Pendahuluan
Perubahan-perubahan yang terjadi pada entitas-entitas di alam materi ini
merupakan fenomena yang sangat jelas dan tak mungkin diragukan apalagi diingkari.
Dengan mudah kita dapat menyaksikan fenomena-fenomena tersebut.
Fenomena-fenomena di alam materi ini senantiasa berubah-ubah dari satu kondisi
menuju kondisi lain dan dari satu kualitas menuju kualitas yang lain. Kita
menyaksikan tanaman didepan rumah kita tumbuh secara perlahan-lahan. Warna daun
berubah secara perlahan-lahan. Apa sebenarnya rahasia di balik
perubahan-perubahan ini ? apa saja syarat-syarat yang ada di dalam perubahan
tersebut ? para ilmuan berusaha untuk mengungkap rahasia-rahasia dibalik
perubahan-perubahan ini dan sebagian dari persoalan tersebut berhasil diungkap
oleh para ilmuan.
Dalam mengungkap rahasia dibalik perubahan entitas-entitas materi tersebut,
filsafat mencoba memberikan pandangan dan mengungkap apa yang ada dibalik
perubahan materi tersebut melalui telaah-telaah terhadap perubahan materi.
Namun mesti diingat, apa yang menjadi fokus telaah filsafat dan sains itu
berbeda. Fokus kajian filsafat pada aspek universalnya. Maksudnya filsafat
dalam memandang sesuatu, memiliki sebuah pandangan tertentu dimana dengan
pandangan tersebut akan menghasilkan aspek keuniversalan akan sesuatu tersebut.
Sudut pandang filsafat bukan pada karekteristik tertentu yang ada pada satu
entitas tertentu, akan tetapi filsafat senantiasa mencari sesuatu yang berlaku
dalam segala entitas yang menjadi objek persoalan.
Dalam filsafat, perubahan-perubahan pada materi dipahami karena adanya aspek
aktualitas dan aspek potensialitas. Apa yang kita saksikan pada materi dengan
segala efek-efek yang keluar darinya merupakan aspek aktualitas. Namun disisi
lain, materi tersebut memiliki aspek potensialitas karena materi tersebut bisa
berubah dari satu aktualitas menuju aktualitas yang lain. Dari kayu menuju
arang dan dari arang menuju debu. Maksudnya kayu sebagai aktualitas berpotensi
untuk menjadi arang dan selanjutnya arang sebagai aktualitas berpotensi untuk
menjadi debu. Konsep ‘potensi’ dan ‘aktual’ ini adalah konsep yang tidak
didapatkan melalui indrawi. Kedua konsep tersebut didapatkan dengan proses
abstraksi, bukan didapatkan secara langsung melalui persepsi
indrawi.
Para filsuf meyakini bahwa perubahan tersebut tidak terjadi secara spontanitas.
Maksudnya perubahan itu tentu diawali sebelumnya dengan sebuah potensi, bukan
dari ketiadaan. Perubahan-perubahan pada materi diawali sebelumnya dengan
potensi dimana potensi tersebut sebagai penyiap untuk mewujudkan sebuah
aktualitas tertentu. Berdasarkan hal ini, manusia tidak mungkin menciptakan
sesuatu dari ketiadaan. Manusia senantiasa membutuhkan bahan-bahan dasar dalam
menciptakan sesuatu yang baru. Dalam filsafat, potensi tersebut disebut dengan
materi primer.
Berdasarkan pada pandangan diatas, persoalan mengenai hakikat materi, bukan
saja menjadi topik pembahasan para saintis, tapi juga menjadi topik pembahasan
para filsuf. Ilmuan saintis hingga saat ini masih menelusuri mengenai hakikat
materi sebenarnya. Karena itu dapat kita saksikan para ilmuan saintis melalui
metode eksperimentasi yang mereka lakukan, berbeda-beda dalam menggambarkan
materi.
Metode yang dilakukan
oleh para filsuf dalam membahas materi, bukan melalui metode eksperimentasi
akan tetapi melalui metode argumentasi rasional. Dalam pandangan filsuf,
pengetahuan dan makrifat bisa diperoleh melalui kaidah-kaidah universal yang
berakar dari prinsip-prinsip badihi. Menurut mereka, pengetahuan itu seharusnya
bersifat universal, niscaya, dan berlaku selamanya. Pengetahuan seperti ini
dapat diperoleh ketika pengetahuan kita sampai pada sebabnya. Berdasarkan
metode ini, para filsuf mencoba menjelaskan hakikat materi dengan perantara
akal.
Sejak zaman Aristoteles
hingga saat ini, sebagian besar filsuf meyakini bahwa materi tersusun dari dua
hal; bentuk materi (form) dan materi primer. Dalam
pandangan mereka, materi primer adalah substansi yang sama sekali tidak
memiliki aktualitas. Materi primer merupakan salah satu bagian dari materi yang
khusus menerima bentuk-bentuk materi. Oleh karena itu, karena tugas dari materi
primer ini hanya menerima bentuk saja maka di dalam dirinya tak terdapat
aktualitas sama sekali. Namun perlu diketahui bahwa tidak semua filsuf menerima
keberadaan materi primer. Sebagian filsuf menolak keberadaan materi primer,
baik itu dari kalangan filsuf klasik seperti Suhrawardi dan juga Nashiruddin
al-Thusi, maupun juga dari kalangan filsuf kontemporer seperti Syahid Murtadha
Muthahhari dan Ayatullah Misbah Yazdi.
Dalam tulisan ini, kami
akan menjelaskan argumentasi Ibn Sina dalam membuktikan keberadaan materi
primer sebagai salah satu bagian dari materi, selain dari bentuk materi.
Setelah itu kami akan menjelaskan kritikan atas argumentasi tersebut dan
selanjutnya akan menganalisa keduanya. Namun sebelum menjelaskan argumentasi
tersebut, kami akan menjelaskan beberapa peristilahan agar memudahkan kita
memahami argumentasi tersebut.
Definisi
Materi Primer
Sebelum menjelaskan
materi primer, kami akan menjelaskan makna materi (jism) terlebih
dahulu. Penjelasan ini penting karena materi dalam pandangan filsafat memiliki
beberapa istilah. Maksudnya istilah materi dalam filsafat, musytarak lafzi atau univokal. Materi memiliki dua
makna yaitu materi natural (jism al-thabi’i atau physical body) dan materi matematis (jism al-ta’limi atau mathematical body)[2].
Materi natural adalah
substansi yang mungkin diasumsikan padanya tiga dimensi yaitu panjang,
lebar, dan kedalaman. Karena itu materi natural adalah substansi ekstensien (imtidād atau extension) dalam
tiga dimensi dan merupakan salah satu pembagian dari substansi. Sedangkan
materi matematis adalah ‘ukuran’ ekstensien yang memiliki tiga dimensi. Ukuran
ekstensien tersebut yang menentukan ukuran aspek tiga dimensi. Jadi materi
matematis adalah massa atau volume yang membatasi materi natural. Oleh
karenanya materi matematis ini merupakan ekstensien aksidental. Materi natural
ini menjadi objek pembahasan ilmu-ilmu fisikal, sedangkan materi matematis
merupakan objek pembahasan geometri. Materi natural adalah ekstensien yang
ambigu (tanpa ukuran tertentu) sedangkan materi matematis merupakan ukuran
ekstensien materi natural.[3] Filsafat
parepatetik seperti Ibn Sina meyakini bahwa materi natural memiliki rangkapan.
Susunan pertama yaitu ekstensien dan kontinuitas substansi yang disebut dengan
bentuk material (shurah jismiyah), dan bagian
lainnya adalah suatu bagian yang menerima ‘bentuk material’ tersebut yang dalam
filsafat paripatetik disebut dengan materi primer.
Setelah menjelaskan
materi natural dan materi matematis, sekarang kami akan menjelaskan definisi
materi primer. Sebagaimana dipahami bahwa sebagian filsuf meyakini keberadaan
materi primer dan berusaha membuktikan keberadaan materi primer karena
keberadaan materi primer dapat menjelaskan dengan baik fenomena dan
perubahan-perubahan yang terjadi pada alam materi. Dalam kata lain, filsuf
sebelumnya menjelaskan secara filosofis mengenai perubahan-perubahan alam
materi melalui materi primer. Namun ada satu pertanyaan mendasar dalam
persoalan ini yaitu apakah perubahan sebuah unsur ketika berubah pada sesuatu secara
totalitas unsur tersebut sirna dan digantikan oleh unsur lain tanpa memiliki
kaitan sama sekali dengan unsur sebelumnya atau tidak ?
Dalam menjawab
persoalan ini Aristoteles dan juga termasuk Ibn Sina meyakini akan adanya suatu
potensi dalam materi dimana potensi inilah yang bertugas untuk menerima
bentuk-bentuk baru pada materi. Oleh karena itu, jika kita dapat membuktikan
keberadaan materi primer maka kita dapat menjelaskan dengan baik
perubahan-perubahan yang terjadi pada alam materi.
Dalam mendefinisikan
materi primer, kita tidak bisa mendefinisikan materi primer melalui genus dan
difrensianya karena materi primer itu sederhana (simple). Maksudnya
karena materi primer ini hanya potensi dan sama sekali tidak ada aktualnya
sehingga dalam dirinya tidak memiliki rangkapan, dan karena didalam dirinya
tidak memiliki rangkapan sehingga materi primer tidak memiliki genus dan
difrensia. Oleh karenanya kita tidak bisa mendefinisikan materi primer melalui
genus dan difrensia, contohnya warna putih, karena warna putih ini sederhana (simple) sehingga kita tidak bisa mendefinisikan warna
putih ini dengan genus dan difrensia.
Definisi yang biasa
digunakan dalam menjelaskan materi primer yaitu “sebuah substansi sebagai wadah
dalam menerima bentuk-bentuk dan aksiden-aksiden material dimana wadah
atau potensi tersebut tidak memiliki aktualitas sama sekali. Dalam kata lain,
materi primer adalah bagian dari materi yang murni potensi dan tidak memiliki
aktualitas sama sekali, dan satu-satunya aktualitasnya adalah ketidak-aktualitasannya.
Kemudian karena materi itu substansi maka materi primer pun adalah substansi
sebab materi primer merupakan bagian dari materi dan bagian itu adalah komponen
dasar (muqawwim) bagi keseluruhan, dan entitas aksiden tidak
mungkin bisa menjadi komponen dasar bagi sebuah substansi. Oleh karena itu,
materi primer adalah potensi substansi yang jika dinisbahkan padanya potensi
eksiden seperti relasi antara materi natural (thabi’i) terhadap
materi matematis (ta’limi)”[4].
Dari definisi diatas,
ciri yang tergambarkan dari materi pertama yaitu substansi dan potensi. Disini
perlu kami jelaskan maksud dari potensi dalam pembahasan ini, karena potensi
memiliki ragam makna. Pada umumnya potensi dimaknai sebagai kekuatan atau
kemampuan manusia dalam melakukan tindakan-tindakan yang sulit dan berat.
Potensi dalam pemaknaan seperti ini biasanya diperlawankan dengan ‘lemah’.
Makna lainnya yaitu kemampuan yang ada didalam diri manusia untuk dikembangkan
lebih jauh. Potensi dalam pemaknaan ini, sama dengan makna bakat yang dimiliki
oleh manusia dimana manusia dapat mengembangkan bakatnya lebih jauh.
Makna lain dari potensi
sebagai istilah yang digunakan dalam pembahasan ini yaitu potensi yang
diperlawankan dengan aktualitas. Ketika kita mengatakan wujud tersebut aktual
dan memiliki aktualitas, maksud dari aktual disini yaitu wujud tersebut
memiliki efek tertentu yang muncul darinya. Misalnya ketika kita mengatakan
pohon mangga ini telah ada secara aktual, maksudnya suatu wujud telah eksis
dimana wujud tersebut memiliki seluruh efek-efek pohon mangga secara hakiki.
Dalam kata lain, pohon mangga tersebut benar-benar telah aktual saat ini. Namun
ketika kita mengatakan bahwa sesuatu itu ada secara potensi, maksudnya terdapat
sesuatu dimana sesuatu tersebut dapat berubah pada sesuatu yang lain. Sesuatu
tersebut memungkinkan di dalam dirinya untuk aktual. Misalnya pada biji mangga
secara potensi adalah pohon mangga. Maksudnya saat ini secara objektif memang
benar-benar tidak ada pohon mangga, akan tetapi pada biji mangga terdapat
sebuah potensi yang dapat berubah menjadi pohon mangga. Dari biji mangga, dapat
muncul darinya pohon mangga sehingga bisa dikatakan pohon mangga secara potensi
ada pada biji mangga. Karena itu potensi dalam pembahasan ini yaitu potensi
yang senantiasa diperhadapkan atau diperlawankan dengan aktual, dan yang
dimaksud dengan aktual yaitu realitas eksistensi eksternal yang darinya muncul
efek-efek tertentu.
Pada definisi
sebelumnya dijelaskan bahwa materi primer adalah sebuah wadah (materi yang
murni potensi tanpa aktualitas sama sekali) dalam menerima bentuk-bentuk baru.
Jika materi primer ini digabungkan dengan bentuk material (shurah jismiyah) maka akan muncul materi secara aktual
yang mana secara otomatis menjadi potensi bagi bentuk-bentuk spesis (shurah nau’iyyah) tertentu. Maksudnya jika
bentuk-bentuk spesis tertentu digabungkan dengan materi maka akan menghasilkan
beragam jenis keberadaan. Materi yang merupakan potensi bagi
bentuk-bentuk spesis disebut dengan materi sekunder.
Hal yang perlu
diperhatikan disini bahwa semua filsuf sepakat akan adanya potensi sebagai
dasar penyiapan munculnya keberadaan-keberadaan baru dan sebagai penerima
aktualitas. Karena itu persoalan yang diperdebatkan bukan dalam persoalan
adanya ‘penerima’ atau potensi dalam menerima bentuk-bentuk baru. Namun yang
diperdebatkan adalah apakah yang dimaksud dengan materi primer adalah materi
itu sendiri atau materi primer ini adalah salah satu bagian dari materi dimana
bagian lainnya adalah bentuk material. Dalam kata lain, apakah materi merupakan
gabungan dari materi primer dan bentuk materi atau tidak ?
Argumentasi
Pembuktian Materi Primer
Dalam pembahasan ini,
kami akan menjelaskan argumentasi materi primer menurut Ibn Sina dalam
kitabnya al-syifa al-ilāhiyyāt. Ada dua argumentasi penting dalam menjelaskan
argumentasi pembuktian materi primer dalam kitab tersebut. Argumentasi pertama
ini dikenal dengan argumentasi potensi dan aktual (the potentiality and actuality)
dan argumentasi kedua dikenal dengan argumentasi ‘tersambung dan terpisah’ (joining and separation).
1.
Argumentasi
Potensi dan Aktual
Argumentasi ‘potensi
dan aktual’ sebagai berikut; “setiap materi pada aspek kemateriannya atau pada
aspek substansi materi memiliki tiga dimensi dimana tiga dimensi ini merupakan
sisi aktualitasnya. Selanjutnya bahwa dari sisi ‘dapat menerima bentuk-bentuk’
dan aksiden-aksiden dimensial merupakan aspek potensialitasnya. Disisi lain
aspek potensialitas berbeda dengan aspek aktualitas, karena potensialitas
melazimkan tiada-memiliki dan aktualitas melazimkan memiliki dimana
tiada-memiliki dan memiliki adalah dua hal yang bertentangan, oleh karena itu
mustahil dua aspek tersebut berasal dari satu hakekat. Oleh karena itu, setiap
materi tersusun dari dua unsur realitas yang saling bertentangan, dan karena
materi itu substansi maka bagian dari materi pun mesti substansi karena bagian
itu merupakan komponen dasar (muqawwim) bagi
keseluruhan, karena itu pula tidak mungkin komponen dasar bagi substansi
berasal dari aksiden. Berdasarkan hal ini terbukti bahwa terdapat bagian
dari materi dimana bagian tersebut merupakan substansi dan aspek yang
dimilikinya hanya aspek potensialitas semata”[5].
Ayatullah Misbah Yazdi
dalam karyanya Amozesye Falsafeh menjelaskan
argumentasi potensi aktual ini sebagai berikut, “setiap materi memiliki
kemungkinan untuk berubah pada jenis-jenis materi yang lain. Seperti perubahan
suatu unsur kepada unsur lainnya atau berubahnya suatu unsur atau beberapa
unsur pada mineral atau tumbuh-tumbuhan dan hewan (potensi dan aktual)
sebagaimana setiap materi memiliki kemungkinan untuk berubah pada dua atau
beberapa materi dari jenisnya sendiri (tersambung dan terpisah), ‘kemungkinan
kepada perubahan’ ini merupakan suatu jenis dari kualitas yang disebut dengan
kualitas potensial (quality-through-preparedness) atau
mumkin potensial (possibility of preparedness), serta
mampu memiliki intensitas kuat dan lemah, sempurna dan kurang, sebagaimana
janin berpotensi untuk berubah pada sebuah eksistensi yang memiliki ruh yang
sebelumnya berasal dari potensi nuthfah. Aksiden ini butuh pada sebuah objek
yaitu substansi, akan tetapi objeknya tidak mungkin pada substansi yang
memiliki aktualitas karena susbstansi tersebut diasumsikan mesti memiliki
kemungkinan untuk memunculkan kualitas tersebut, dan [jika] mumkin yang
diasumsikan juga merupakan [berasal dari] kualitas lain yang sebelumnya
didahului oleh kemungkinan yang ketiga, dan begitu seterusnya hingga tak
terhingga, maka hal ini akan melazimkan untuk berubahnya setiap eksistensi pada
eksistensi lain dan munculnya setiap substansi atau aksiden yang baru
meniscayakan adanya aksiden-aksiden yang tak terhingga dimana masing-masing
dari aksiden tersebut mendahului secara waktu pada aksiden lainnya. [dan karena
hal ini mustahil] maka yang menjadi wadah bagi aksiden ini mesti substansi yang
mana substansi tersebut adalah potensi yang tidak memiliki aktualitas sama
sekali”[6].
2.
Argumentasi
Tersambung dan Terpisah (Joining and separation)
Argumentasi ‘tersambung dan terpisah’
dijelaskan secara penjang lebar oleh Ibn Sina dalam karyanya Ilāhiyyāt al-Syifa dan juga dalam karya lainnya seperti al-Isyārat wa al-Tanbihāt dan Nejāt. Argumentasinya bisa disimpulkan berikut ini, “materi
sebagaimana materi dapat menerima pembagian, dalam kata lain bahwa materi dapat
dibagi. Ketika sebuah materi terbagi menjadi dua bagian dan atau sebaliknya
terdapat dua materi yang tersambung dan menyatu. Tersambung dan
terpisahnya materi tersebut bukan dalam pemaknaan bahwa materi sebelumnya
sirna secara totalitas dan selanjutnya muncul materi baru dengan kondisi
yang baru tanpa ada kaitannya dengan kondisi sebelumnya. Namun maksudnya bahwa
materi tersebut dibagi menjadi dua bagian atau dua materi yang tersambung dan
menjadi satu bagian. Oleh karena itu, mesti ada sisi kesamaan antara keberadaan
sebelumnya dan keberadaan setelahnya sehingga perubahan tersebut terjadi. Aspek
kesamaan ini tidak mungkin berada pada bentuk material karena bentuk material
adalah aspek ketersambungan (continuity) dan
ketersambungan ini telah sirna, olehnya mesti ada bagian lain dari materi yang masih
tetap yang kita sebut dengan materi primer. Dalam kata lain, ketersambungan tak
mungkin menerima aspek keterpisahan karena tidak mungkin dua aspek yang
bertentangan satu sama lain saling menerima. Oleh karena itu, dalam materi
mesti ada bagian lain selain dari bentuk ketersambungan yang menerima
ketersambungan tersebut dan juga menerima pemisahan dimana aspek tersebut di
dalam dirinya bukan ketersambungan dan juga bukan aspek keterpisahan”[7].
Beberapa
Kritikan atas Argumentasi Keberadaan Materi Primer
Setelah menjelaskan dua argumentasi penting
dalam membuktikan keberadaan materi primer menurut Ibn Sina, selanjutnya kami
akan menjelaskan beberapa kritikan terhadap argumentasi tersebut.
1.
Kritik
Suhrawardi atas Argumentasi Pembuktian Materi Primer
Kritik Suhrawardi ini pada argumentasi
‘tersambung dan terpisah’. Menurut Suhrawardi, pada argumentasi tersebut
terjadi kesalahan dalam mengaplikasikan istilah ketersambungan (continuity) karena ketersambungan memiliki dua makna
atau dalam kata lain ketersambungan disini adalah equivokal (isytirak al-lafzi). Makna pertama yang dimaksud dengan
ketersambungan adalah dua materi yang terpisah satu sama lain lalu kemudian
tersambung. Ketersambungan dalam pemaknaan ini diperlawankan dengan makna
keterpisahan, kemudian ketersambungan tersebut tidak dapat menerima
keterpisahan. Kemudian makna kedua yang dimaksud dengan ketersambungan adalah
ekstensien dan ukuran substansi atau yang biasa disebut dengan bentuk material
oleh kalangan filsuf paripatetik. Ketersambungan dalam istilah ini bukan
lawan dari keterpisahan, bahkan dapat menjadi potensi baginya. Menurut
Suhrawardi, dikarenakan adanya dua istilah ketersambungan tersebut sehingga
terjadi kekeliruan dalam argumentasinya. Dalam pandangan paripatetik,
ketersambungan adalah lawan dari keterpisahan sehingga ketersambungan tidak
bisa menerima keterpisahan. Kemudian disisi lain istilah ketersambungan ini
juga digunakan pada ekstensien dan ukuran substansi, sehingga jika ada materi
yang terpisah maka kita akan menyimpulkan bahwa selain aspek ketersambungan
pada materi, terdapat juga aspek yang lain yang menerima keterpisahan tersebut
yang disebut dengan materi primer. Kritikan Suhrawardi justru pada penggunaan
istilah ketersambungan tersebut, karena istilah ketersambungan dalam
argumentasi ‘tersambung dan terpisah’ digunakan dalam menjelaskan bentuk
material. Sementara ketersambungan dalam pemaknaan ekstensien substansial
bukan lawan dari keterpisahan. Karena itu jika filsafat paripatetik dalam
konteks ini mengatakan lawan dari ketersambungan adalah keterpisahan, merupakan
sebuah anggapan yang salah. Ketersambungan lawan dari keterpisahan hanya dalam
pemaknaan ‘dua materi yang terpisah lalu tersambung’. Oleh karenanya menurut
Suhrawardi, paripatetik telah keliru dalam argumentasi yang digunakan karena
terjadi kekeliruan dalam penggunaan kata ketersambungan yang memiliki dua
makna. Padahal ketersambungan diperlawankan dengan makna keterpisahan hanya
dalam makna yang pertama, bukan dalam makna yang kedua. Berdasarkan hal ini,
menurut Suhrawardi pada materi hanya ada ekstensien dan ketersambungan substansi
dan tidak butuh pada materi primer yang berfungsi sebagai penerima
keterpisahan, karena ekstensien substansi itu sendiri berfungsi sebagai
penerima.[8]
Kritik Suhrawardi atas argumentasi materi
primer ditolak oleh Mulla Sadra. Menurut Sadra, meskipun keduanya adalah
ketersambungan, namun ada ketersambungan relasi dan ada ketersambungan yang
bersifat hakiki. Ketersambungan relasi adalah kelaziman dari ketersambungan
hakiki substansi materi. Oleh karena itu, jika materi terpisah dan
ketersambungan relasi sirna maka ketersambungan hakiki tentunya juga sirna.
Maksudnya dengan muculnya keterputusan pada materi, ketersambungan substansi
tidak mungkin terjaga dan tetap pada eksistensi dirinya.[9]
2.
Kritik
Murtadha Muthahhari atas Argumentasi Pembuktian Materi Primer
Sebagaimana yang telah kami sampaikan
sebelumnya, Murtadha Muthahhari salah satu filsuf yang menolak keberadaan
materi primer. Dia berselisih dengan gurunya ‘Allamah Thabataba’i’ yang
menerima keberadaan materi primer. Murtadha Muthahhari dalam komentarnya
terhadap Ushul-e Falsafeh wa Rawesy-e Rialism karya Allamah
Thabataba’i, mengatakan, “teori ini tidak dapat diterima. Pandangan ini
didasarkan pada anggapan bahwa jika materi-materi tersebut dianalisa maka akan
berakhir pada dua bagian, salah satu bagiannya tidak memiliki aktualitas sama
sekali selain dari ‘aktualitas potensi dalam menerima’ yang disebut dengan
materi primer. Bagian lainnya yaitu bentuk material dimana hakekatnya adalah
dimensi dan ekstensien . . . namun pandangan ini menurut kami tidak benar.
Menurut kami, materi tidak bisa dibagi pada dua bagian yaitu materi primer dan
bentuk material. Materi primer dan bentuk material bisa dianggap sebagai
susunan dari materi akan tetapi bukan rangkapan realitas eksternal, namun
sebagai rangkapan mental (zihni). Maksudnya
setiap materi yang ada pada realitas eksternal tidak akan berakhir pada dua
bagian yang disebut dengan materi primer dimana didalam dirinya tidak ada
bentuk (aktualitas) sama sekali dan bagian lainnya adalah bentuk material.[10] Setelah itu
Muthahhari melanjutkan pembahasannya dalam menjelaskan persoalan potensi. Ia
menjelaskan, salah satu pembahasan penting berkaitan dengan hal ini adalah
apakah potensi ini benar-benar nyata pada realitas eksternal atau
konsiderasi (iktibari) mental semata. Berkaitan dengan hal ini,
Muthahhari menjelaskan, “dalam kesempatan ini, penting menjelaskan sebuah
pandangan bahwa potensi itu hanya konsiderasi semata. Maksudnya potensi atau
mumkin potensial (possibility of preparedness) tidak
mungkin sebuah eksistensi dan [atau] sebuah eksistensi yang nyata [pada
realitas eksternal]. Namun hanya sebagai sebuah konsep iktibari dan abstraksi
dengan penjelasan sebagai berikut; sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, potensi merupakan syarat sebelum eksis setiap kebaruan dan setiap
fenomena tanpa adanya pengecualian. Berdasarkan argumentasi [kaidah] ini,
potensi itu sendiri tidak mungkin sebuah eksistensi yang nyata karena akan
melazimkan pada dirinya juga berlaku kaidah tersebut. Maksudnya akan melazimkan
setiap potensi yang akan mewujud, sebelumnya telah ada pada potensi yang lainnya,
dan potensi yang lainnya tersebut telah ada sebelumnya pada potensi yang
lainnya juga dan begitu seterusnya hingga tak terhingga. [Misalnya] jika
manusia ingin mewujud, sebelumnya mesti ada potensi-potensi yang tak terbatas
dimana salah satu potensi tersebut ada potensi manusia itu sendiri, kemudian
sebelumnya potensinya potensi manusia, lalu sebelumnya potensinya potensinya
potensi manusia dan begitu selanjutnya sampai tak terbatas, dan masing-masing
dari potensi-potensi tersebut butuh pada wadah tertentu, sedangkan kita
mengetahui secara niscaya bahwa setiap eksistensi seperti manusia, pohon, dan
entitas-entitas lainnya tidak memiliki potensi yang tak terhingga”.[11]
3.
Kritik
Muhammad Taqi Misbah Yazdi atas Argumentasi Pembuktian Materi Primer
Ayatullah Mizbah Yazdi salah satu filsuf
kontemporer yang menolak keberadaan materi primer. Dalam karyanya Amozesy-e Falsafeh, selain menjelaskan argumentasi
materi primer, sekaligus mengeritik argumentasinya. Sebelum menjelaskan
argumentasinya, ia mengatakan, “. . . namun persoalan yang sangat mendasar
bahwa tidak dapat dibuktikan keberadaan sebuah substansi yang secara esensi
sama sekali tidak memiliki segala bentuk aktualitas. Oleh karenanya, pandangan
yang benar adalah pandangan Syeks Isyraq, Allamah Syekh Thusi, dan
filsuf-filsuf lainnya yang mengingkari keberadaaan substansi seperti itu”.[12] Selanjutnya
Ayatullah Misbah menjelaskan argumentasi dalam membuktikan keberadaan materi
primer, kemudian setelah itu mengeritik argumentasi tersebut. Dalam mengeritik
argumentasi tersebut ia mengatakan, “. . . namun mesti dipahami, menurut
filsuf, bentuk material tidak akan pernah sirna di alam materi, dan jika
diasumsikan materi primer itu ada, kemudian keberadaan materi primer senantiasa
bergantung dan bersama dengan bentuk material (tanpa mengaitkannya dengan
pembahasan gerak substansi yang akan dibahas pada tempatnya sendiri), maka
dengan memperhatikan persoalan ini, pertanyaannya adalah apa
permasalahannya jika materi diyakini sebagai substansi yang sederhana (tidak
tersusun dari materi primer dan bentuk material) dimana bentuk lainnya
bersemayam (hulul) padanya atau pun juga sirna darinya ?”.[13]
Selanjutnya dalam mengeritik argumentasi potensi dan aktual, Ayatullah Misbah
Yazdi mengatakan, “pertama, pondasi argumentasi ini dapat dipertanyakan karena
konsep potensi dan aktual – sebagaimana konsep-konsep filsafat lainnya –
merupakan konsep kategori-kategori sekunder filsafat dimana akal mengabstraksi
hal tersebut melalui proses tertentu. Dalam kata lain, ketika kita
mengasumsikan dua hal material dimana salah satu dari dua hal tersebut ‘tidak
memiliki’ yang lain (sebagaimana biji pohon, tidak memiliki buah) namun dapat
memiliki hal tersebut, maka kita menisbahkan [mengabstraksi] konsep ‘potensi’
dan ‘menerima’ pada keberadaan pertama, dan disaat memiliki hal tersebut kita
menisbahkan [mengabstraksi] padanya dengan konsep aktualitas. Oleh karenanya,
konsep-konsep tersebut merupakan konsep-konsep yang diabstraksi melalui
perbandingan dua hal antara satu dengan lainnya dan hal tersebut tidak memiliki
eksistensi yang berdiri sendiri, maka tidak ada dalilnya untuk mengatakan aspek
potensialitas dan aspek aktualitas merupakan realitas objektif dan nyata
[memiliki eksistensi yang berdiri sendiri] sehingga berdasarkan hal tersebut
kita membuktikan substansi dan atau bahkan aksiden . . . kedua, pada premis
kedua dapat ditolak, karena mungkin saja ada seseorang yang meyakini eksistensi
eksternal materi (dan bukan esensinya) tersusun dari sebuah substansi dan
beberapa aksiden, terkhusus bagi mereka yang meyakini bahwa aksiden-aksiden
merupakan kondisi-kondisi dan derajat-derajat eksistensi substansi. Oleh
karenanya jika diasumsikan masing-masing dari dua aspek tersebut yaitu aspek
potensi dan aspek aktual, memiliki eksistensi realitas eksternal, dapat
dikatakan pada aspek aktualitas adalah substansi material dan aspek
potensialitas adalah salah satu dari aksiden-aksidennya[14].
Kesimpulan
Setelah menjelaskan argumentasi pembuktian
materi primer serta menguraikan beberapa kritikan terhadapnya. Selanjutnya kami
akan memberikan kesimpulan terhadapnya. Namun sebelumnya kami akan menjelaskan
beberapa karekteristik materi primer;
1.Aspek
potensi, aspek potensial murni
Karekteristik penting pada potensi adalah sebuah substansi dimana aspek yang
ada didalamnya hanya aspek potensi semata dan ‘menerima’. Tak ada sesuatu
apapun yang ada didalamnya kecuali dapat menerima sesuatu. Maksudnya dapat
menerima bentuk dan selanjutnya memakai bentuk tersebut pada dirinya. Oleh
karena itu dikatakan bahwa substansi materi primer adalah aspek potensial murni
dimana sama sekali tidak ada aktualitas didalamnya terkecuali aspek menerima,
sebab jika diasumsikan di dalam dirinya terdapat aktualitas dan memiliki efek
tertentu serta kondisi tertentu dari dirinya sebagai aspek aktualitasnya maka
hal tersebut akan membuat substansi primer yang murni potensi tidak lagi dapat
menerima segala bentuk aktualitas. Hal tersebut bertentangan dengan asumsi
sebelumnya bahwa materi primer adalah potensi murni yang tidak memiliki
aktualitas sama sekali.
2.Potensi senantiasa bergantung pada
sebuah aktualitas
Salah satu kaidah filsafat menjelaskan
bahwa wujud identik dengan aktualitas. Maksudnya jika sesuatu itu wujud, mesti
memiliki aktualitas. Karena itu, wujud mesti memiliki aktualitas. Tak ada wujud
yang tak memiliki aktualitas. Berdasarkan hal ini maka eksistensi materi primer
dengan karekteristik potensi murni mesti berada di bawah naungan sebuah
aktualitas karena potensi murni sama sekali tidak memiliki aspek aktualitas.
Maksudnya materi primer atau potensi murni bersifat ambigu dan tanpa memiliki
batasan tertentu karena pada dirinya tak ada aspek keaktualitasan. Aspek
keaktualitasanlah yang menyebabkan suatu entitas keluar dari keambiguannya dan
memiliki ukuran tertentu. Oleh karenanya, dikarenakan materi primer tidak
memiliki aktualitas dan pada satu sisi wujud mesti memiliki aktualitas maka
materi primer butuh pada aktualitas (dalam hal ini bentuk materi) sebagai
tempat bernaung.
3.Berubahnya
Aktualitas tidak Membuat Materi Primer Berubah
Potensi murni yang menerima bentuk-bentuk
yang beragam adalah sama. Maksudnya ketika suatu bentuk sirna dan bentuk
baru datang, materi primer tidak ikut sirna akan tetapi realitasnya tetap
sebagai potensi murni. Misalnya ketika kayu berubah menjadi arang, potensi yang
ada di dalam realitas kayu dan realitas arang itu sama. Berubahnya bentuk kayu
menjadi bentuk arang tidak menyebabkan potensi yang ada pada kedua bentuk
tersebut juga berubah. Oleh karena itu, materi primer berlaku tetap dan sama
pada seluruh entitas-entitas materi.
Setelah menjelaskan tiga karekteristik materi primer. Sekarang kami akan
memberikan kesimpulan pada argumentasi tersebut. Pertama, kritikan yang di utarakan oleh Suhrawardi,
sebuah kritikan yang kurang tepat menurut hemat kami, karena sebagaimana yang
dijelaskan oleh Mulla Sadra, meskipun ketersambungan memiliki dua makna
yaitu satu bersifat relasi (aksiden) dan yang satu bersifat hakiki (substansi),
maka ketika ketersambungan aksiden sirna, secara otomatis menunjukkan
ketersambungan pada substansi juga sirna karena aksiden bergantung pada
substansi. Meskipun mungkin saja ada yang mengatakan, anggapan tersebut bisa
ditolak karena relasi antara substansi dan aksiden dalam filsafat paripatetik
bukan relasi analitis. Namun dalam konteks ini, relasi kedua hubungan
ketersambungan tersebut adalah relasi analitik sehingga jika relasi yang
bersifat aksiden sirna maka secara otomatis menunjukkan ketersambungan
substansi juga sirna. Kedua, kami
menerima kritikan terhadap argumentasi pembuktian keberadaan materi primer,
baik kritikan dari Murtadha Muthahhari maupun dari Ayatullah Mizbah Yazdi,
menurut hemat kami, anggapan bahwa di dalam diri materi terbagi menjadi dua
bagian secara aktual yaitu materi primer dan bentuk material adalah pandangan
yang tidak tepat dalam meletakkan antara pembahasan mental (zihni / mind) dengan pembahasan pada realitas
eksternal. Karena pembagian tersebut adalah pembagian mental, bukan pembagian
pada realitas eksternal sehingga dikatakan, baik materi primer maupun bentuk
material benar-benar nyata pada realitas eksternal. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Ayatullah Mizbah Yazdi bahwa potensi dan aktual adalah konsep
yang didapatkan melalui proses abstraksi, karena itu konsep aktual dan konsep
potensi dikategorikan sebagai kategori universal sekunder filsafat. Dalam kata
lain, pada diri materi kita dapat mengabstraksi konsep aktual dan juga konsep
potensial. Namun bukan dalam pengertian bahwa keduanya nyata pada realitas
eksternal secara independen atau berdiri sendiri. Apalagi jika kita kembali
dalam kaidah filsafat bahwa wujud pasti memiliki aktualitas. Hal ini
bertentangan dengan identitas pada materi primer karena pada materi primer
dikatakan substansi yang hanya memiliki aspek potensialitas tanpa ada
aktualitas sama sekali. Karena itu bagi mereka yang meyakini keberadaan materi
primer dengan ‘terpaksa’ mengatakan bahwa satu-satunya aktualnya adalah
ketidakaktualannya. ‘Terpaksa’ disini dalam pengertian bahwa jika materi primer
itu nyata pada realitas eksternal maka pasti memiliki aktualitas karena wujud
identik dengan aktualitas. Nah untuk menjelaskan aspek aktualitas pada materi
primer maka dikatakan satu-satunya aktualnya adalah ketidakaktualannya karena
materi primer tidak memiliki aktualitas sama sekali selain potensi dalam
menerima bentuk. Satu-satunya aktualnya adalah ketidakaktualannya adalah
proposisi yang tidak memiliki dasar filosofi yang kuat. Proposisi tersebut
bukan proposisi filsafat, namun proposisi sastra yang tidak memiliki bangunan
filosofi. Berdasarkan hal ini kami meyakini bahwa materi itu sederhana atau tidak
memiliki rangkapan. Ketiga, berdasarkan
hal ini, kami menerima asumsi Mulla Sadra terhadap materi primer bahwa materi
primer merupakan kondisi dari materi. Maksudnya dalam diri materi terdapat
materi primer yang merupakan salah satu kondisi dari materi dan tidak berdiri
sendiri sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Sina. Sebagaimana dipahami, dalam
pandangan Sadra, aksiden adalah salah satu kondisi dari susbtansi karena
aksiden lahir dari rahim substansi. Berdasarkan hal ini bisa dikatakan bahwa
materi primer adalah salah satu aksiden dari materi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar