Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa dalam khazanah pemikiran fiksafat Islam ditemukan sebuah pembagian Ilmu: huduri (knowledge by present) dan husuli (knowledge by prosses). Secara sederhana kita bisa memaknai ilmu huduri sebagai kesimpulan dari pengetahuan yang hadir secara langsung dalam diri manusia. Sedangkan ilmu husuli adalah pengetahuan yang membutuhkan proses atau instrument lain –dalam hal ini adalah akal –untuk melahirkan sebuah kesimpulan.
Pada kesempatan ini, saya akan mencoba membahas tentag kerangka ilmu husuli. Mengingat ilmu husuli (hasil/perolehan) ini sering digunakan dalam berbagai ruang diskusi yang membutuhkan kerangka dasar agar tidak terjadi kebuntuan berpikir. Selain itu, ilmu husuli bisa dikatakan sumber dari keragaman yang kerap menimbulkan konflik dan tidak jarang muncul sikap saling mengklaim diri. Maka dari itu perlu kiranya saya bahas proses konsepsi dan afirmasi sebagai dua tahap perolehan.
Setiap pengetahuan dan keyakinan manusia yang membutuhkan proses berpikir dan analisa, berawal dari konsep. Kata “konsep” dalam bahasa arab berarti tasawwur, sebuah bentuka kata masdar dari tasawwara-yatasawwaru yang mempunyai arti gambar, menggambarkan dan membentuk. Sehingga tasawwur adalah gejala bentuk yang muncul di alam mental. Konsep atau tasawur ini muncul di benak kita bisa berupa konsep tunggal, seperti: matahari, bulan, binatang, dsb. Ataupun konsep jamak, seperti: Matahari bersinar, cahaya bulan, binatang ternak, dsb.
Konsep terhadap segala sesuatu belum bisa dikatakan benar atau salah. Ia pada dirinya sendiri masih bersifat netral, sehingga belum tentu benar dan belum tentu juga salah. Untuk menjadikan konsep menjadi sebuah pengetahuan (knowledge), maka perlu alat untuk menilai kebenarannya.
Tindakan mengukur kebenaran sebuah konsep dinamakan dengan afirmasi. Afirmasi dalam bahasa arab berarti tasdiq, kata masdar dari asal kata shoddaqo-yushoddiqu yang memiliki makna membenarkan, memverifikasi dan menilai. Dengan demikian, afirmasi (tasdiq) adalah melakukan verifikasi terhadap konsep-konsep yang lahir di alam mental. Namun, perlu kita ingat di sini, bahwa verifikasi dalam disiplin filsafat Islam berbeda dengan verifikasi barat yang cenderung materialistik. Sehingga, kita perlu menelaah lebih jauh tentang apa alat yang dibutuhkan dalam melakukan verifikasi konsep.
Ada tiga alat untuk digunakan sebagai bentuk afirmasi terhadap konsep, yang kemudian ketiga alat tersebut menjadi basik epistemologis. Pertama adalah empirisme, paham ini mengatakan bahwa segala konsep yang muncul di benak atau alam mental kita hanya bisa diukur kebenarannya (diafirmasi) dengan pengalaman. Pengalaman, bagi kelompok ini adalah pengetahuan yang syarat akan materil. Maka, ketika mengatakan bahwa “Api itu panas”, untuk mengukur kebenarannya harus mengalami (atau dalam sains disebut eksperimentasi atau observasi) secara langsung kepada api itu sendiri. Jika setekah dilakukan eksperimentasi ternyata api itu memang menimbulkan panas, maka konsep “api itu panas” itu benar. Begitu juga sebaliknya, jika hasilnya ternyata tidak ada panas pada api, maka konsep tersebut salah. Akan tetapi, muncul sebuah pertanyaan, bagaimana jika konsepnya adalah sesuatu yang immaterial; seperti Tuhan, malaikat, surga, neraka dan sebagainya? pertanyaan in menjadi masalah tersendiri bagi mereka.
Kedua adalah skriptualisme. Paham ini menjadikan ayat-ayat Alqur’an, injil dan kita-kitab yang dianggap sakral lainnya sebagai standar ukuran dalam mengafirmasi konsep. Jika kita mengatakan “Malaikat lebih rendah dari manusia soleh,” maka seorang skriptualis akan menelusuri alqur’an dan mencari adakah ayat yang berbicara tentang derajat malaikat. Pada gilirannya, mereka akan menyatakan konsep di atas benar jika terdapat ayat yang secara tegas berbicara tentang itu, begitu juga sebaliknya. Di satu sisi mereka merasa telah melakukan bentuk afirmasi yang sesuai dengan doktrin agama, tapi di sisi lain tidak sedikit dari mereka yang malah terjebak pada makna literal (tekstual). Pengambilan makna seperti inilah yang seringkali lahir sikap fanatisme, eksklusifisme dan sektarianisme.
Tapai, pada dasarnya tidak ada –atau hampir tidak mungkin— orang yang bener-bener literalis pada saat memaknai sebuah ayat. Karena suatu pemahaman tidak seperti obat yang disuntikkan kepada pasien walau dalam keadaan tidak sadar. Mau-tidak-mau, setiap orang yang mau mengambil makna dalam al-qur’an niscaya membutuhkan pikiran. Hanya saja, letak perbedaannya dengan yang lainnya ialah orang-orang seperti ini tidak mengunakan pikirannya secara mendalam.
Alat afirmasi terakhir adalah rasionalisme. Paham ini menggunakan akal untuk mengukur setiap konsep yang muncul di alam mental kita. Oleh karena akal itu berdiri sendiri, maka sebelum kita menggunakannya dalam melakukan afirmasi, perlu kiranya kita memahami dasar-dasar logika secara umum sebelum masuk pada detail pembahasan dan pembagiaannya.
Setidaknya dasar-dasar logika yang sering dipakai oleh kaum rasional berkisar pada tiga kerangka: prima principia, prinsip kausalitas dan proposisi deduktif. Bagi kita yang telah mengenyam pengajaran ilmu logika pada semester pertama, tentu tidak asing lagi. Yang berbeda hanyalah perbedaan istilah, sementara makna dan aplikasinya sama. Prima prinsipia misalnya, bisa juga dikatakan sebagai pengayaan bentuk dari taqabul naqidain; prinsip kausalitas dalam ilmu mantiq disebut ‘illah wal-ma’lul; proposisi deduktif disebut dengan qodiyah yang di dalamnya terdapat mukoddimah kubra (premis mayor) danmukoddimah sugra (premis minor).
Ada tiga unsur dalam prima principia; prinsip identitas, prinsip non kontradiksi dan kemustahilan kemungkinan ketiga (self contradiction). Semua itu bisa kita contohkan srbagai berikut:
A sama drngan A, B sama dengan B (identitas)
A tidak sama dengan B, B tidak sama drngan C ( non-kontradiksi)
A sekalgus B, C sekaligus D (self contradiction)
Akan tetapi, perlu diingat, perbedaan antara kontradiksi dan hubungan relativitas. Sebagian orang menganggap bahwa relativitas itu tidak ada, karena seolah kemutlakan telah menjadi kepastian dengan bantuan prima principia. Jika saya katakan; A lebih besar dari B dan lebih kecil dari C, apakah bisa kita simpulkan bahwa A besar sekaligus kecil? inilah yang menjadi krikan pertama dari filsuf Bertnand Russel terhadap dunia idenya Plato.
Selain prima principia, ada prinsip kausalitas (sebab-akibat). Prinsip ini secara sederhana sangat mudah kita pahami, karena ia termasuk dalam kategori universal falsafi. Kalau kita gambarkan, maka hukum sebab-akibat kurang lebih akan seperti ini: A–>C –> D –> E dan seterusnya. Oleh karena adanya akibat disebabkan adanya sebab sebelumnya, maka akibat bergantung pada sebab sebelumnya. Dan sebab sebelumnya ini ada karena ada sebab sebelumnya lagi. Maka dengan demikian, perlu ditetapkan adanya sebab pertama (the causa prima, the prime mover, the unmoved mover). Karena jika kita tidak menetapkan adanya sebab pertama, sudah barang tentu tidak akan pernah ada kesimpulan yang pasti dalam pemikiran kita, yang ada hanyalah proses tasalsul (ad infinitum).
Sebagai perbandingan, saya akan sedikit mengemukakan kritikan dari beberapa kritikan para filsuf yang mengingkari kausalitas sebagai keniscayaan. Adalah filsuf empirisme, David Hume, menolak relasi kausalitas sebagai sebuah keniscayaan. Dia beranggapan bahwa munculnya kausalitas itu terjadi karena adanya asosiasi makna di alam mental manusia setelah melihat adanya gerak yang berulang (repeatation). Maka dari itu, keniscayaan sebab-melahirkan akibat hanyalah sebuah kebohongan. Dalam hal ini, Hume mirip sekali dengan filsuf Al-Gozhali yang membantah keniscayaan kausalitas dengan memberikan fakta mukzizat Nabi Ibrahim a.s. Benarkah Hume dan Al-ghazali sukses menumbangkan keniscayaan sebab-sebab akibat melalu kritikannya tersebut? jawabannya sangat vatiatif, dan tentu saja, saya tidak akan membahas terlalu lebar tentang kontroversi ini.
Terakhir dari pengetahuan dasar logika adalah proposisi deduktif, dalam bahasa Aristoteles disebut silogisme. Yaitu, penarikan kesimpulan dari premis mayor ke premis minor. Di sini, premis mayor berfungsi sebagai proposisi umum yang sifatnya universal, sedangkan premis minor kerangka khusus yang bersifat partikular (dan biasanya premis minor ini adalah pengetahuan-pengetahuan empiris). Berbeda dengan metode induktif yang dipakai oleh kaum empiris-saintis.
Kerangka deduktif pun sesungguhnya tidak selesai dan bukan tanpa kritikan dari pelbagai filsuf. Seperti filsuf Jerman, Immanuel Kant, yang mengkritik kerangka deduktif dalam pencarian adanya Tuhan. Menurutnya, tidak mungkin membuktikan adanya Tuhan melalui kerangka deduktif, karena akan terjadi kerancuan dalam premis-premis. Maksudnya, premis dan kesimpulan haruslah bersikap jelas dan tidak membutuhkan penafsiran lebih jauh. Sebagai contoh, saya akan memberikan proses deduktif yang menjadi sasaran kritik Kantian:
Segala sesuatu ada yang menciptakan
Alam itu ada
Maka alam itu ada yang menciptakan
Bagi mereka yang tidak sepakat dengan ini, mereka mengkritik bahwa dalam kesimpulannya tidak terdapat kata Tuhan. Karena bisa jadi yang menciptakan disanaadalah entitas lain. Dan ini membuktikan bahwa kerangka seperti demikian tidak bisa dijadikan alat untuk membuktikan adanya Tuhan. Sebagaimana jika kata Tuhan pun dimasukkan dalam premis mayor, maka tidak perlu lagi sebuah kesimpulan, karena Tuhan telah ditemukan dalam premis. Sebagai contoh jika saya katakan: Segala sesuatu ada yang menciptakan, yaitu Tuhan, maka kita tidak memerlukan premis berikutnya untuk mendapatlan kesimpulan. Ataupun sebaliknya, kalaulah kata Tuhan dimasukkan dalam kesimpulan, lagi-lagi menjadi tidak rasional karena kesimpulan tidak bisa kita tambahkan kepadanya kata lain di luar premis.
Bisa saya simpulkan, bahwa ilmu husuli menuntut kita untuk mampu memahami dan membedakan dasar-dasar kesimpulan kita terhadap realitas. Dan oleh karena kehusulian itulah, mau-tidak-mau harus menerima penilaian yang variatif; baik itu yang mencoba mengkritik ataupun yang menerima. Hanya ilmu hudurilah yang tidak memerlukan perantara, sehingga bagi dirinya sendiri benar adanya (namun perlu diingat, bahwa ilmu huduri jika telah diuangkapkan lewat tulisan dan verbal, ia menjadi husuli); tidak memerlukan penilaian. Namun demikian, semua ini adalah sebuah kesimpulan dari proses dialektika yang panjang dan tidak sedikit menyibukkan para filsuf. Dan tidak menutup kemungkinan, kita mampu memberikan anti-thesis terhadap kemapanan pemikiran yang ada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar