Bidang-bidang yang masuk dalam wilayah filsafat dan merupakan konsep-konsep dasar filsafat meliputi:
1). Metafisika, yaitu suatu usaha untuk sampai pada teori umum dalam rangka menerangkan dan melukiskan alam semesta sebagai satu keseluruhan.
Hal ini metode yang digunakan bukan metode empirik, tetapi deduktif, sehingga muncullah pengertian metafisika sebagai berikut:
a. Metafisika adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu penjelasan yang benar tentang kenyataan.
b. Metafisika adalah studi tentang sifat dasar kenyataan dalam aspeknya yang sangat umum sejauh hal itu dapat dicapai manusia.
c. Metafisika adalah studi tentang “kenyataan yang terdalam” dari semua hal.
d. Metafisika adalah suatu usaha intelektual yang sungguh sungguh untuk melukiskan sifat sifat umum dari kenyataan.
e. Metafisika adalah teori tentang sifat dasar dan struktur dari kenyataan.
Metafisika sangat luas bahasannya, sehingga metafisika dapat dibahas dalam tiga cabang, yaitu: ontologi, kosmologi, dan antropologi metafisik.
a). Ontologi, adalah ilmu yang menyelidiki sifat dasar dari objek-objek fisis, hal universal, dan abstrak.
Oleh sebab itu, ontologi merupakan teori tentang prinsip-prinsip umum dari hal ada, atau ontologi dapat dipandang sebagai teori mengenai yang ada.
b). Kosmologi adalah ilmu yang menyelidiki tentang tata-tertib yang sangat fundamental dalam kenyataan.
c). Antropologi metafisik adalah ilmu yang menyelidiki tentang manusia yang berkaitan dengan pertanyaan pertanyaan tentang hakikat manusia dan pentingnya dalam alam semesta.
d). Epistemologi
Yaitu: cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan kesahihan pengetahuan. Sedangkan filsafat ilmu mempelajari tentang ciri ciri pengetahuan ilmiah dan cara bagaimana mendapatkannya.
Oleh sebab itu mempelajari epistemologi dan filsafat ilmu diharapkan dapat membedakan antara pengetahuan dan ilmu serta mengetahui dan menggunakan metode yang tepat dalam memperoleh suatu ilmu
7. Aliran aliran Filsafat.
Aliran-aliran filsafat dasarnya adalah: a. Persoalan tentang keberadaan (dimensi ontologis) b. Persoalan pengetahuan (dimensi epistemologis) c. Persoalan nilai-nilai (dimensi aksiologis)
Ad. a. Persoalan tentang keberadaan (dimensi ontologism), bahwa keberadaan dapat dilihat dari dua kategori, yaitu: (lihat bagan di bawah ini).
Ada dibedakan menjadi dua, yakni:
a. Kuantitas;
b. kualitas
ad. a.Kuantitas terdiri dari: 1). Monisme (satu) ; 2). Dualisme (dua) ; 3). Pluralisme (banyak)
Ad.b.Kualitas terdiri dari: Spiritualisme dan Meterialisme
Keterangan tentang keberadaan dipandang dari segi kuantitas, yaitu:
Ad. Monisme,
Yaitu aliran yang menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan fundamental di jagad raya ini dapat berupa: Tuhan atau substansi lain, seperti jiwa, materi. Dll. yang tak dapat diketahui.
Tokohnya, seperti:
Thales (abad 6 Seb. M.) Mengatakan air sebagai substansinya,
Anaximandros (abad 6 Seb. M) mengatakan bahwa Apeiron, yaitu sesuatu yang tak terbatas sebagai substansinya,
Baruch Spinoza (abad 17 M) berpendapat bahwa satu substansi itu adalah Tuhan yang dalam hal ini Tuhan diidentikkan dengan alam (Yunani: Naturans naturata).
Ad. Dualisme
Yaitu: aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing masing berdiri sendiri-sendiri.
Tokohnya, yaitu:
Plato (427-347 Seb. M). Yang membedakan adanya dua dunia, yaitu dunia indra (dunia bayang-bayang) dan dunia intelek (dunia idea).
Rene Descartes (1596-1650), yang membedakan substansi pikiran dan substansi keluasan.
Immanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki (noumena)
Ad. Pluralisme, yaitu:
Aliran yang tidak mengakui adanya satu substansi atau dua substansi, melainkan banyak substansi sebagai kenyataan yang fundamental.
Tokohnya, yaitu:
Empedokles (490-430 Seb. M), yang menyatakan bahwa hakekat kenyataan terdiri dari empat unsur, ialah udara, api, air, dan tanah.
Anaxagoras, yang menyatakan bahwa hakikat kenyatan terdiri dari unsur-unsur yang tak terhitung jumlahnya, sebanyak jumlah sifat-sifat benda dan semuanya itu dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan “nous”.
Dikatakan olehnya bahwa “nous” adalah suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur, tapi tidak diatur.
Tokoh-tokoh pendukungnya adalah filsuf Postmodern, seperti Mitchel Foucault, J.J. Derrida, dan J.F. Lyotard (mereka sebagai tokoh yang memihak pada aliran pluraslisme)
Keterangan tentang keberadaan dipandang dari segi kualitas/sifatnya, adalah:
Ad. Spiritualisme,
Yaitu aliran yang menyatakan bahwa kenyataan fundamental adalah jiwa (pneuma, nous, reason, logos).
Jadi, yang mendasari seluruh alam ini adalah jiwa, sehingga ini dilawankan dengan materialisme.
Tokoh-tokohnya, yaitu:
Plato (427-347 Seb. M), yaitu dengan ajarannya tentang idea (cita). Idea (cita) adalah gambaran asli segala benda. Jadi semua benda yang ada di alam raya ini hanyalah merupakan bayangan idea saja.
Ad. Materialisme, yaitu:
Aliran yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang nyata keculi materi.
Pikiran dan kesadaran hanyalah penjelmaan dari materi dan dapat dikembalikan pada unsur-unsur fisik.
Jadi hal-hal yang bersifat kerochanian, seperti pikiran, jiwa, keyakinan, rasa sedih, dll. Tidak lain hanyalah ungkapan proses kebendaan.
Tokohnya, yaitu:
Demokritos (460-370 Seb. M) yang mengatakan bahwa alam semesta ini tersusun dari atom-atom kecil yang memiliki bentuk dan badan.
Atom-atom ini sifatnya sama, dan bedanya hanya pada bentuk, besar, dan letaknya. Oleh sebab itu jiwa pun terjadi dari atom-atom, hanya saja atom jiwa lebih kecil, bulat, dan sangat halus, serta mudah bergerak.
Thomas Hobbes (1588-1679), yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini merupakan gerak dari materi, termasuk juga pikiran, perasaan adalah gerak materi belaka.
Jadi, segala sesuatu terjadi dari benda-benda kecil, sehingga filsafat sama dengan ilmu yang mempelajari benda-benda.
ad. b. Persoalan pengetahuan yang bertalian dengan sumber-sumber pengetahuan (dimensi epistemologis), yaitu berupa:
1). Aliran rasionalisme
Yaitu, aliran yang berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber pada akal (rasio).
Tokohnya, ialah:
Rene Desacartes (1596-1650), mengatakan bahwa manusia sejak lahir telah memiliki idea bawaan (innate ideas). Dan tokoh yang lain, yaitu: Spinoza, dan Leibniz.
Pada perkembangan dewasa ini muncul aliran “Rasionalisme kritis” dengan tokohnya Karl R. Popper (1902- )
2). Aliran empirisme,
Yaitu aliran yang berpandangan bahwa semua pengetahuan diperoleh liwat indera.
Prosesnya: Indera memperoleh kesan-kesan dari alam nyata, kemudian kesan-kesan itu berkumpul dalam diri manusia yang kemudian diolah menjadi pengalaman.
Tokohnya : John Locke (1632-1704), Thomas Hobbes (1588-1679), David Hume (1711-1776)
John Locke mengatakan, bahwa waktu lahir jiwa manusia adalah putih bersih (tabularasa), tidak ada bekal dari siapa pun.
Akal/ rasio pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Artinya, bahwa akal/ rasio tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri.
Jadi, semula akal serupa dengan secarik kertas putih yang tanpa tulisan, yang siap menerima sesuatu yang datang dari pengalaman.
John Locke tidak membedakan antara pengetahuan iderawi dan pengetahuan akali.
Satu-satunya obyek pengetahuan adalah idea-idea yang timbul karena empiri/ pengalaman lahiriah (sensation) dan karena pengalaman/ empiri batiniah (reflection).
Kedua macam pengalaman itu jalin menjalin, yaitu pengalaman lahiriah menghasilkan gejala-gejala psikis yang harus ditanggapi oleh pengalaman batiniah.
Yang dibedakan oleh John Locke adalah antara idea-idea tunggal (simple ideas) dan idea-idea majemuk (complex ideas).
Idea tunggal datang pada manusia langsung dari pengalaman, tanpa pengolahan logis, sedang idea majemuk timbul dari gabungan idea-idea tunggal.
Jadi, jika idea-idea secara teratur bersama menampilkan diri, maka idea-idea itu sebagai satu hal yang sama, yang berdiri sendiri, yaitu yang disebut substansi.
3). Aliran Kritisisme,
Yaitu: aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu berasal, baik dari dunia luar, maupun dari jiwa atau pikiran manusia.
Prosesnya: akal memperoleh pengetahuan dari empiri/ pengalaman, kemudian akal mengatur dan mentertibkan dalam bentuk pengamatan, yakni dalam bentuk ruang dan waktu.
Tokohnya: Immanuel Kant (1724-1804)
Immanuel Kant (1724-1804) seorang filsuf Jerman yang mencoba mengatasi pertikaian antara rasionalisme dan empirisme.
Mulanya Kant mengakui rasionalisme, kemudian empirisme datang mempengaruhinya. Waktu menghadapi empirisme, Kant tidak begitu saja menerimanya, karena Kant tahu bahwa empirisme membawa keraguan terhadap rasio.
Di satu pihak, Kant mengakui kebenaran indra, dan di lain pihak, Kant mengakui pula bahwa rasio mampu mencapai kebenaran.
Oleh sebab itu, Kant mengkompromisasikan antara kedaulatan rasio dengan kedaulatan empiri/ pengalaman, yaitu:
Bagaimanapun, fungsi rasio adalah yang pertama dan utama, namun rasio/ akal harus mengakui persoalan-persoalan yang ada di luar jangkauannya.
Pada waktu rasio tidak mampu meraih pengetahuan, maka di sinilah batas-batas di mana ketentuan akal itu tidak berlaku lagi, dan sejak itulah fungsi pengalaman/ empiri tampil sebagai suatu cara penyampaian pengetahuan.
Jadi, bagi Immanuel Kant adalah dari satu pihak mempertahankan objektivitas, universalitas, dan keniscayaan pengertian, namun dari lain pihak ia menerima bahwa pengertian bertolak dari fenomin-fenomin, dan tidak dapat melebihi batas batasnya.
Oleh sebab itu, filsafat Kant tekanannya terletak pada pengertian (kegiatan) pengertian dan penilaian manusia, bukan menurut aspek psikologis seperti dalam empirisme, melainkan sebagai analisa kritis.
4). Aliran Idealisme
Yaitu: aliran yang berpandangan bahwa dari suatu dasar menelurkan kesimpulan dan kemudian memberi keterangan tentang keseluruhan yang ada.
Artinya, bahwa pengetahuan itu tidaklah lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedang kenyataan yang diketahui manusia itu ada di luarnya.
Prosenya: Yang ada adalah berupa idea itulah yang disebut aliran idealisme.
Tokohnya: Fichte (1762-1814); Schelling (1775-1854); Hegel 1770-1831).
Fichte mengakui dan memberikan prioritas yang tinggi kepada Aku, sehingga dikatakan bahwa Aku adalah satu-satunya realitas.
Bedanya dengan Schlling yang juga tokoh idealisme, yaitu bahwa Schelling mengakui obyek (bukan Aku) itu sungguh sungguh ada.
Sehingga kalau bagi Fichte, obyek itu muncul dari Aku, maka Schelling mengatakan Aku (subyek) dari alam (bukan Aku) yang sungguh-sungguh ada.
Akan tetapi, munculnya Aku dari alam adalah yang telah sadar.
Jadi, tampak ada keserasian antara Fichte dan Schelling
Sedangkan bagi Hegel yang juga tokoh idealisme, mengatakan:
Bahwa dibedakan antara yang mutlak dan yang tidak mutlak.
Yang mutlak adalah jiwa, namun jiwa itu menjelma pada alam, dan sadarlah akan dirinya.
Jiwa adalah idea, yang artinya berpikir. Dan dalam diri manusia, idea itu sadar akan dirinya, maka manusia itu merupakan bagian dari idea yang mutlak, yatu Tuhan.
5). Aliran Positivisme,
Yaitu: aliran yang berpandangan bahwa kepercayaan kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi.
Artinya: bahwa filsafat hendaknya dan semata-mata mengenai dan berpangkal pada peristiwa-peristiwa positif, yaitu peristiwa-pristiwa yang dialami manusia.
Prosesnya: apapun yang berada di luar pengalaman tidak perlu diperhatikan.
Tokohnya: August Comte (1798-1857); Emile Durkheim (1858-1917); John Stuart Mill (1806-1873).
Menurut Comte, jiwa dan budi adalah basis dari teraturnya masyarakat. Oleh sebab itu, jiwa dan budi haruslah mendapatkan pendidikan yang cukup dan matang. Sehingga menutut Comte, bahwa sekarang saatnya hidup dengan mengabdi pada ilmu positif, seperti matematika, fisika, biologi, ilmu kemasyarakatan, dll.
Hal ini seperti dikatakan oleh Comte, bahwa pengetahuan manusia di dalamnya ditemukan tiga tahap ilmu pengetahuan, yaitu:
- Tahap ketika fenomena dijelaskan secara teologis seperti dilakukan pada Abad Tengah.
2. Tahap ketika fenomena dijelaskan secara metafisis seperti dilakukan pada periode Pencerahan.
3. Tahap ketika eksplanasi ditempuh melalui observasi hubungan hubungan serta ilmu ilmu yang mencapai konstruksi.
Jadi, Comte yakin bahwa ilmu-ilmu yang positivistik telah bergerak dari status yang lebih bersifat umum menuju tahap dan sifat yang lebih konkrit dan kompleks, seperti: matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi, dan sosiologi.
Comte mengatakan, bahwa budi atau pemikiran manusia mengalami 3 tingkatan, yaitu:
Tingkat teologis,
Tingkat metafisis,
Tingkat positif.
Pada tingkat teologis, manusia mengarahkan jiwanya kepada hakekat “batiniah” segala sesuatu dengan pengaruh dan sebab sebab yang melebihi kodrat, yaitu kepada “sebab pertama” dan “tujuan terakhir”.
Pada tingkat kedua, yaitu tingkat metafisika yang hanya perubahan saja dari teologis, karena yang hendak diterangkan harus melalui abstraksi.
Sebab kekuatan yang adikodrati hanya diganti dengan kekuatan yang abstrak, yang dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus.
Tingkat ketiga, yaitu tingkat positif di mana manusia menganggap, bahwa tidak ada gunanya untuk berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak, baik pengetahuan teologis, maupun pengetahuan metafisis.
Sebab tujuan tertinggi adalah bilamana gejala gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta yang umum saja, misal: gaya berat. Jadi di sini hanya memperhatikan yang sungguh sungguh dan sebab akibat yang sudah ditentukan.
Emile Durkheim yang mengatakan bahwa positivisme sebagai asas sosiologis.
John Stuart Mill menggunakan sistem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusasteraan.
6). Aliran Evolusionisme,
Yaitu: aliran yang berpandangan bahwa manusia adalah perkembangan tertinggi dari taraf hidup yang paling rendah.
Prosesnya: yaitu alam yang juga diatur oleh hukum hukum mekanik.
Berupa hukum survival of the fittest dan hukum struggle for live.
Tokohnya: Charles Darwin (1809-1882); Herbert Spencer (1820-1903).
Darwin mengatakan, bahwa manusia adalah perkembangan tertinggi dari taraf hidup yang paling rendah, yaitu alam, dan juga diatur oleh hukum-hukum mekanik Jadi, hukum survival of the fittest dan hukum struggle for live dari tumbuh-tumbuhan dan hewan berlaku pula bagi manusia.
Sedangkan bagi Herbert Spencer, yang dapat dikenal adalah “yang menjadi”, bukannya “yang ada”. Oleh sebab itu, proses dunia ini tiada lain merupakan berkumpulnya kembali gerak dan bahan. Maka, evolusi adalah peralihan hubungan yang lebih erat (integrasi) dalam bahan, yang dengan sendirinya disertai oleh perluasan gerak.
7). Aliran Eksistensialisme,
Yaitu: aliran yang berpandangan untuk mengerti seluruh realitas.
Artinya, bahwa manusia harus bertitik tolak pada manusia yang konkrit, yaitu manusia sebagai existensi; dan sehubungan dengan titik tolak ini maka bagi manusia existensi itu mendahului essensi.
Prosesnya, yaitu memahami secara sadar, apakah sebenarnya mengetahui itu, maka harus mengetahui manusia yang benar-benar ada.
Tokohnya: Martin Heidegger (1889- ); Karl Jaspers (1883- ); Jean Paul Sartre (1905- ).
Ciri-ciri aliran existensialisme adalah:
1. manusia menyuguhkan dirinya (existere) dalam kesungguhannya.
2. manusia harus berhubungan dengan dunia.
3. manusia merupakan kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badannya
4. manusia berhubungan dengan “yang ada”.
Hal di atas seperti dikatakan oleh Martin Heidegger, bahwa persoalan tentang “berada” hanya dapat dijawab melalui ontologi.
Artinya: jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan ini, maka agar berhasil harus dipergunakan metode “fenomenologis”.
Jadi, yang penting menemukan arti “berada” itu. Satu-satunya “berada” yang dapat dimengerti sebagai “berada”, ialah “berada”-nya manusia.
Catatan: harus dibedakan antara “berada” (Sein) dan “yang berada” (Seinde)
Ungkapan “yang berada” (Seinde) hanya berlaku bagi benda-benda, yang bukan manusia.
Jadi, benda-benda itu hanya “vorhanden”, artinya: hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu.
Keberadaan manusia disebut “Dasein”, artinya: “berada di dalam dunia”.
Oleh karena manusia “berada di dalam dunia”, maka manusia dapat memberi tempat kepada benda-benda yang di sekitarnya.
Ad. 3. persoalan dalam dimensi aksiologis (nilai-nilai) memunculkan aliran aliran:
- Aliran Hedonisme, yaitu aliran yang menganjurkan bahwa manusia untuk mencapai kebahagiaan yang didasarkan pada kenikmakatn, dan kesenangan.
Tokohnya: Epicurus (341-270 SM) yang menyatakan bahwa kesenangan dan kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia.
Epikuros mengatakan, bahwa manusia harus mengikuti tatanan dunia, tidak perlu takut mati, harus menggunakan kehendak yang bebas dan mencari kesenangan sebanyak mungkin. Namun, jika terlalu banyak kesenangan itu akan membuat sengsara. Oleh karena itu, manusia perlu membatasi diri dengan mengutamakan batin (Suparlan Suhartono, 2007: 102)
2. Aliran Pragmatisme, yaitu aliran yang menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kosekuensi-konsekuensi yang menguntungkan.
Tokohnya, yakni John Dewey (th. 1859-1952) mengatakan, bahwa kebenaran adalah dimisalkan manusia sedang tersesat di tengah hutan. Kepada diri sendiri manusia akan berkata dengan yakin bahwa “jalan keluarnya adalah ke arah kiri”. Pernyataan ini akan berarti jika manusia benar benar melangkah ke arah kiri. Selanjutnya, pernyataan ini benar apabila arah kiri itu pada akhirnya mengakibatkan konsekuensi positif, yakni benar-benar dapat membawa manusia tersebut keluar dari hutan itu.
Jadi, benar menurut pragmatisme bergantung pada kondisi-kondisi yang berupa (manfaat), kemungkinan dapat dikerjakan (workability), dan konsekuensi yang memuaskan (satisfactory results) ((Suparlan Suhartono, 2007: 81)
8. Tujuan, Fungsi, dan Guna Filsafat.
Jika dilihat, bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah deskripsi dan kontrol, apabila seni tujuannya kreativitas, kesempurnaan, bentuk, keindahan, komunikasi dan ekspresi, maka tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (Inggris:understanding and wisdom). Oleh sebab itu, filsafat memberi hikmah pada manusia, sehingga filsafat memberi kepuasan pada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan kebenaran.
Jadi, bagi manusia berfilsafat artinya mengatur hidupnya seinsaf-insafnya, sesentral-sentralnya dengan perasaan tanggung jawab.
Henry Bergson (1858-1941) berkata, bahwa berfilsafat itu ibarat berenang.
Jadi, masing-masing orang mempunyai gayanya sendiri-sendiri.
Oleh sebab itu, filsafat bukanlah barang hafalan, seperti 2x2=4 yang setiap orang mempunyai pendapat sama.
Setiap masalah filsafat dapat meluas menjadi pertanyaan akan sistem dan berakhir pada visi ahli filsafat.
Dengan kata lain, ciri dari filsafat pada akhirnya, ialah subyektif.
Hal di atas seperti dikatakan oleh Louis O. Kattsoff dalam buku Elements of Philosophy, yaitu: Bilamana anda mengaharapkan jawaban-jawaban yang tingkat terakhir atas persoalan-persoalan anda, artinya jawaban-jawaban yang oleh semua ahli filsafat saja akan dianggap merupakan kebenaran, maka anda akan kecewa sekali.
9. Penutup
Kesimpulan tentang pengertian filsafat secara umum
Dari uraian tentang filsafat di atas, dapat disimpulkan bahwa Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan mempergunakan akal sampai pada hakikatnya.
subjek aksidensia hakekat
Aksidensia terdiri dari 9 hal, yaitu:
1. Kualitas, tentang bagaimana mutu sesuatu
2. Kuantitas, pertanyaan mengenai jumlah.
3. Relasi, menunjuk suatu hubungan dengan hal lain.
4. Aksi, menunjuk pada perubahan pada suatu hal.
5. Pasi, menunjuk pada penerimaan perubahan atau dipengaruni oleh hal lain.
6. Tempat, menunjuk pada besar kecilnya sesuatu
7. Waktu, yang menyatakan bilamana sesuatu itu berada.
8. Sikap, menerangkan bagaimana sesuatu itu pada tempatnya.
9. Kedudukan, pengertian yang menjelaskan hal hal lain yang mengerumuni benda itu.
DaftarPustaka
Amsal Bakhtiar, 2004, Filsafat Ilmu, Jakarta, PT. Grafindo Persada
Bebbington, David, 1979, Patterns in history, , England, Inter-Varsity Press
Caputo, John D. 1987, Radical Hermeneutics, Bloomington and Indianapolis, Indiana University Press
Harun Hadiwijono, 1988, Sari Sejarah Fil safat Yunani,Yogyakarta, Penerbit Kanisius
Robert N. Beck, 1967, Perspectives in Social Philosophy, New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Sullivan, John Edward, 1970, Prophets of the West, New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc
Suparlan Suhartono, 2007, Dasar-dasar Filsafat, Ruzz Media.Yogyakarta, ArFil.
Surajiyo, 2008, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta, PT. Bumi Perkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar