I. Pendahuluan
dalam Teks Bidayatul Hikmah
Pada muqoddimah bidayatul hikmah menjelaskan objek pembahasan
filsafat, yakni wujud sebagaimana wujud atau wujud mutlak.[1] Jadi dalam
pemikiran filsafat islam, senantiasa bersandar pada realitas yang disebut
dengan eksistensi. filsafat hadir membahas masalah eksistensi yang merupakan
warisan filsafat sebelumnya. Sebagaimana yang pernah saya jelaskan di dalam
sejarah filsafat barat, bahwa filsafat barat sekarang ini lebih cendrung pada
pembahasan epistemologi dimana pada
periode yang terakhir cendrung ke filsafat analitik.
Namun yang menarik adalah perkataan Heidegger, ia mengatakan bahwa problema
manusia saat ini dikarenakan mereka lari dari eksistensi.
Pentingnya Ontologi
Filsafat hadir
membahas masalah eksistensi dan merupakan warisan filsafat sebelumnya. Menurut
Heidegger, problema manusia modern saat ini adalah lari dari eksistensi. Sejak
datangnya cartesian telah membuat
manusia tanpa rumah. Karena realitas manusia terpisah dari eksistensi
alam. Karena itu untuk menemukan problema kemanusiaan saat ini, manusia
harus kembali ke masalah eksistensi. kita harus masuk ke dalam sejarah.
Kita bukanlah sesuatu yang terpisah dari sejarah. Wujud itu adalah sejarah.
Karena kita telah memisahkan realitas dengan eksistensi, hal itu menjadi
problema besar. Heidegger mengajak filosof barat untuk kembali ke
realitas. Bahwa kita ada di dalam sejarah yaitu di dalam eksistensi, bahwa diri
kita menyatu dengan alam, secara eksistensi kita bukanlah sesuatu hal yang
terpisah dari realitas apa pun.
Namun berbeda dengan
filsuf Wiliam Quinn, atau yang disebut dengan Russell saat ini. Menurutnya,
Plato salah dalam dalam mendefinisikan eksisitensi. Karena Plato mendefinisikan
eksistensi dengan membagi eksistensi yaitu pada being dan
becoming. Padahal dalam reliatas yang kita saksikan saat ini
yang ada adalah becoming/proses perubahan. Karena
itu – menurut Quinn - being itu tidak ada karena menurutnya manusia hanya
menyaksikan perubahan itu sendiri. Pandangan Quinn ini juga mendapat
kritikan oleh sebagian filosof, bahwa Quin salah dalam memahami filsafat Plato.
Ketika plato mengatakan being dan becoming, Plato tidak ingin mendefinisikan
eksistensi, ini hanya misdaq[2] dari
wujud/eksistensi. Dalam pengertian lain, Plato memberikan komentar atau
penjelasan eksistensi dengan misdaq, bukan definisi.
Heidegger sadar,
bahwa problema saat ini terjadi karena kita meninggalkan ontologi. Begitu juga
dengan Étienne Gilson ,seorang filsuf Perancis yang
mengatakan bahwa semua filsafat barat adalah isholatul mahiyah, kecuali Thomas
Aquinas. Saya mengutip perkataan ini untuk menunjukkan bahwa jika filsafat
Islam masih konsisten terhadap ontologi saat ini, masih relevan untuk terus
dibahas.
Sebagaimana diketahui
bahwa objek pembahasan filsafat adalah wujud sebagaimana wujud yang menjelaskan
wujud secara universal. Dalam membedakan pengetahuan yang satu dengan
yang lain, kita bisa lihat dari objek pembahasannya. misalnya objek ilmu
matematika adalah bilangan, objek ilmu kedokteran adalah tubuh manusia, itu
semua dilakuan agar lebih jelas dan kita pun bisa membedakan antara disiplin
ilmu pengetahuan yang satu dengan yang lainnya.
Objek Filsafat
Kemudian yang maksud
objek pembahasan filsafat adalah wujud sebagaimana wujud, berarti
filsafat membahas semua wujud, seperti wujud buku, sepidol, logam,
manusia dll), namun mesti diingat bahwa yang di bahas dalam filsafat hanya
berkaitan dengan eksistensi sebagiamana eksistensinya saja. Bukan
kebuku-an nya, kespidol-an nya, kelogam-an nya, dll. Jadi, objek filsafat pada
wujud sebagaimana wujud, bukan karakteristik entitasnya yang menjadi ciri khas
pada dirinya. Karekteristik entitas tertentu tersebut biasanya menjadi objek
pembahasan disiplin ilmu pengetahuan lain, seperti kimia,fisika dll. Kaitannya
dengan pembahasan ini, Mehdi Heiri Yazdi mengatakan, konsep wujud ini luar
biasa, ia bisa masuk kepada seluruh entitas yang ada. Dari sinilah bisa
dikatakan filsafat lebih mulia dari ilmu yang lain. Pemuliaan ini bukan pada
filosof, atau pada filsafatnya, tapi pemuliaan ini terletak pada konsep wujud
yang hadir dalam seluruh entitas.
Jadi maksud dari
‘wujud sebagaimana wujud’ adalah kita membahas wujud secara universal (kulli), bahwa wujud hadir di segala entitas.[3] kita tidak membahas
karakteristik personalnya, kita membahas eksistensi sebagaimana eksistensi
dirinya, dari sini juga filsafat disebut sebagai (Mother of science) induk
pengetahuan, karena persoalan eksistensi yang dibahas di dalamnya. [4]
Tujuan filsafat
Secara langsung
filsafat tidak memberikan efek apapun, tapi secara tidak langsung ia memberikan
efek. Dalam pengertian, filsafat adalah batin dari pemikiran anda, ia
dibelakang layar, ia membimbing anda bagaimana melihat sesuatu. Tugas filsafat
hanya membedakan mana yang riil mana yang bukan riil. Masyarakat terkadang
menganggap yang tidak riil menjadi yang riil atau sebaliknya, Ini karena sejak
awal kita tidak dapat membedakan mana yang hakiki (riil) dan mana yang tidak
hakiki.
Kalau kita ke bank,
bank hanya tahu uang masuk, uang keluar, dll. Tapi memang disitulah tugas
bank. Tapi kalau ia ditangan filsuf, ia bertanya uang itu apa? Apakah uang itu
nominalnya, kertasnya, atau yang ada di ATM? Jadi seperti inlah kerja filsuf.
Sebagian mengatakan bahwa filsuf itu akrab dengan pembahasan-pembahasan yang
abstrak. Ia membahas yang tidak real, abstrak, membingungkan dll, sehingga
kata Plato kalau anda tidak cinta filsafat, anda akan susah untuk
memahaminya. Karena Syarat filsafat adalah cinta. Karena secara
material tidak kita saksikan secara langsung. Sehingga jika anda memang tidak
menyukai filsafat, jangan sekali-kali anda masuk filsafat, lebih baik anda
tinggalkan, karena itu hanya membuang-buang waktu anda. Filsafat memang beda
dengan fakultas lain. Anda harus berfilsafat dan merasakan derita pengetahuan.
1.
II. Muqoddimah
Bahwa hikmah ilahiyah[5] adalah ilmu
membahas tentang kondisi wujud sebagaimana wujud. Dan objek pembahasannya yang
juga membahas didalamnya adalah awarid dzatiyyah
(aksiden-akside dzatiyah)yakni sesuatu yang menempel
pada wujud. Dan arodi dzatiyah bisa saja wujud
itu sendiri. Sedangkan tujuannya adalah mengetahui ma’rifah wujud
sebagaimana ma’rifah dari sisi universalnya, Untuk membedakan sesuatu
yang bukan wujud hakiki, ini adalah tujuan filsafat.
Allamah Tahabathaba’i
menjelaskan ada tiga hal yang badihi, yakni :
§ Bahwa di luar ini ada
realitas eksternal. Ada sesuatu yang tidak mungkin manusia ingkari.
§ Keberadaan dirinya
§ Ilmu yang ia miliki
terhadap realitas eksternal.
Ketika kita
mengatakan “Saya mencari sesuatu” adalah bukti bahwa ada sesuatu yang ada di
luar diri kita. Hal itu membuktikan bahwa sesuatu itu memang nyata ada di luar.
Dan dia tidak meragukan sesuatu itu kecuali bahwa realitas eksternal itulah
yang hakekat bagi dirinya. Misalnya bayi yang lapar kemudian ia mencari
makanan, makanan itu memang nyata ada di luar, bukan ia mencari sesutu yang
lain , bukan hanya ada di alam mentalnya saja. Begitupula manusia yang takut
dari singa, ia benar-benar takut akan realitasnya, bukan takut karena
imajinasinya . Hal itu memang nyata baginya bahwa singa itu menakutkan. Tapi
terkadang manusia salah dalam pikirannya. Maksudnya ia meyakini sesuatu
tersebut nyata, padahal sesuatu tersebut tidak nyata sama sekali, seperti
menganggap Hulk itu ada, padahal tidak ada. Ataupun sebaliknya, meyakini
di luar tidak ada namun pada hekakatnya ada.
Seperti materialisme,
menurut mereka sesuatu yang terlihat adalah nyata. Diluar ini (yang tidak
terindera) tidak ada. Disinilah kita membutuhkan ma’rifat wujud sebagaimana
wujud untuk memisahkan mana yang punya reliatas eksternal secara hakiki dengan
yang tidak. Yang membahas pembedaan seperti itu hanya pembahasan al- hikmah ilahiyyah. Jadi tujuan filsafat hanya itu
saja, membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata.
1.
III. Pasal
Pertama
Pasal pertama
menjelaskan tentang konsep wujud yang badihi. Badihi yang dimaksud hanya
konsepnya saja, bukan realitas eksternalnya. Realitas eksternalnya itu berkenan
dengan hakekatnya, yakni hakekat sebagiamana hakekatnya. Kalau kita
mengatakan wujud itu badihi, yang dimaksud badihi hanya konsep/mafhum wujudnya saja bukan realitas eksternalnya,
karena ia tidak bisa ditangkap dengan hushuli tapi hudhuri. Sedangkan realitas
eksternal, pada hakekatnya tersembunyi.
Hakekat itu berkenaan
dengan realitas eksternal sebagaimana adanya, Namun ketika kita mengatakan
wujud itu badihi, bukan realitas eksternalnya sebagaimana realitas
eksternalnya, tapi yang dimaksud adalah konsepnya saja. Sehingga kalau
kita tanyakan pada anak-anak, ibumu ada tidak? kakakmu ada tidak? mereka
menjawab “ibu saya ada dan kakak saya ada”. Dari sana kita bisa lihat anak
kecil pun sudah mengetahui konsep ‘ada’. bahwa ada yang dimasud
adalah ‘ada’, dan ada adalah badihi dalam tataran konsep.
Sabzawari mengatakan
“muarriful wujud min syarhil ism”. Jika ada yang mengatakaan
wujud itu cahaya. Penjelasan cahaya hanya sebagai “syarhul ism”. ia hanya mengganti wujud dengan cahya
saja, bukan definisi dari wujud. Begitu pula kata Plato wujud
adalah being /becoming. Itu semua hanya misdaq contoh dari wujud, bukan
mendefinisikan wujud. Jadi wujud itu jelas, konsepnya badihi, saking jelasnya
ia tidak butuh penjelas, karena tidak ada yang lebih jelas dari pada wujud.
Sesuatu yang kita definisikan adalah sesuatu yang masih tidak
jelas, oleh karena itulah kita ingin definisikan. Sesuatu yang sudah
jelas tidak butuh definisi lagi. Sebagaimana wujud, wujud itu konsepnya sudah
jelas dan diketahui semua orang bahwa ia ‘ada’ , karena itu ia tidak butuh
definisi.
Definisi biasanya
berangkat dari genus dan fasl/diferentia. Kalau kita mendefinisikan pasti
mendefinisikan sesuatu yang memiliki rangkapan(ada genus dan fasl). Sesuatu
dapat kita definisikan karena ia punya rangkapan. Sesuatu yang tidak punya
rangkapan tidak bisa kita
definisikan. Syarat definisi adalah ia harus memiliki genus dan fasl. Genus
qorib dan fasl qorib, sebagaimana yang dipelajari dalam logika.
No
|
Contoh
|
Keterangan
|
01
|
“Al
insan haywanun natiq” (Manusia adalah hewan yang
berfikir)
|
§ Ia
memiliki rangkapan
§ Haywan
(hewan) →adalah genus
§ Natiq
(logika)→ adalah
fashl
|
02
|
Putih
|
§ Ia
tidak memiliki rangkapan sehingga tidak bisa didefinisikan
§ Ia
tidak memiliki genus dan fashl
§ Secara
konsep Ia badihi (jelas)
§ Ia
basith (sederhana)
|
03
|
Satu
|
§ Ia
tidak memiliki rangkapan sehingga tidak bisa didefinisikan
§ Ia
tidak memiliki genus dan fashl
§ Secara
konsep ia badihi (jelas)
§ Ia
basith (sederhana)
|
Sesuatu dapat
dikatakan ‘jelas’ boleh jadi dirinya memang jelas, atau boleh jadi ia
tidak punya rangkapan dalam dirinya.
.
[1] Ada dua
terminologi, ada wujud mutlak dan mutlak wujud. Wujud mutlak : wujud secara
mutlak, dalam hal ini terdapat beragam wujud. Pembahsan filsafat adalah wujud
mutlak. Sedangkan dalam pembahasan irfan wujud hanya satu, yakni mutlak
wujud.
[2] Misdaq adalah
relasi antara konsep dan realitas. Ia adalah relasi pemahaman dengan realitas
dirinya.
[3] Wujud yang dibahas
tidak hanya di konsep tapi juga di dalam realitas yang ada. Kalau filsafat
masuk ke pembahasan jiwa, filsafat hanya membahas wujudnya saja. Kalau masuk ke
pembahsan materi, yang dibahas hanya wujudnya saja, begitu seterusnya. Kita
menyebut ia wujud ketika ia memiliki efek. Kalau ia wujud pasti ia memberikan
efek, baik itu wujud materi atau non materi, baik itu terlihat maupun tak terlihat.
Malaikat, ruh, dan wujud non materi lainnya ada efeknya. Mereka semua
adalah riil, selama anda mengatakan ia wujud dan memberikan efek maka hal itu
nyata. Air, memberikan efek dengan menghilangkan dahaga, ia nyata. Setiap
wujud pasti memberikan efek yang ada. Tidak mungkin dia wujud tapi tidak
memberikan efek tertentu. Setan memberikan efek was-was syaithoniyah ke dalam wahm kita. Malaikat memberikan was-was ilahiyah kedalam diri kita. Itu semua adalah efek.
Selama ia punya efek maka mereka punya realitas eksistensi. Ia pasti memberikan
efek tertentu dari realitas eksistensi dirinya. Karena itu membedakan wujud
atau bukan wujud bisa dilihat ada efeknya atau tidak. Namun boleh jadi, kita
tidak mengetahui ia ada sehinga kita tidak merasakan efeknya, itu pembahsan
lain. Tidak mungkin dia ada tapi tak memberikan efek.
[4] Dalam filsafat
islam semuanya adalah wujud baik materi maupun non materi (ruh, malaikat, Tuhan
). Filsafat membahas semua realitas eksistensi, baik itu melalui persepsi
indrawi, maupun yang ditangkap persepsi akal, maupun yang ditangkap syuhud. Semua adalah alat untuk meraih realitas
eksternal.
[5] ia tidak
menggunakan kata “filsafat” tapi hikmah illahiyyah.
Merujuk pada masa sebelum Renaissance semua
pengetahuan adalah filsafat, kecuali bahasa. Setelah Renaissance filsafat hanya
pembahasan Teologi. Teologi di transfer ke islam “alhikmah al-ilahiyah”kata ini berasal dari Suhrawardi,
yang mana sebelumnya Al-kindi dahulu menggnakan kata “falsafah” . tapi menurut
Suhrawardi kata “hikmah ilahiyah” lah yang lebih
cocok untuk menterminologikan filsafat. [ditranskrip oleh Njie dan Dian]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar