Kerumitan persoalan wilayah filsafat,
khususnya filsafat dalam pemaknaannya yang lebih spesifik yaitu yang membahas
mengenai realitas eksistensi dan hakekat, dikarenakan pertama; kekuatan akal
argumentatif tidak setingkat dengan hakekat realitas yang akan
diargumentasikan, seperti seorang filsuf yang akan mempersepsi keazalian Tuhan,
asmaul husna, hakekat wahyu, kenabian, risalah, wilayah, dan semacamnya. Hal
yang kedua dikarenakan persoalan yang berada pada wilayah materi dan indrawi
yang tak dapat diargumentasikan ingin menyertai akal immateri filsuf, misalnya
ingin memahami dengan akal argumentatif yang immateri akan makna gerak secara
mutlak, waktu, materi, dan segala persoalan yang sifatnya gradual, tak pernah
diam, dan senantiasa berubah. Karena selama objek itu bergerak dan belum tenang
serta belum memiliki wujud secara utuh, tentu sulit untuk dipahami. Kemudian
selanjutnya setelah keluar dari wilayah gradual dan sampai pada wilayah tetap
dan immateri, tentu tak ada lagi gerak dan potensi murni (matter atau hayula).
Kehadiran Mulla Sadra dengan suguhan
hikmah muta’aliyah, membuat filsafat Islam dengan metode argumentasinya menjadi
lebih mudah, baik itu kerumitan dalam bentuk pertama yaitu dari akal
argumentatif menuju realitas objektif immateri atau pun juga dalam bentuk kedua
yaitu dari realitas objektif indrawi menuju akal argumentatif. Berikut ini
beberapa hal yang menjadi keunggulan pemikiran hikmah muta’aliyah Mulla Sadra:
1. Hakikat jiwa manusia
yaitu jismaniyatul hudhuts dan ruhaniyatul baqa’ (pada tahap awal
jiwa itu dimulai dari materi dan selanjutnya menjadi ruhani dalam
keabadiannya).
2. Wujud sebagai hakikat
yang fundamental (ishlatul wujud), bukan mahiyah.
3. Hakekat wujud yang
fundamental adalah tunggal, bukan beragam dan tabayun (antara satu entitas
dengan entitas yang lain secara totalitas berbeda).
4. Ketunggalan hakekat
wujud adalah bergradasi, bukan wahdatul wujud sebagaimana dibahas dalam irfan.
5. Adanya proses tahapan
perjalanan substansial dalam gradasi wujud. Maksudnya jika disesuaikan pada
poin ke empat maka wujud ada yang kuat dan ada yang lemah, dan bahkan jika
digabung dengan poin kelima maka gradual intensitas dalam wujud menjadi sebuah
keniscayaan, sehingga wujud substansi bisa dikatakan sebagai proses dari
tingkatan yang lemah menuju tingkatan yang lebih kuat.
6. Maksud dari proses
tahapan perjalanan substansial adalah lubs ba’da lubs, bukan khal’ ba’da
lubs. Perbedaan antara lubs ba’da lubs dengan khal’ ba’da lubs
bisa digambarkan dalam analogi berikut ini; perumpamaan khal’ ba’da lubs seperti
gerak sebuah kendaraan mobil yang meninggalkan tempat sebelumnya dan sampai
pada tempat selanjutnya dimana tempat yang telah dilewati sebelumnya tidak
menyertai mobil tersebut sampai pada tempat selanjutnya. Kemudian perumpamaan lubs
ba’da lubs seperti gerak pohon tak pernah meninggalkan tempat sebelumnya,
bahkan segala yang telah dilewatinya pada saat itu pula menjadi pondasi yang
dengannya gerak tersebut dibangun untuk gerak selanjutnya. Dalam kata lain
sejak dari gerak pertama sampai pada gerak selanjutnya menjadi satu kesatuan
eksistensial yang tak terpisahkan.
7. Perjalanan eksistensi
manusia Ilahi, tak terbatas. Oleh karena itu seluruh proses tahapan perjalanan
yang dimungkinkan sebagai singgasana manifestasi Ilahi dapat digapai dan
sekaligus hadir dalam singgasana tersebut. Maqam fana merupakan tahapan
perjalanan yang mulia dimana pada tahapan inilah akan nampak realitas irfan dan
berakhirnya risalah filsafat, karena pada tahapan tersebut bukan konteksnya
lagi ilmu hushuli, tashawwur, tashdiq, proposisi, dan qiyash. Oleh karenanya
bukan lagi wadah bagi argumentasi yang bersandar pada tashawwur dan tashdiq.
8. Hakekat manusia
diawali dari wujud jismani hingga pada puncak perjalanan substansi dirinya yang
merupakan sebuah ketunggalan yang hakiki. Ketunggalan hakiki tersebut memiliki
kesatuan yang pada tahapan keragaman termanifestasi dalam wadah keragaman dan
pada puncak tahapan ketinggiannya adalah realitas ketunggalan. Oleh karenanya
dengan bantuan proses pada tingkatan yang rendah (bawah), ia mempersepsi
realitas tertentu seperti gerak dan selanjutnya dengan penyempurnaan proses
rasio dalam dirinya dapat mempersepsi konsep universalnya. Sebagaimana pula
melalui perjalanan transenden eksistensi realitas dirinya yang pada puncaknya
dapat memahami sebagian dari asma Ilahi Tuhan dengan ilmu syuhudi. Kemudian
pada tahapan selanjutnya ilmu syuhudi tersebut diterjemahkan dengan ilmu
hushuli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar