Abstraksi:
Setelah
Ibn ‘Arabi, Mulla Shadra termasuk satu dari sekian filsuf yang
mengembangkan pemikiran ‘irfan dalam sorotan teosofi dan filsafat. Mulla Shadra
akhirnya menelurkan beberapa prinsip filsafat yang cukup kaya melambari
karya-karya filosofisnya. Bahkan di tangan Shadra, irfan, filsafat, dan kalam
(teologi) terdapat titik pertemuan, yang demikian itu terbaca dalam sistem
filsafat al-hikmah al-muta‘âliyah. Bahkan pada beberapa ‘hal
teoritik’ Mulla Shadra menyamakan antara wujud ar-rabt dengan zuhur atau
‘ainurrabt dengan tajalli. Namun, persamaan ini tak lebih dari sebuah
tahapan untuk memahami prinsip irfan.
Kata-kata
Kunci: Mulla
Shadra, Ibn ‘Arabi, filsafat, irfan, wahdah al-wujûd, Pluralitas dalam
wujud, gradasi wujud, unitas dan pluralitas, wujud penghubung, prinsip filsafat
Mulla Shadra.
Pendahuluan
Pemikiran Wahdah al-Wujûd, sejak awal
kemunculannya hingga saat ini tidak pernah surut untuk diperbincangkan,
dianalisa, dan diteliti. Hampir setiap tahun ada saja peneliti yang mencoba
menganalisa lebih jauh konsep Wahdah al-Wujûd, baik peneliti yang berusaha
mengingkari teori tersebut maupun yang berusaha mengukuhkannya
sebagai—pandangan dunia—di antara pandangan dunia yang ada. Tidak heran jika
terdapat beragam penafsiran mengenai konsep Wahdah al-Wujûd.
Ibn ‘Arabî diyakini sebagai tokoh yang
memberikan sumbangsih besar dalam menyebarkan konsep Wahdah al-Wujûd. Meskipun
dalam seluruh karya beliau tidak ditemukan adanya penggunaan kata Wahdah
al-Wujûd.[1]
Akan tetapi beberapa penggunaan kalimat yang digunakan oleh Ibn ‘Arabî
menunjukkan makna yang dimaksud dari Wahdah al-Wujûd tersebut. Salah satu
perkataan Ibn ‘Arabî yang sangat relevan dengan konsep Wahdah al-Wujûd yaitu: “
فسبحان من أظهر الأشياء و هو عينها
“.[2]
‘Urafâ meyakini bahwa wujud
hanya dinisbahkan kepada Al-Haqq. Wujud sama sekali tidak bercampur
dengan apa pun sehingga mengakibatkan adanya pluralitas dalam wujud, baik
pluralitas wujud dalam terminologi filsafat paripatetik, maupun pluralitas
wujud dalam terminologi gradasi wujud (tasyqîq al-wujud). Dalam
pandangan irfan wujud adalah “la bi syart maqsami” (non-conditional
as the source of division). Wujud dalam terminologi ini adalah wujud murni
yang tidak terlimitasi (qaid) oleh limitasi apa pun. Bahkan tidak
terlimitasi dengan mutlak karena mutlak adalah satu bentuk dari limitasi itu
sendiri.[3]
Wahdah al-Wujûd merupakan pusat dari
seluruh pembahasan irfan dan tasawuf. Seluruh tema yang dibahas dalam irfan
bermuara dari konsep Wahdah al-Wujûd. Mengingkari konsep Wahdah al-Wujûd
berarti mengingkari seluruh bangunan irfan. Oleh karena itu, upaya para ‘Arif
dan para peneliti irfan adalah membuktikan semaksimal mungkin konsep Wahdah
al-Wujûd yang disaksikan oleh para ‘Arif dengan syuhûdnya dan diyakini oleh
sebagian Filsuf melalui burhan yang diutarakan oleh para Arif.
Wahdah al-Wujûd yang diyakini oleh
sebagian para Arif sebagai puncak tauhid, akan tetapi bagi sebagian kaum teolog
dan fuqaha merupakan tanda kemusyrikan. Menurut mereka Wahdah al-Wujûd adalah
sebuah keyakinan bahwa segalanya adalah Tuhan. Meyakini Wahdah al-Wujûd berarti
sama halnya dengan mengatakan bahwa segalanya adalah Tuhan. Mengatakan
segalanya adalah Tuhan berarti menyamakan antara Tuhan dengan makhluk. Anggapan
ini tentunya sebuah anggapan yang jauh dari nilai-nilai tauhid. Sebab tauhid
justru menyucikan dan mengesakanTuhan.
Lain halnya dengan sebagian filsuf yang
menolak konsep Wahdah al-Wujûd. Menurut mereka, premis-premis yang digunakan
dalam mengargumentasikan Wahdah al-Wujûd adalah premis-premis yang tidak
sempurna. Premis tersebut tidak cukup dalam membuktikan konsep Wahdah al-Wujûd.
Oleh karena itu konsep Wahdah al-Wujûd yang diyakini oleh para Arif tidak dapat
diterima oleh akal dan konsep tersebut adalah sebuah konsep yang batil.
Murtadha Muthahhari mengatakan:
Tidak mungkin realitas eksternal hanya
terdiri dari satu realitas semata. Mental kita dengan jelas mengabstraksikan
quiditas-quiditas yang berbeda-beda dari realitas yang satu tersebut. Jika
wujud—yang mana hanya satu-satunya realitas hakiki—hanya satu maka beragam
konsep-konsep indrawi dan ‘aqli [yang dipersepsi melalui akal] tidak
memiliki aspek relasi (jehat). Oleh karena itu, menerima konsep Wahdah
al-Wujûd melazimkan penafian atas persepsi indrawi dan ‘aqli serta
mengingkari salah satu konsep yang paling badihi (self-evident) di
antara konsep-konsep badihi yang ada.[4]
Sebagian para peneliti irfan memberikan
jalan keluar dari kritikan filsuf melalui prinsip yang paling urgen dalam
irfan. W. Stace menyatakan bahwa irfan atau mistisisme berseberangan dengan
prinsip-prinsip logika karena irfan bersifat paradoks. Paradoks tersebut bukan
hanya pada lahiriyah semata tapi karena hakikat irfan pada intinya bersifat
paradoks, Stace mengatakan:
“In
the previous chapters of this book I have emphasized the essential
paradoxicality of the mystical counsciousness. I need merely remind the reader
of the pantheistic paradox that God and the word are both identical and non
identical or distinct: of the positive-negative or plenum-vacuum paradox whit
its three aspects, that the one or the universal mind is both qualitied and
unqualitied, both personal and impersonal, both static and dynamic; of the
paradox of the dissolution of individuality wherein I cease to be individual
and get retain my individuality of the paradox that he who reaches nirvana
neither exist nor does not exist and the paradox of the of the extrovertive
mystical experience that the objects of the senses are both many and one, both
identical and distinct. These paradoxes have not been foisted upon the
utterances of the mystics themselves. It may well be suggested however that,
although no one who is acquainted whit the subject doubts that the utterances
of the mystics are in some sense paradoxical, the present writer has given an
extreme interpretation to this fact by insisting that the paradoxes are flat
logical contradictions.”[5]
Asumsi Stace di atas menganggap bahwa
dasar irfan memang bersifat paradoks. Sifat paradoks ini bukan semata pada
tataran lahiriyah semata akan tetapi memang seutuhnya dasar irfan adalah
bersifat paradoks yang tidak lagi bisa ditampung dalam kerangka prinsip
logika seperti prinsip
non-kontradiksi.
Asumsi Stace sekilas sejalan dengan
pemikiran yang diyakini oleh sebagian Filsuf Islam. Salah satunya adalah
Muhammad Taqî Misbâh Yazdî yang meyakini bahwa antara filsafat dan irfan
merupakan dua disiplin pengetahuan yang satu sama lain memiliki penekanan dan
metodologi yang berbeda. Filsafat berada dalam ruang lingkup ilmu hushuli
sedangkan irfan berada dalam ruang lingkup ilmu hudhuri. Filsafat berjalan
dengan akal rasionalnya, sedangkan irfan berangkat dengan qalbunya. Olehnya
itu, pembahasan irfan adalah sebuah pembahasan yang tidak lagi berada dalam
ruang lingkup konsep, proposisi, serta alam mental.[6]
Pada awal-awal kemunculan irfan dan
tasawuf, bahasa yang digunakan sangat sederhana dan pada umumnya pengalaman
irfan dituangkan dalam bentuk sastra. Tentunya hal ini sangat beralasan karena
muatan irfan memang bersifat paradoks. Seperti kalimat berikut ini zahir
adalah batin dan batin adalah zahir. Awal adalah akhir dan akhir adalah awal.
Bukan engkau yang melempar jika engkau melempar. Bagi sebagian Arif, pengalaman
irfan ini paling sesuai dibahasakan dan diterjemahkan dalam bentuk sastra. Hal
ini dikarenakan bahasa sastra menggunakan bahasa simbolik yang dapat menampung
rahasia-rahasia dibalik kata-kata yang digunakan.
Munculnya Ibn ‘Arabî pada abad ke-10 hijriyah
memberikan warna lain dalam perkembangan Irfan. Bila dahulu masa sebelumnya,
irfan dirumuskan dalam bentuk sastra, kemudian pada periode Ibn ‘Arabî,
membahasakan pengalaman irfan dengan kerangka filosofis dan terkadang meminjam
istilah filsafat dalam membahasakan pengalaman irfan. Kemunculan Ibn ‘Arabî
selanjutnya memberikan pengaruh yang besar pada priode-priode selanjutnya.
Keberhasilan Ibn ‘Arabî ini melanggengkan pemikirannya ditopang oleh
keberhasilan Ibn ‘Arabî dalam mendidik murid-muridnya. Qunawi adalah salah satu
murid Ibn ‘Arabî yang berhasil menguasai pemikiran Ibn ‘Arabî. Qunawi dianggap
sebagai salah satu kunci penting untuk memahami pemikiran Ibn ‘Arabî dan juga
berhasil mendidik beberapa penerus pemikirannya yang juga memberikan sumbangsih
besar dalam menyebarkan pemikiran Ibn ‘Arabî seperti Jandi, Farghani,
Tilmisani, dan Fakhruddin ‘Iraqi.[7]
Tantangan besar dalam irfan dan tasawuf
yaitu tantangan dari para Filsuf yang menganggap irfan tidak dapat
dirasionalkan atau berseberangan dengan logika. Ibn ‘Arabî mencoba memberikan
formulasi penting mengenai hal tersebut yang selanjutnya memberikan ilham
pemikiran kepada generasi ‘urafâ selanjutnya. Salah satunya adalah karya
monumental Ibn Turkah dalam bukunya Tamhidu al-Qawâid. Buku ini ditulis
secara khusus hanya untuk menjawab pemikiran-pemikiran filsafat paripatetik.
Namun sebagian filsuf belum menganggap Tamhid al-Qawâid ini berhasil
menjawab kritikan dari filsuf paripatetik. Pada umumnya argumentasi yang
dibangun oleh sebagian Arif ini terjebak di antara konsep dan mishdaq,
khususnya dalam menjelaskan dan membuktikan konsep Wahdah al-Wujûd.
Dalam filsafat paripatetik yang menjadi
landasan inti di alam aksternal adalah pluralitas. Wujud secara esensi (zati)
bersifat tabayun dan hal ini meniscayakan bahwa antara satu wujud dengan
wujud lainnya satu sama lain saling terpisah. Kesatuan wujud terjadi hanya
dalam konsep semata dan diluar dari zat wujudnya. Maka dari itu antara wujud
substansi dan wujud aksiden, juga antara wujud wajib dan wujud mumkin tidak
terdapat aspek unitas dalam zat dirinya, aspek kesamaannya hanya pada konsep
wujud yang mengaksiden padanya. Konsep wujud ini bisa dipredikatkan pada
realitas eksternal secara gradasi.
Hadirnya Mullâ Shadrâ pada abad ke-10
hijriyah mempersempit jarak antara filsafat dan irfan, bahkan sebagian filsuf
menganggap Mullâ Shadrâ berhasil menyatukan irfan (syuhûd) dengan filsafat
(burhan/argumentasi) serta syariat (teks-teks Qur’an dan hadis). Prinsip ishalatul
wujud merupakan prinsip fundamental dalam pandangan Shadrâ. Prinsip ishalatul
wujud menyatakan bahwa yang menjadi landasan pada realitas eksternal adalah
wujud. Hal ini mengindikasikan bahwa wujud dalam gagasan Mullâ Shadrâ bukan
lagi sebatas konsep semata akan tetapi wujud merupakan esensi bagi segala
realitas yang ada. Kemudian kesatuan wujud bersifat hakiki sebagaimana
pluralitas wujud pun bersifat hakiki. Unitas dalam pluralitas dan pluralitas
akan kembali pada unitas. Selanjutnya jika ditambahkan prinsip wujud lainnya
yaitu bahwa wujud itu basith (simple), maka gabungan dari konsep-konsep
di atas meniscayakan bahwa wujud itu bergradasi. Gradasi di sini dimulai dari
tingkatan yang paling puncak yaitu wajibul wujud hingga tingkatan yang
paling bawah yaitu al-maddah al-ula (prime matter). Seluruhnya adalah
realitas wujud, letak perbedaannya hanya pada quantitas wujud semata. Pada
akhir pembahasan kausalitas, hubungan antara wujud dengan wujud lainnya
dijelaskan dengan prinsip kausalitas, kemudian Mullâ Shadrâ meyakini bahwa
akibat adalah ‘ainurrabht wujud (wujud kebergantungan itu sendiri) kepada
wajibul wujud. Dalam konteks ini Mullâ Shadrâ meyakini ‘ainurrabht
wujud sama dengan tajallî sebagaimana yang diyakini oleh urafa. Dari
hal ini bisa disaksikan bagaimana usaha Mullâ Shadrâ dalam upayanya membuktikan
dan mengargumentasikan Wahdah al-Wujûd. Mullâ Shadrâ dalam kitab al-asfar
al-arba’ah mengatakan:
شخصية
لا شريك له في الموجودية الحقيقية- و لا ثاني له في العين و ليس في دار الوجود
غيره ديار و كلما هداني ربي بالبرهان النير العرشي إلى صراط مستقيم من كون الموجود
و الوجود منحصرا في حقيقة واحدة يتراءى في عالم الوجود أنه غير الواجب المعبود فإنما
هو من ظهورات ذاته و تجليات صفاته التي هي في الحقيقة عين ذاته كما صرح به لسان
بعض العرفاء.[8]
Pada umumnya kritik terhadap konsep
Wahdah al-Wujûd terletak pada keirasionalitasannya. Maksud dari
keiirrasionalitasan ini bisa mengindikasikan berbagai hal seperti kontradiksi,
yaitu dengan menganggap bahwa pemahaman Wahdah al-Wujûd ini akan meniscayakan
kontradiksi dengan bahasa yang digunakan bersifat paradoks dan kontradiksi ini
tentunya mustahil. Atau bisa juga mengindikasikan bahwa pemahaman Wahdah
al-Wujûd ini akan meniscayakan skeptisisme dengan anggapan jika wujud hanya
dinisbahkan pada Al-Haqq maka hal ini sama saja dengan penafian terhadap
realitas eksistensi lainnya. Selain hal tersebut, keirrasionalitasan bisa juga
berarti bahwa pembahasan irfan – termasuk Wahdah al-Wujûd – tidak lagi
berada dalam wilayah logika sehingga harus dihakimi dengan prinsip kontradiksi,
sebab berbicara tentang kontradiksi berarti ruang lingkup pembahasannya masih
berada dalam tataran logika. Akan tetapi, jika sesuatu di luar logika tentunya
prinsip kontradiksi pun tidak berlaku padanya. Penyelidikan lebih jauh untuk
membahas konsep Wahdah al-Wujûd ini menjadi penting, sebab ada dua unsur yang
sangat mendasar dalam mengargumentasikan sesuatu, yaitu tashawwur (konsep)
dan tashdiq (penilaian) dimana tashdiq sangat bergantung pada tashawwur.
Ada beberapa hal yang mesti
diperhatikan berkenaan dengan konsep Wahdah al-Wujûd dalam pandangan Mullâ
Shadrâ. Pertama, sebagaimana dalam buku Mullâ Shadrâ (al-Asfar), terdapat
pernyataan yang tegas menyatakan hakikat wujud hanya meliputi satu wujud semata
dan selainnya adalah manifestasi dari wujud-wujud lainnya. Kedua, seluruh
pengikut Shadrâ mengakui bahwa Mullâ Shadrâ membuktikan konsep gradasi wujud.
Namun kemudian para pengikut Shadrâ tidak satu dalam memahami konsep Mullâ
Shadrâ tentang Wahdah al-Wujûd. Para pengikut Shadrâ berbeda dalam memahami,
apakah gradasi wujud tersebut yang dimaksud oleh Mullâ Shadrâ dengan Wahdah
al-Wujûd atau gradasi wujud yang merupakan tangga untuk memahami Wahdah
al-Wujûd. Dengan kata lain konsep Wahdah al-Wujûd lebih tinggi dari konsep gradasi
wujud.
Di sini terjadi kesimpangsiuran
menafsirkan pernyataan Mullâ Shadrâ. Khususnya dalam menafsirkan apakah gradasi
wujud tersebut adalah Wahdah al-Wujûd itu sendiri atau bukan. Namun dilihat
secara sepintas pernyataan Mullâ Shadrâ, maka kita akan melihat meskipun ia
menyebutkan akan membuktikan argumentasi Wahdah al-Wujûd dan maujud sebagaimana
yang diyakini oleh ‘urafa[9]
akan tetapi keambiguan itu tetap saja ada. Keambiguan ini muncul dikarenakan
dalam berbagai kesempatan Mullâ Shadrâ masih tetap menggunakan terminologi
wujud yaitu pada selain Al-Haqq terminologi yang digunakan tetap saja wujud.
Meskipun wujud tersebut disebut dengan wujud majazi, di sini masih
mengindikasikan dualitas wujud. Yang menjadi dasar dalam pandangan irfan yakni,
wujud hanya dinisbahkan kepada Al-Haqq dan selain-Nya hanya tajalli
semata, tajalli tidak lain hanya merupakan penampakan zat Al-Haqq beserta
kesempurnaannya melalui salah satu dari nama-nama-Nya. Penampakan ini bukan
dalam konsep hulul maupun ittihad.[10]
Sumbangsih Mullâ Shadrâ dalam pemikiran Islam adalah membuat
persamaan-persamaan antara filsafat hikmah muta’aliyah dengan irfan misalnya,
dengan menyamakan antara wujud ar-rabt dengan zuhur atau ‘ainurrabt
dengan tajalli, namun persamaan-persamaan ini tidak lebih dari sebuah tangga
untuk memahami prinsip irfan. Sampai di sini kita dapat melihat Wahdah al-Wujûd
memiliki posisi lebih tinggi dari pada gradasi wujud.
Konsep
Wahdah al-wujûd
Wahdah al-Wujûd merupakan unsur yang
paling utama dalam pandangan dunia irfan khususnya dalam pemikiran Ibn ‘Arabî.
Ibn ‘Arabî dianggap sebagai pendiri konsep Wahdah al-Wujûd meskipun tidak
ditemukan sama sekali penggunaan kata Wahdah al-Wujûd dalam karya Ibn ‘Arabî.
Penggunaan kata Wahdah al-Wujûd pertama kali digunakan oleh Ibn Taimiyah dalam
mengeritik pemikiran Ibn ‘Arabî. Tentunya, asumsi Ibn ‘Arabî sebagai pendiri
konsep Wahdah al-Wujûd bukanlah sesuatu yang tidak berdasar sama sekali. Asumsi
ini bisa dibuktikan dengan menganalisa pernyataan-pernyataan yang digunakan
oleh Ibn ‘Arabî dalam beberapa tulisannya, artinya jika disepakati bahwa
istilah Wahdah al-Wujûd, yakni wujud hanya dinisbahkan kepada Al-Haqq dan
menafikan wujud selain wujud Al-Haqq – tanpa memperhatikan istilah
Wahdah al-Wujûd – maka akan ditemukan makna tersebut dalam pemikiran Ibn ‘Arabî
sebagai berikut;
Dalam kitabnya Futûha al-Makiyyah
pernyataan di atas sesuai dengan makna istilah Wahdah al-Wujûd. Tidak heran
jika Abdurrahman Jamî menganggap Ibn ‘Arabî sebagai pendiri dan pemimpin bagi
para pengikut Wahdah al-Wujûd.[13]
Dalam beberapa tulisan Ibn ‘Arabî, ditemukan bahwa wujud alam adalah Al-Haqq
itu sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa wujud hanya bisa dinisbahkan
pada Al-Haqq dan bukan pada yang lainnya.[14]
Zat Al-Haqq sama sekali tidak terbatas. Ketidakterbatasan ini dengan
sendirinya menafikan keberadaan yang lain sebab jika ada sesuatu ruang yang
tidak diliputi-Nya berarti Al-Haqq dibatasi oleh ruang tersebut. Oleh
sebab itu Ibn ‘Arabî meyakini bahwa perbedaan itu ada dikarenakan adanya
keterbatasan, jika keterbatasan itu diangkat maka tidak ada lagi perbedaan kita
dengan Al-Haqq.[15]
Sebagian para peneliti irfan dan
tasawuf memaknai relasi antara Al-Haqq dan selain Al-Haqq dengan ittihâd
(union) dan hulûl (immanence). Namun hal ini bertentangan dengan
konsep Wahdah al-Wujûd, sebab Wahdah al-Wujûd hanya menisbahkan wujud pada Al-Haqq,
sedangkan ittihâd dan hulûl meniscayakan adanya dualitas. Ittihad
atau penyatuan meniscayakan adanya dua sesuatu yang saling berhadapan dan
kemudian dua entitas tersebut bersatu. Tentunya konsep hulul pun
meniscayakan adanya dualitas sedangkan dalam irfan dualitas sama sekali
ditolak.
Berbeda dengan uraian para arif,
menurut filsuf relasi antara unitas dan pluralitas dijelaskan dengan prinsip
kausalitas. Tidak bisa dipungkiri bahwa prinsip kausalitas ini akan
meniscayakan adanya dualitas. Apalagi dalam prinsip kausalitas meniscayakan
adanya keidentikan antara sebab dan akibat. Jika ‘sebab’ itu wujud maka
‘akibat’ pun niscaya wujud. Oleh karena itu dalam pandangan dunia irfan, prinsip
kausalitas ini pun tidak dapat diterima karena meniscayakan adanya dualitas
dalam wujud. Kesimpulannya, konsep Wahdah al-Wujûd ini hanya sesuai dengan
prinsip tajalli karena tajalli merupakan bayangan dari Al-Haqq. Jika
konsep Wahdah al-Wujûd ini meniscayakan konsep tajalli maka hal ini juga akan
menegaskan asumsi sebelumnya mengenai Ibn ‘Arabî sebagai pendiri konsep Wahdah
al-Wujûd karena inti dari seluruh pembahasan Ibn ‘Arabî ingin menjelaskan
konsep tajalli sebagai salah satu unsur yang utama – setelah Wahdah al-Wujûd –
dalam pandangan dunia irfan.[16]
Relasi
Unitas dan Pluralitas Wujud
Untuk memahami lebih jauh mengenai
konsep Wahdah al-Wujûd, ada baiknya jika mengenal beberapa konsep yang
dimungkinkan untuk menggambarkan konsep Wahdah al-Wujûd tersebut, di antaranya:
1. Pandangan Filsafat
Paripatetik
Aliran filsafat paripatetik mengatakan
bahwa yang menjadi dasar bagi keberadaan alam eksternal adalah wujud, akan
tetapi wujud tersebut satu sama lain berbeda atau tabayun (diversity).
Zat entitas-entitas di alam eksternal satu sama lain berbeda. Persamaan atau
unitas tidak terjadi dialam eksternal secara hakiki dikarenakan zat di antara
entitas-entitas yang ada berbeda secara totalitas. Kesatuan di antara entitas
yang ada dialam eksternal hanya terjadi dialam mental semata. Dengan kata lain
bahwa lâzim ‘âm diabstraksi diluar dari zat entitas-entitas yang ada.
Hal ini meniscayakan; pluralitas hakikat wujud dialam eksternal.
Konsekwensinya bahwa antara substansi dan aksiden, dan juga antara wujud wajib
dan wujud mumkin tidak terdapat kesamaan dalam zat dirinya sama sekali.
Dalam pandangan paripatetik, unitas
wujud tersebut – yang merupakan hasil dari abstraksi diluar zat entitas dialam
eksternal – jika dipredikatkan pada alam eksternal maka predikat tersebut akan
bergradasi, yaitu akan melazimkan intensitas kuat dan lemah. Karakter abstraksi
pada wujud wajib lebih kuat dibandingkan dengan wujud mumkin. Dalam persoalan
gradasi, ada dua hal yang senantiasa harus diperhatikan: pertama, harus
ada aspek unitas dan identitas (‘ainiyyat), kedua, harus ada
aspek pembeda dan pemisah dimana aspek kedua ini akan kembali kepada aspek
pertama. Perbedaan ini secara esensi (zâtî) terjadi pada zat
entitas-entitas dialam eksternal dan kesatuannya diluar dari zat
entitas-entitas tersebut, yaitu kesatuan dan unitas tersebut tidak terjadi
secara hakiki dan hanya konsep semata. Oleh karena itu perbedaan ini akan
kembali kepada kesatuan dimana kesatuan ini hanya merupakan lâzim ‘am (necessary
common) yang hanya konsep semata. Olehnya itu gradasi dalam filsafat
paripatetik disebut dengan gradasi umum (tasykike ‘ammî ).
Kesimpulannya, dalam filsafat paripatetik terdapat 4 prinsip utama dalam pokok
pemikirannya[17],
yaitu:
a. Segala wujud bersifat
fundamental atau primer (ishalatul wujud).
b. Segala wujud adalah
berbeda secara zat (tabayun).
c. Segala wujud memiliki
kesamaan dan kesatuan yang hanya terjadi pada konsep atau pemahaman (lâzim
‘am).
d. Konsep atau pemahaman
tersebut jika dipredikatkan pada entitas-entitas dialam eksternal bersifat
gradasi (tasykike ‘ammî).
Dalam pandangan paripatetik di atas
dapat dipahami bahwa pluralitas terjadi secara hakiki pada alam eksternal
sedangkan unitas atau kesatuan hanya terjadi di alam konsep semata.
2. Pandangan Filsafat
Hikmah Muta’aliyah
Sebagaimana diketahui bahwa Mullâ
Shadrâ membangun pemikiran filsafatnya dengan prinsip fundamental wujud (ishalatul
wujud). Dalam aliran filsafat sebelumnya yaitu filsafat paripatetik, belum
ada bab tertentu yang khusus membahas prinsip fundamental wujud akan tetapi
dalam filsafat hikmah muta’aliyah telah tersedia bab khusus dengan tema; ishalat
al-wujud wa al-i’tibari al-mahiyah. Pembahasan fundamental wujud menandakan
bahwa posisi pembahasan ini berada pada realitas eksternal dan telah terpisah
dari pembahasan konsep wujud. Pemilahan antara pemahaman wujud dan realitas
wujud salah satu kunci untuk memahami beberapa pembahasan penting dalam
filsafat. Dikarenakan, kadang terjadi kerancuan pembahasan oleh karena
ketidakjelasan pemilahan kedua wilayah tersebut. Prinsip fundamental wujud ini
mengatakan bahwa wujud merupakan dasar di alam eksternal. Sebab selain wujud
hanya ada dua kemungkinan yaitu quiditas dan ketiadaan dimana keduanya tidak
mungkin menjadi dasar bagi alam eksternal. Sebab ketiadaan memang niscaya
tiada, sedangkan quiditas hanya bersifat i’tibari yaitu sesuatu yang
mengaksiden pada wujud atau yang menempel pada wujud (bi al-tab’). Dalam
pandangan Mullâ Shadrâ, meskipun pemahaman wujud tersebut diabstraksi diluar
dari zat entitas-entitas alam eksternal akan tetapi pemahaman wujud tersebut
berkaitan langsung dengan zat entitas-entitas realitas eksternal, yaitu dengan
hakikat objektif eksternal tanpa melalui bantuan perantara sama sekali.[18]
Hal tersebut akan meniscayakan unitas
atau kesatuan wujud tidak hanya sebatas konsep semata akan tetapi benar-benar
terjadi dialam eksternal. Oleh karena itu unitas atau kesatuan terjadi secara
hakiki dialam eksternal, sebagaimana pluralitas terjadi secara hakiki dialam
eksternal. Kesatuan yang dimaksud di sini dalam pandangan Mullâ Shadrâ adalah
al-wahdat assarayânî (unity of flow) yaitu kesatuan yang bisa bersatu
dengan pluralitas.[19]
Jika kesatuan bersifat hakiki dan pluralitas bersifat hakiki maka persoalan
gradasi di sini tentunya berbeda dengan gradasi yang dimaksud oleh paripatetik.
Dalam
filsafat hikmah muta’aliyah juga mengakui bahwa wujud di alam eksternal
memiliki gradasi, wujud tersebut terjadi secara hakiki dan bukan hanya sekedar
terjadi dialam mental semata. Berdasarkan prinsip fundamental wujud, maka
wujudlah yang menjadi dasar realitas objektif di alam eksternal. Oleh sebab itu
baik perbedaan maupun kesamaan akan kembali kepada hakikat wujud, karena tidak
ada sesuatu yang lain kecuali wujud. Gradasi dalam filsafat hikmah muta’aliyah
disebut dengan gradasi partikular atau tasykik al-khass (particular
gradation).
Abdullah Jawadi Amulî menjelaskan
bahwa ada beberapa unsur penting yang mesti diperhatikan dalam
menjelaskan prinsip gradasi partikular Mullâ Shadrâ[20]:
a. Pluralitas wujud
adalah hakiki.
b. Unitas wujud adalah
hakiki.
c. Pluralitas akan
kembali kepada unitas.
d. Unitas mengalir dalam
pluralitas.
Dalam menggambarkan gradasi partikular tersebut,
biasanya dianalogikan dengan cahaya dan sumber cahaya. Di sini kita lihat
perbedaan intensitas cahaya, ada yang kuat dan ada yang lemah, namun pada saat
yang sama semuanya adalah cahaya. Perbedaan dan kesamaan kembali pada satu
perkara yaitu cahaya. Perbedaan terjadi disebabkan oleh cahaya karena adanya
intensitas pada cahaya, dan juga kesamaan terjadi disebabkan oleh cahaya karena
tidak ada yang lain kecuali cahaya itu sendiri.
Menurut Mullâ Shadrâ wahdat
assarayânî (unity of flow) ini merupakan kesatuan individual yang terjadi
secara hakiki di alam eksternal dan pada saat yang sama meliputi
pluralitas. Ia menyamakan wahdat assarayânî tersebut dengan salah satu
prinsip yang dalam irfan yaitu nafas arrahman. Hakikat nafas arrahman
ini merupakan sesuatu yang meliputi seluruh determinasi-determinasi (ta’ayyunât)
dan mengalir didalamnya, mulai dari ta’ayyun awwal (first entification)
hingga alam materi.[21]
Cakupan komprehensitas kesatuan wujud terhadap pluralitas tidak seperti cakupan
komprehensitas mental dan universal, akan tetapi cakupan komprehensitasnya
seperti nafas arrahman terhadap pluralitas dan tajalli-tajalli Al-Haqq.
Mullâ Shadrâ mengibaratkan hal tersebut sebagai berikut[22]
:
شمول
حقيقة الوجود للأشياء الموجودة ليس كشمول معنى الكلي للجزئيات، و صدقه عليها- كما
نبهناك عليه- من أن حقيقة الوجود ليست جنسا و لا نوعا و لا عرضا إذ ليست كليا.
طبيعيا، بل شموله ضرب آخر من الشمول لا يعرفه إلا العرفاء" الراسخون في
العلم". و قد عبروا عنه تارة ب" النفس الرحماني" و تارة بالرحمة
التي" وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ"
(cakupan
komprehensitas hakikat wujud pada sesuatu-sesuatu maujud, tidak seperti cakupan
komprehensitas makna universal pada partikular-partikularnya dan predikat
universal tersebut pada partikular-partikularnya; karena hakikat wujud bukan
genus, bukan spesis, dan bukan aksiden dikarenakan [pemahaman ini] tidak
seperti kulli thabi’î (natural universal), namun cakupan komprehensitas
ini merupakan kategori lain dari cakupan komprehensitas dimana tidak ada yang
mengetahuinya terkecuali Urafa yang rasikh dalam ilmunya, dan terkadang urafa
menyebutnya dengan ‘nafas arrahman’ dan juga terkadang; dengan rahmat
yang ‘meliputi segala sesuatu’).
3. Pandangan Irfan;
Wahdah al-wujûd
‘Urafa meyakini bahwa wujud hanya
memiliki satu objek dialam eksternal. Wujud hanya dinisbahkan kepada Al-Haqq
secara zati. Realitas hakikat objektif dialam eksternal hanya wujud
semata. Oleh karena itu jika wujud hanya satu maka meniscayakan tidak akan ada
pluralitas dalam wujud. Walaupun demikian, urafa sama sekali tidak mengingkari
adanya pluralitas. Urafa mengatakan bahwa selain wujud Al-Haqq, yang
lain hanya merupakan manifestasi atau tajalli dari Al-Haqq. Dalam
gradasi wujud dijelaskan bahwa wujud yang paling puncak adalah wujud Al-Haqq
dan selain Al-Haqq dipredikatkan padanya wujud secara hakiki.
Dalam pandangan ‘urafa, saat kita
menerima wujud bersifat mutlak maka akan meniscayakan wujud tersebut hanya
memiliki satu objek saja. Mutlak di sini meniscayakan ketidakterbatasan dan
ketidakterbatasan akan meniscayakan penafian terhadap yang lainnya dikarenakan
jika ada satu ruang dimana mutlak tidak berada pada ruang tersebut maka akan
membatasi kemutlakan itu sendiri.
Dalam filsafat hikmah muta’aliyah
dijelaskan bahwa wujud mengalami gradasi secara hakiki. Gradasi dalam hal ini
terjadi dikarenakan adanya perbedaan pada nama-nama Al-Haqq.[23]
Untuk menegaskan hal di atas, penulis akan menukil beberapa perkataan beberapa arif
, di antaranya sebagai berikut;
Shadaruddin Qŭnawî mengatakan bahwa
wujud Al-Haqq adalah zatnya itu sendiri, sedangkan selainnya adalah
tambahan atas zatnya;
الوجود في الحق عين ذاته و فيما عداه
امر زائد على حقيقته[24]
Kemudian Shainuddin
Al-turkah dalam kitabnya tamhidul qawâ’id meyakini bahwa dalam wujud
sama sekali tidak ada gradasi:
ثُمَّ انّ الوجود الحاصل للماهيات
المختلفة و الطبايع المتخالفة لا يقبل الوجود و العدم لذاته لما أشير إليه في
موضعه، فيجب ان يكون واجباً لذاته، و حينئذ لو وجد هناك موجود آخر مغاير له،
لتعدَّد الواجب لذاته[25]
Qaisharî dalam muqaddimahnya
terhadap fhusus al-hikam menjelaskan bahwa hakikat wujud bukan wujud
eksternal dan bukan wujud internal, hakikat wujud lebih luas dari wujud
eksternal dan wujud internal. Hakikat wujud sama sekali tidak terlimitasi
dengan bentuk limitasi apapun bahkan tidak terlimitasi dengan limitasi mutlak
sekalipun. Oleh karena itu hakikat wujud tidak disifatkan padanya dengan sifat
mutlak dan limitasi. Oleh karenanya hakikat wujud bukan universal, bukan
partikular, bukan umum, bukan khusus. Unitas wujud bukan sesuatu yang
ditambahkan pada zatnya. Maka hakikat wujud tidak menerima
pluralitas;
اعلم، ان الوجود من حيث هوهو غير الوجود
الخارجي و الذهني، إذ كل منهما نوع من أنواعه فهو من حيث هو هو، أي لا بشرط شيء،
غير مقيد بالإطلاق و التقييد و لا هو كلّى و لا جزئي و لا عام و لا خاص و لا واحد
بالوحدة الزائدة على ذاته و لا كثير[26]
Sayyid Haidar Amulî
dalam kitabnya naqd annuqŭd fî al-ma’rifat al-wujûd menjelaskan bahwa
hakikat wujud tidak ada yang lain kecuali Al-Haqq beserta
kesempurnaan-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan kekhususan-Nya. Sedangkan
mazahirnya (theophanic forms), alam, dan ciptaan adalah perkara-perkara
yang bersifat i’tibârî (derivative) dan secara wujud adalah
majazi;
فحينئذ لا يكون في الوجود حقيقة الا هو
تعالى و أسماؤه و صفاته و كمالاته و خصوصيّاته. و لا يكون المظاهر و الخلق و
العالم الا أمرا اعتباريّا و وجودا مجازيّا[27]
Abdurrahman Jami juga
menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan dalam hakikat wujud akan tetapi perbedaan
itu pada manifestai-manifestasinya;
ما في الوجود الّا عين واحدة هي عين
الوجود الحقّ المطلق و حقيقته، و هو الموجود المشهود، لا غير. و لكنّ هذه الحقيقة
الواحدة و العين الأحدية لها مراتب ظهور لا تتناهى أبدا في التعيّن و التشخّص[28]
Pandangan irfan mengenai Wahdah
al-Wujûd ini berbeda dengan konsep wahdat assyuhûd (unity of vision).
Ada yang mengatakan bahwa antara Wahdah al-Wujûd dan wahdat assyuhûd hanya
berbeda dalam etimologi saja, akan tetapi keduanya memiliki makna yang sama. Wahdat
assyuhûd menjelaskan bahwa ‘urafa akan sampai pada satu maqam di mana dia
tidak akan menyaksikan sesuatu apa pun kecuali Al-Haqq. Jika hati ini
hanya diisi oleh Al-Haqq maka apapun yang disaksikan, didengar, semuanya
adalah Al-Haqq. Tak ada rupa dan warna terkecuali rupa dan warna Al-Haqq.
Dalam konteks ini sebaiknya kita membedakan antara tidak menyaksikan
sesuatu apapun kecuali diri-Nya dengan tidak ada sesuatu apapun yang wujud
kecuali diri-Nya.
Pada penjelasan pertama sama sekali
tidak menafikan pluralitas wujud karena masih memberikan kemungkinan keberadaan
yang lain, akan tetapi dikarenakan kefanaan dirinya kepada Ilahi sehingga ia
tidak menyaksikan segala sesuatunya kecuali Al-Haqq. Namun pada
penjelasan kedua menegaskan penafian wujud selain wujud Al-Haqq.
Selanjutnya, yang mesti juga dibedakan
dari Wahdah al-Wujûd adalah istilah pantheisme. Sebagian menganggap bahwa
istilah Wahdah al-Wujûd sama dengan istilah pantheisme yang ada dibarat.
Istilah pantheisme itu sendiri adalah terbilang istilah ambigu disebabkan tidak
adanya penafsiran yang sama terhadapnya dan hampir aliran pemikiran di Barat memiliki
penafsiran sendiri terhadap panteisme. Qâsim Kâkâî dalam bukunya Wahdah
al-Wujûd menjelaskan pantheisme sebagai berikut:
Dari paparan di atas, penulis hendak
membatasi makna istilah Wahdah al-Wujûd. Wahdah al-Wujûd sebagaimana yang
dipahami oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Dengan kata lain Wahdah al-Wujûd
bermakna ‘wujud’ hanya dinisbahkan kepada Al-Haqq dan selain dimaknai
sebagai manifestasi atau zuhur dan atau penampakan dari nama-nama-Nya.
Makna
Pluralitas dalam Wahdah al-Wujûd
Selain wujud Al-Haqq
ada wujud majazi yang dimaksud dalam konteks ini adalah majazi irfani,
yakni sebuah makna majazi yang tidak bertentangan dengan realitas eksternal
sebab makna majazi irfani bukan berarti ketiadaan mutlak atau sesuatu yang
tidak memiliki nafs al-amr (a thing it self). Pada umumnya kita
dapat membagi aspek (haitsiyyah) kedalam tiga bagian; yaitu haitsiyyah
ta’lîliyah (causative mode), haitsiyyah taqyîdiyah (conditional
mode), dan haitsiyyah ithlâqiyah (absoluteness mode).[29]
1)
Haitsiyyah Ta’lîliyah (causative mode)
Terkadang
wujud dipredikatkan pada sebuah subjek melalui sebuah perantara, perantara
tersebut merupakan penyebab bagi subjek, yakni perantara di sini merupakan
wujud dan sekaligus memberikan wujud bagi subjek. Perantara di sini adalah
sesuatu yang lain yaitu diluar dari predikat dan subjek pada proposisi tersebut
dan biasanya disebut dengan haitsiyah ta’lîliyah. Biasanya dicontohkan
seperti; air yang sedang dipanasi dengan api. Dalam proses memanasnya air kita
akan menyaksikan bahwa air benar-benar panas dan air menerima hukum panas
tersebut secara hakiki. Akan tetapi sebab panasnya air di sini adalah sesuatu
selain air yaitu api. Dalam konteks ini api disebut dengan haitsiyah
ta’lîliyah bagi panasnya air.[30]
Beberapa Penggunaan Absolut dalam Wujud
Wujud secara
esensi (bi al-zat) adalah Al-Haqq dikarenakan Al-Haqq tidak
terbatas dan bersifat mutlak. Sifat ketidakterbatasan dan kemutlakan ini meniscayakan
penafian akan adanya wujud yang lain secara esensi. Dalam irfan yang
dimaksud dengan wujud yaitu wujud dengan konsiderasi lâ bisyart maqsamî (non-conditional
as the source of division), wujud lâ bisyart maqsamî yaitu bahwa
pada dirinya tak ada determinasi (ta‘ayyun) sama sekali, tak ada nama,
tak ada sifat, tak ada sebutan, dan tak ada tanda.
Satu kategori lain
dari konsiderasi mutlak yaitu wujud lâ bisyart qismî. Dalam irfan wujud
dengan konsiderasi lâ bisyart qismî ini adalah nafas al-raħmân atau biasa juga
disebut dengan faîdh al-munbasîth (emanation of expanded).
Konsiderasi (i‘tibâr) yang dimaksud dalam konteks ini bahwa mental kita
dapat memperhatikan pada satu hal tertentu dengan berbagai aspek atau
pertimbangan, setelah itu menganalisanya dan kemudian akan dihasilkan beberapa
prinsip darinya.
Dalam hal ini
quiditas memiliki tiga bentuk konsiderasi; pertama, quiditas dengan
konsiderasi ikatan tertentu atau quiditas yang dibarengi dengan sifat-sifat
yang dilekatkan padanya. Konsiderasi ini disebut dengan quiditas dengan syarat
sesuatu atau al-mâhîyah bisyart al-syaî (mixed quiddity). Kedua,
quiditas tanpa dibarengi dengan sesuatu apapun dan yang menjadi titik
perhatian adalah quiditas sebagaimana quiditas itu sendiri. Konsiderasi ini
disebut dengan quiditas dengan syarat penafian atau al-mâhîyah bisyart lâ (divested
quiddity). Ketiga, quiditas tanpa adanya syarat sesuatu apapun
padanya. Quiditas dalam pemaknaan ini bebas dari segala ikatan apapun sehingga
disebut dengan quiditas secara mutlak. Konsiderasi ini disebut dengan quiditas
tanpa syarat atau al-mâhîyah lâ bisyart (nonconditioned quiddity).
Kemudian, quiditas sebagai pembagi dari ketiga konsiderasi tersebut disebut
dengan quiditas pembagi absolut atau al-mâhîyah lâ bisyart maqsamî atau
biasa juga disebut dengan universal zat (kullî thabî‘î).[31]
Sebagaimana
quiditas dapat dibagi menjadi tiga bagian konsiderasi, maka wujud dalam irfan
dapat dibagi menjadi tiga konsiderasi yang sama; pertama, wujud dengan
syarat sesuatu atau al-wujûd bisyart al-syaî atau biasa juga
disebut dengan wujud determinasi (wujud muqayyad), yaitu wujud
beserta quiditas. misalnya wujud manusia. Kedua, al-wujûd
bisyart lâ yaitu bahwa yang menjadi titik perhatian adalah wujud itu
sendiri tanpa dikaitkan dengan yang lainnya. Dalam gradasi wujud, wujud yang
paling puncak adalah wujud wajib atau disebut juga dengan al-wujûd bi
al-syart lâ dikarenakan pada maqam tersebut yang ada hanya wujud. Namun
dalam irfan al-wujûd bisyart lâ adalah maqam Ahadîyah.[32]
Ketiga, al-wujûd lâ bisyart; pembahasan al-wujûd lâ bisyart dalam
irfan dibagi menjadi dua bagian yaitu al-wujûd lâ bisyart qismî dan al-wujûd
lâ bisyart maqsamî sebagaimana pembahasan konsiderasi quiditas di atas. Al-wujûd
lâ bisyart qismî dalam irfan adalah nafas al-raħmân atau biasa juga
disebut dengan faîdh al-munbasîth (emanation of expanded) atau
wujud mutlak dimana mutlak dalam konteks ini merupakan limitasi (qaîd)
bagi wujud. sedangkan al-wujûd lâ bisyart maqsamî adalah zat dan juga
hakikat segala sesuatu dimana yang lainnya bergantung kepadanya, wujud-wujud
lainnya menolak ketiadaan dengan perantara wujud mutlak maqsamî, bahkan
wujud mutlak qismî mendapatkan kemutlakannya dengan wujud mutlak maqsamî.
Mutlak qismî dalam
pandangan irfan adalah mutlak dengan limitasi sarayân (flow).
Misalnya dalam gradasi wujud dijelaskan bahwa wujud mutlak mengalir dalam
seluruh tingkatan wujud, mulai dari tingkatan yang paling atas hingga tingkatan
yang paling bawah. Wujud dalam konteks ini memiliki limitasi mutlak yaitu
dengan mutlak sarayân. Oleh karena itu dalam irfan mutlak sarayân masih
terbilang sebagai salah satu jenis determinasi (ta‘ayyun). Sedangkan
mutlak maqsamî diluar (beyond) dari mutlak sarayân, maksudnya
bahwa mutlak maqsamî adalah sarayân dan juga diluar dari sarayân.
Di sinilah
dikatakan bahwa mutlak maqsamî adalah dirinya mutlak dan juga
terlimitasi, dan juga tidak mutlak dan juga tidak terlimitasi. Oleh karena itu
wujud Tuhan dalam pandangan irfan adalah al-wujûd lâ bisyart maqsamî dan
dengan kemutlakan maqsamî-nya akan menyebabkan dirinya satu-satunya
objek atau mishdaq dari wujud dan sekaligus wujudnya mengisi seluruh
entitas-entitas yang ada.
Dasar
Pemikiran Filsafat Mullâ Shadrâ
Hikmah Muta‘aliyah merupakan seri baru
dari proses perjalanan menyempurna filsafat Islam bahkan bisa dianggap sebagai
titik puncak dari perjalanannya. Hal ini dikarenakan hikmah muta‘aliyah; baik
kalam, filsafat, irfan, beserta teks-teks suci bersatu padu hingga membuahkan
sebuah prinsip baru dan pemikiran alternatif baru yang disebut dengan hikmah
muta‘aliyah. Oleh karena itu pembaharuan pemikiran filsafat Islam yang
disuguhkan oleh Mullâ Shadrâ sangat ditunjang oleh pendekatan dan metodologi
yang digunakannya. Dalam menggapai hakikat realitas dibutuhkan usaha suluk,
baik suluk melalui riyadhah atau penyucian diri maupun suluk melalui akal
pikiran dari akal potensi menuju akal mustafad hingga menyatu dengan
akal aktif.
Menurut Mullâ Shadrâ,
ketidakmampuan sebagian Filsuf menyelesaikan sebagian persoalan filsafat
selain disebabkan mereka tidak melakukan penyucian jiwa, namun juga dikarenakan
mereka lebih banyak menyisakan waktunya dalam ilmu-ilmu partikular. Kesempatan
lain, Mullâ Shadrâ juga meyakini tidak cukup jika hanya menyandarkan pada
syuhûd semata dalam menyingkap hakikat realitas karena untuk meraih
penyingkapan yang sempurna niscaya dibutuhkan argumentasi atau akal rasio
murni. Selain itu, posisi burhan atau argumentasi bagi Mullâ Shadrâ merupakan
bahasa yang paling baik dalam menjelaskan syuhûd dan mukâsyafah. Keambiguan
bahasa urafa dalam menjelaskan pengalamannya merupakan bukti ketidakmampuan
mereka dalam membahasakan syuhûd dan mukâsyafah, dan hal tersebut disebabkan
karena urafa tidak menjalani suluk intelektual.
Mullâ Shadrâ juga mengikuti para Filsuf
sebelumnya bahwa metode syuhûd lebih tinggi dibandingkan dengan metode burhan
atau argumentasi, akan tetapi menurutnya harus diakui bahwa metode riyadhah dan
jihadun nafs adalah metode yang sangat sulit dan hanya sedikit yang mampu
sampai pada tujuan yang dimaksud, karena metode ini tantangannya sangat banyak
sehingga mungkin saja manusia jatuh dalam kesalahan.
Oleh karena itu Mullâ Shadrâ memberikan
nasehat kepada kita bahwa dari pada meninggalkan akal dan argumentasi dan
memilih jalan riyadhah, lebih baik menjalankan apa yang dilakukan oleh sebagian
filsuf sebelumnya yaitu mencoba untuk menyingkap hakikat realitas dengan
argumentasi namun di samping itu tetap melakukan riyadhah agar dirinya mampu
syuhûd dan mukâsyafah. Mullâ Shadrâ sama sekali tidak melihat adanya
pertentangan antara argumentasi dan syuhûd, bahkan Mullâ Shadrâ meyakini bahwa
keduanya yaitu intelek dan syuhûd memiliki substansi yang sama yaitu sama-sama
memberikan pengetahuan kepada jiwa manusia.
Dalam mendapatkan pengetahuan melalui
syuhûd proses penyingkapannya dengan riyadhah sedangkan dalam mendapatkan
pengetahuan melalui argumentasi proses penyingkapannya dengan membangun premis-premis
sehingga sampai kepada kesimpulan. Oleh karena itu sebagaimana ‘urafa dalam
suluk spiritualnya harus menjalani empat perjalanannya yang diawali dengan
membersihkan aspek lahiriyahnya, kemudian membersihkan aspek batiniyahnya, lalu
menghiasi jiwa dan akhirnya sampai kepada fana zat sehingga sampai pada sumber
pengetahuan dan menyatu denganNya. Begitu pula dengan seorang Filsuf dalam
suluk intelektualnya harus menjalani empat perjalanannya yang dimulai dari akal
potensi, akal aktual, akal disposisi, akal mustafâd sehingga bisa
menyatu dengan akal aktif.
Beberapa
Prinsip Pemikiran Mullâ Shadrâ
Prinsip Wahdah al-Wujûd merupakan
pondasi ontologis dalam irfan. Di sisi lain juga harus diakui bahwa hal yang
paling penting yang membentuk sistem filsafat hikmah muta‘aliyah adalah pondasi
ontologisnya yang menjelaskan hakikat eksistensi berikut atribut-atributnya. Di
antara prinsip ontologi filsafat hikmah muta‘aliyah adalah sebagai berikut:
1. Fundamental wujud dan
Idealitas quiditas (ishâlah al-wujûd wa i‘tibariyah al-mâhîyah).
Prinsip fundamental wujud
merupakan prinsip yang paling dasar di antara beberapa prinsip yang ada dalam
filsafat hikmah muta‘aliyah. Oleh karena prinsip ini merupakan pondasi dalam
menjelaskan prinsip-prinsip lainnya seperti gradasi wujud, kopula kausal, gerak
substansi, dan prinsip-prinsip penting lainnya. Bahkan bisa dikatakan bahwa
jika ada yang menolak prinsip fundamental wujud ini berarti sama saja ia
menolak prinsip-prinsip lain filsafat hikmah muta‘aliyah. Mullâ Shadrâ
mengatakan bahwa sebagian argumentasi Ibn Sina sejalan dengan prinsip
fundamental wujud.[33]
Tema ‘fundamental wujud’ merupakan
pemikiran orisinil Mullâ Shadrâ dan pembahasan tentang; setiap entitas memiliki
dua aspek yaitu eksistensi dan quiditas. Sebelum membahas fundamental
wujud dan idealitas quiditas, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu makna
dari fundamental (ishâlah) dan idealitas (i‘tibârî). Istilah
fundamental dan idealitas digunakan dalam beragam makna. Istilah tersebut
memiliki tiga makna[34]
kaitannya dengan pembahasan wujud yaitu:
a. Masing-masing
keberadaan dialam eksternal ketika dipersepsi memiliki dua aspek di dalam benak
kita, aspek pertama berkaitan dengan konsep eksistensi dan aspek kedua
berkaitan dengan konsep quiditas. Jika kita meyakini bahwa wujud sebagai
representasi realitas eksternal maka wujud yang fundamental sedangkan quiditas
hanya idealitas semata dan begitupun sebaliknya, jika quiditas sebagai
representasi realitas eksternal maka quiditas yang fundamental dan wujud hanya
idealitas semata.
b. Yang dimaksud dengan
fundamental yaitu yang menjadi sumber efek atau pengaruh. Maksudnya bahwa
setiap entitas dialam eksternal memberikan efek dan pengaruh yang
berbeda-berbeda. jika diyakini bahwa yang menjadi sumber efek adalah wujud maka
wujud yang fundamental sedangkan quiditas hanya idealitas semata dan begitupun
sebaliknya, jika yang menjadi sumber efek adalah quiditas maka quiditas yang
fundamental sedangkan wujud hanya idealitas semata.
c. Makna lain dari
fundamental yaitu suatu entitas yang ada dengan sendirinya (maujud bizâtih).
Maksudnya bahwa predikat wujud terhadap entitas tersebut tidak membutuhkan
perantara lain. Predikat wujud secara langsung dinisbahkan pada entitas
tersebut. Oleh karena itu jika diyakini bahwa wujud yang fundamental berarti
wujud ada dengan sendirinya tanpa melalui perantara apapun dan quiditas ada
dengan yang lain (bi al-‘aradh). Begitupun sebaliknya, jika quiditas
yang fundamental berarti quiditas ada dengan sendirinya tanpa melalui perantara
apapun dan wujud ada dengan yang lain.
Di antara ketiga makna fundamentalitas
di atas, makna pertama yang sering digunakan dalam menjelaskan fundamental
wujud, berikut kemudian makna kedua dan ketiga yang juga biasa digunakan dalam
menjelaskan makna fundamentalitas. Hal lain yang perlu dijelaskan sebelum
menjelaskan argumentasi fundamental wujud adalah menjelaskan definisi dari
quiditas bahwa quiditas dalam pembahasan ini yaitu berkenaan dengan ke-apa-an
(whatness) sesuatu (mâ yuqâlu fi jawâbi mâ huwa). Berikut ini adalah
argumentasi tentang fundamentalitas wujud:
Argumentasi pertama; dalam kitab
al-masyâ‘ir[35]
bagian al-masy‘ar al-tsâlits fi tahqîq al-wujûd ‘aînan; penjelasan al-syâhid
al-tsânî. Berikut ini kesimpulan argumentasi Mullâ Shadrâ; apa sebenarnya
yang dimaksud eksternal dan internal (alam mental) ketika kita mengatakan ‘ini
berada di alam eksternal’ dan ‘itu berada di alam mental (zihn). Makna
konteks dari ‘berada’ di sini bukan dalam pemaknaan wadah, tempat, dan ruang.
Namun makna dari ‘berada’ di sini bahwa sesuatu yang berada di alam eksternal
memiliki efek-efek tertentu sedangkan di alam mental sesuatu tersebut tidak
lagi memiliki efek sebagaimana pada realitas eksternal. Oleh karena itu yang
memberikan efek adalah wujud dan bukan quiditas. Kesimpulannya bahwa wujudlah
yang fundamental sedangkan quiditas hanya idealitas
semata.
Argumentasi kedua; masih dalam
kitab yang sama penjelasan al-syâhid al-râbi‘.[36]
Kesimpulan dari argumentasi tersebut sebagai berikut; jika bukan wujud yang
fundamental maka tidak akan ada satu entitas manapun yang dapat mewujud di alam
eksternal. Karena entitas lain yang mungkin eksis di alam eksternal selain dari
wujud adalah quditas. Padahal quiditas sebagaimana quiditas dalam zat dirinya
adalah tidak ada dan juga tidak akan ada (al-mâhiyah min haitsu hiya lâ
maujudah wa lâ lâ maujudah).
Argumentasi ketiga; masih dalam
kitab yang sama penjelasan al-syahid al-khâmis.[37]
Quiditas sebagaimana quiditas jika dilihat dari aspek zatnya dapat
dipredikatkan pada individu-individu dan personalitas-personalitas yang banyak.
Hal ini dikarenakan dalam zat quiditas tidak ada partikular, personalitas, dan
individu, bahkan jika quiditas-quiditas digabungkan dalam jumlah yang sangat
banyak, tetap tidak akan pernah menghasilkan personalitas dan identitas. Oleh
karena itu jika bukan wujud yang menjadi dasar akan realitas eksternal maka
realitas eksternal tidak akan memiliki personalitas dan identitas partikular (tasyahkhus)
dan jika tidak ada identitas partikular maka realitas eksternal tidak akan
mewujud sebab wujud tidak akan ada tanpa adanya identitas partikular.
Kesimpulannya adalah wujudlah yang fundamental dan quiditas hanya identitas
semata. Ketiga prinsip di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
dasar akan realitas eksternal adalah wujud dan selain wujud yaitu quiditas
hanya idealitas semata. Maksud dari idealitas di sini bahwa keberadaan quiditas
disebabkan karena keberadaan hakikat wujud atau berkat pancaran hakikat wujud.
2. Gradasi Wujud
Prinsip gradasi wujud merupakan sebuah
prinsip yang menjelaskan hubungan antara ketunggalan (wahdah) dan
pluralitas (katsrah) wujud. Konsepsi tentang Wahdah al-Wujûd dalam
pandangan Shadrâ sangat berkaitan dengan prinsip ini yang menjelaskan hubungan
antara ketunggalan dan pluralitas.
Prinsip fundamental wujud
menjelaskan bahwa yang menjadi dasar realitas eksternal secara hakiki adalah
wujud. Selanjutnya kita menyaksikan bahwa dalam benak kita terdapat berbagai
konsep yang berbeda-beda yang merepresentasikan realitas eksternal. Jika
demikian halnya apakah beragam konsep yang ada dalam benak kita merupakan
realitas hakiki yaitu bahwa pada realitas eksternal memang terdapat beragam
pluralitas wujud atau hanya imajinasi semata yang sama sekali tidak
merepresentasikan realitas eksternal. Jika hakikat realitas itu tunggal lalu
mengapa terdapat beragam konsep dalam benak kita dan begitupun sebaliknya bahwa
jika hakikat realitas itu plural lalu mengapa terdapat sebuah konsep yang
bermakna umum yang dipahami melalui seluruh hakikat realitas tersebut.
Oleh karena itu dalam gradasi
membutuhkan kedua aspek tersebut baik aspek kesamaan maupun aspek perbedaannya.
Pada prinsipnya gradasi tidak berlaku pada quiditas sebab antara satu quiditas
dengan quiditas lainnya berbeda secara totalitas atau diversity (tabâyun)
dan tidak terdapat aspek kesamaan di antaranya, misalnya antara ke-air-an
dengan ke-api-an jika dilihat dari sisi quiditasnya tanpa melibatkan wujudnya
maka tidak akan ada sisi kesamaannya sama sekali. Oleh karena itu gradasi hanya
berkaitan dengan wujud.
Kemudian jika tidak ada pluralitas maka
yang terjadi hanya kesatuan dan tentunya tidak akan ada perbedaan padahal baik
kesatuan maupun pluralitas keduanya harus aktual agar gradasi bisa terjadi.
Selanjutnya perbedaan dan persamaan dalam satu wujud harus kembali pada satu
aspek, berikut argumentasi gradasi wujud:
a. Premis pertama; kita menyaksikan
bahwa realitas eksternal terdiri dari beragam realitas eksistensi, dan hal ini
tidak membutuhkan dalil karena diketahui secara aksioma (badihi).
b. Premis kedua; antara satu wujud
dengan wujud lainnya secara esensi tidak memiliki perbedaan secara totalitas.
Jika antara satu wujud dengan wujud lainnya terjadi perbedaan secara esensi
maka akan meniscayakan konsep wujud yang tunggal diabstraksi dari beragam wujud
tanpa adanya aspek kesamaan di antara beragam wujud tersebut, dan sebagaimana
diketahui tidak mungkin mengabstraksikan sebuah konsep yang tunggal dari
wujud-wujud yang beragam tanpa adanya aspek kesamaan di antaranya.
Kesimpulannya bahwa realitas eksternal memiliki hakikat yang satu.
c. Kita menyaksikan
bahwa di antara realitas eksternal tersebut ada yang wujudnya lebih kuat
seperti wujud sebab dan ada yang wujudnya lebih lemah seperti wujud akibat. Ada
yang wujudnya lebih dahulu seperti wujud akal dan ada yang wujudnya lebih
terakhir seperti wujud imajinal (mitsâlî) dan wujud materi. Kesimpulan
dari ketiga premis di atas yakni realitas eksternal memiliki hakikat yang
tunggal dan hakikat yang tunggal tersebut memiliki tingkatan yang berbeda-beda
atau bergradasi; ada wujud yang kuat dan ada wujud yang lemah, ada wujud yang
lebih dahulu dan ada wujud yang lebih akhir.
3. Kopula Kausal (rabth
‘illî)
Bangunan sistem alam ini biasanya
dijelaskan dengan prinsip kausalitas dan begitu juga dengan fenomena-fenomena
materi. Prinsip kopula kausal menjelaskan tentang bentuk relasi sebab dan
akibat. Salah satu pertanyaan penting dalam persoalan ini yaitu apa sebenarnya
yang meniscayakan akibat bergantung kepada sebab. Sebagian mutakallim (teolog)
menjelaskan bahwa yang meniscayakan akibat bergantung kepada sebabnya adalah
sisi kebaruannya (huduts) dan sebagian filsuf menjelaskan bahwa akibat
bergantung kepada sebabnya karena aspek mumkin (contingent) itu sendiri.
Menurut Mullâ Shadrâ jika prinsip fundamental wujud diterima maka kita tidak
bisa lagi mengatakan bahwa yang menjadi dasar kebergantungan akibat pada sebab
adalah karena aspek mumkinnya karena konteks mumkin di sini lebih sesuai dengan
prinsip fundamental quiditas (ishâlah al-mâhiyah). Oleh karena itu dasar
kebergantungan akibat kepada sebab dikarenakan aspek kefaqiran wujudnya atau dalam
istilah Mullâ Shadrâ disebut dengan mumkin faqri (imkân al- faqrî). Di
sini Mullâ Shadrâ menjelaskan gagasannya yang sangat khas bahwa akibat adalah
kopula itu sendiri kepada sebab (‘aîn al-rabth bi al-‘illah). Akibat
bukanlah sesuatu dimana didalam dirinya ada zat dan kemudian akibat disifatkan
pada zat tersebut, akan tetapi zat dirinya adalah akibat itu sendiri. Oleh
karena itu antara zatnya dan sifat akibat tidak bisa mungkin terpisahkan.
Wujud kopula tidak memiliki quiditas
karena sesuatu yang memiliki quiditas berarti sesuatu tersebut bersifat
independen sebab quiditas adalah jawaban terhadap pertanyaan tentang ke-apa-an
sesuatu. Sedangkan wujud kopula adalah wujud yang bergantung pada kedua sisi
yaitu subjek dan predikat sehingga dirinya tidak memiliki identitas independen
kecuali sebagai wujud penghubung itu sendiri. Wujud kopula yang ada di alam
mental mungkin mudah dipahami karena berfungsi dalam menjelaskan relasi antara
subjek dan predikat.
Dalam realitas eksternal terdapat wujud
yang secara sepintas sama dengan wujud kopula yang dimaksud yaitu wujud
aksiden. Wujud kopula dan wujud aksiden sama-sama bergantung pada sesuatu.
Sebagaimana wujud kopula bergantung pada subjek dan predikat, wujud aksiden
juga bergantung pada substansi. Mullâ Shadrâ tidak hanya meyakini bahwa wujud
kopula ada di alam realitas eksternal; bahkan lebih dari itu, Mullâ Shadrâ
meyakini bahwa segala sesuatu selain Tuhan adalah wujud kopula dan mereka ada
dengan keberadaan Tuhan. Berikut ini argumentasi Mullâ Shadrâ[38]
dalam membuktikan hal tersebut:
a. Premis pertama; setelah meyakini
bahwa yang menjadi dasar di alam eksternal adalah wujud (ishâlah wujud)
maka baik sebab maupun akibat keduanya terjadi dalam hakikat realitas wujud.
b. Premis kedua; ke-akibat-an akibat
adalah zat akibat itu sendiri. Sebab jika tidak demikian berarti ke-akibat-an
merupakan sesuatu yang ditambahkan pada zat akibat dan hal ini akan
meniscayakan akibat secara esensi tidak butuh pada sebab, karena zat akibat
terpisah dengan sifat akibat, padahal akibat senantiasa bergantung pada sebab
dan hal ini tidak akan terjadi kecuali dalam zat, akibat adalah akibat itu
sendiri.
c. Premis ketiga; hakikat sebab adalah
suatu entitas yang memberikan wujud. Suatu entitas disebut dengan sebab hakiki
jika dirinya memberikan wujud kepada akibat, oleh karena itu kebergantungan
akibat kepada sebab adalah kebergantungan eksistensial.
Oleh karena itu, akibat adalah
kebergantungan dan kopula itu sendiri. Akibat bukan suatu zat yang memiliki
wujud (wujud fî nafsih) di mana zat yang memiliki wujud tersebut
bergantung pada yang lain. Oleh karena itu ke-akibat-an dengan zat akibat tidak
mungkin terpisahkan. Sebenarnya dalam realitas eksternal hanya ada satu hakikat
semata yaitu yang memberikan wujud dan juga yang diwujudkan dan sekaligus wujud
itu sendiri. Dalam kata lain hubungan kausalitas, sebab sebagai pemberi wujud
dan wujud akibat adalah dua pemahaman yang diabstraksi melalui satu hakikat.
4. Hakikat yang
sederhana adalah Segala Sesuatu (bashîth al-haqîqah kullu al-asyyâ).
Prinsip bashîth al-haqîqah kullu
al-asyyâ salah satu prinsip penting dalam filsafat hikmah muta‘aliyah.
Peranan serta posisi penting prinsip ini karena memberikan solusi alternatif
dalam menyelesaikan beberapa persoalan penting dalam filsafat, khususnya dalam
membuktikan tauhid zat dan juga dalam menyelesaikan persoalan ilmu Tuhan
terhadap segala sesuatu dalam maqam zat secara terperinci. Mullâ Shadrâ
mengakui bahwa prinsip ini diperolah melalui hikmah ‘arsyiyah malakuti ilahi
dan tema prinsip ini disebut dengan burhân ‘arsyi.[39]
Tidak semua orang mampu memahami prinsip ini dengan baik. Prinsip ini hanya
akan dipahami oleh orang-orang yang telah diberikan ilmu ladunni oleh
Allah swt.[40]
Dalam prinsip ini terdapat beberapa
rangkaian terminologi seperti sederhana (bashith) dan segala sesuatu (al-asyyâ)
yang akan kami jelaskan sebelum menjelaskan argumentasi prinsip tersebut.
Pengertian dari sederhana di sini adalah kesederhanaan mutlak yang sama sekali
tidak terdapat rangkapan atau susunan di dalamnya. Terdapat beberapa jenis
bentuk rangkapan seperti rangkapan dari materi dan bentuk, genus dan difrensia,
wujud dan quiditas, ada (wijdân) dan tidak ada memiliki (fiqdân).
Jika wujud tersebut merupakan kesederhaan mutlak maka tidak satupun dari bentuk
rangkapan tersebut melekat padanya. Oleh karena itu entitas yang keluar dari
lingkaran wujud maka entitas tersebut tidak bisa disebut dengan sesuatu. Jika
suatu wujud merupakan objek acuan (mishdaq) dari kesederhanaan mutlak
maka wujud tersebut memiliki kesempurnaan segala sesuatu.
Dari sini kami akan menguraikan
argumentasi prinsip bashîth al-haqîqah kullu al-asyyâ yang kami
simpulkan dari argumentasi Mullâ Shadrâ dalam kitabnya al-syawâhid
al-rubûbiyah.[41]
Berikut ini argumentasi bashîth al-haqîqah kullu al-asyyâ:
a. Premis pertama; berdasarkan prinsip
fundamental wujud dan gradasi wujud bahwa rangkaian sebab dan akibat dimulai
dari puncak piramida eksistensi hingga derajat eksistensi yang paling bawah
yaitu alam materi.
b. Premis kedua; sebagaimana
dijelaskan dalam pembahasan kausalitas bahwa sebab hakiki adalah sebab yang
memberikan wujud atau kesempurnaan, maka setiap wujud yang memberikan
kesempurnaan pasti kesempurnaan tersebut dimiliki olehnya dan hal ini jelas
karena; ‘yang tak punya tak mungkin memberi’. Oleh karena itu wujud tersebut
memiliki seluruh kesempurnaan pada tingkatan eksistensi setelahnya.
c. Premis ketiga; wujud-wujud yang
berada pada tingkatan setelahnya pasti memiliki rangkapan baik itu rangkapan
dari wujud dan quiditas atau tersusun dari sempurna dan tidak sempurna.
Rangkapan-rangkapan tersebut tidak mungkin melekat pada hakikat yang sederhana
dan oleh karenanya kesempurnaan eksistensi dan hakikat dirinya mewujud dalam
hakikat yang sederhana yang tidak memiliki keterbatasan dan kekurangan. Sebab
jika demikian halnya akan membuat rangkapan dan kekurangan dalam zat hakikat
yang sederhana.
Kesimpulannya
hakikat yang sederhana memiliki seluruh hakikat dan kesempurnaan wujud-wujud
setelahnya dalam bentuknya yang paling sempurna dan tanpa rangkapan sama sekali.
Oleh karena itu, ‘segala sesuatu’ hakikatnya ada dalam hakikat yang sederhana
dan segala sesuatu merupakan pancaran dari hekikat yang sederhana. Hakikat yang
sederhana terpancar dalam segala sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar