nisa: 21).
Apabila
Nikah Sirri ini terjadi maka ada beberapa kerugian yang akan dialami khususnya
oleh pihak perempuan (isteri) yaitu apabila di kemudian hari terjadi sengketa,
maka dia tidak bisa mengajukan persoalan tersebut ke pengadilan Agama, karena
pengadilan Agama akan menilai tidak terjadi pernikahan. Untuk itu, sedapat
mungkin, Nikah Sirri ini dihindari dan tidak dilakukan, sekalipun sah secara
agama. Wallahu 'alam. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar